masalah-israel-palestina

NATSIR DAN MASALAH PALESTINA

Dunia ini kini telah memasuki suatu era baru, sebuah era yang tercipta dari hasil pemadatan, peringkasan, pengecilan, percepatan, dan mungkin juga pemalsuan. Hal ini mengacu pada penemuan teknologi industri dan revolusi informasi. Informasi kini membludak. Penemuan teknologi saat ini meluber, melampaui batas imajinasi. Hasilnya, manusia tertimbun oleh beragam hal sehingga sulit mencari jeda untuk berpikir dan membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Dunia kini hanya sebesar telapak tangan. Dunia kini bisa kita bawa kemana-mana di dalam kantong saku kita. Bahkan kita bisa menemukan apapun dan melakukan apapun dalam dunia yang kecil tadi. Ponsel adalah bentuk mutakhir dari dunia baru tersebut. Didalam ponsel seolah dunia bisa dilipat-lipat seperti yang disebutkan Yasraf Amir Piliang di dalam buku terkenalnya.

Babak lanjutan dari fenonema dunia yang dilipat tadi (atau bisa disebut juga dunia cyber) adalah fenomena yang disebut post-truth, suatu fenomena yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai pasca kebenaran. Dalam fenomena post-truth, kebenaran merupakan sebuah nalar yang tanpa fakta. Kebenaran merupakan bentuk kepalsuan yang diulang-ulang, disebarluaskan, dan diyakini sehingga mewujud jadi kebenaran transenden. Hoax atau berita bohong merupakan bagian integral dari wujud nyata post-truth.

masalah-palestina-israel

Judul: Masalah Palestina
Penulis: M. Natsir
Penerbit: Hudaya Jakarta
Tahun Terbit: 1971
Tebal: 80 Halaman

Dalam upaya menanggulangi bahaya kefanatikan, sesat informasi, dan kedangkalan berfikir itu, saya bersemangat untuk membaca buku karya M. Natsir berjudul Masalah Palestina. Saya ingin menemukan kebenaran sejati dan tak ingin tersesat dalam memahami realitas persoalan yang terjadi di Palestina. Saya berpikir, daripada saya membaca berita dalam bentuk potongan-potongan informasi digital, lebih baik saya membaca sebuah buku yang membahas masalah tersebut secara tuntas.

Dan pilihan pun jatuh pada buku Nasir tersebut. Mengapa? Sebab, saya anggap Natsir merupakan seorang negarawan besar yang pernah dimiliki Indonesia. Sebab, Natsir merupakan seorang cendekiawan yang mampu berpikir objektif dan kritis (suatu sikap yang jarang kita lihat hadir pada politisi kita saat ini). Sebab, ia adalah aktor yang terlibat langsung di awal perjuangan pembebasan masalah Palestina dan mengetahui secara pribadi permasalahan ini. Ketiga sebab tersebut membuat hati saya sumringah dan berdegup kencang saat membuka lembaran awal buku langka yang saya beli di pasar loak ini.

Tidak Sesuai Ekspektasi

Setelah menyelesaikan buku karya Natsir ini, kesan saya yang pertama-tama adalah sedikit kecewa. Saya anggap ini merupakan bentuk sikap wajar saya. Sebab, harapan-harapan saya tentang buku ini tidak terwujud. Saya berharap Natsir bicara dalam bahasa yang universal dan tidak terlalu sempit dalam satu perspektif saja. Namun yang terjadi, Natsir hanya bicara dalam perspektif politik islam dan sebagai seorang muslim saja. Dari situ kecenderungan Natsir yang bekas petinggi Masjumi terlihat. Natsir berbicara dengan dalil-dalil agama dan kecenderungan islamisme saja.

Saya rasa hal ini kurang benar, sebab, seperti mengutip kata-kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, “kita tak harus menjadi seorang muslim untuk membela Palestina, kita cukup menjadi manusia saja”. Kata-kata Erdogan itu, saya rasa, lebih memiliki getaran daripada seruan persatuan umat islam yang hampir memenuhi halaman-halaman buku ini. Seruan persatuan umat manusia seluruh dunia untuk menentang Zionisme ala Erdogan adalah seruan yang langsung menyasar ke jantung masalah Palestina, yaitu masalah kemanusiaan yang bersifat universal. Dengan kata lain, masalah zionisme Israel dan konflik Palestina-Israel bukan hanya merupakan masalah nasional warga Palestina saja, atau masalah regional bangsa arab dan masalah umat islam saja, tapi merupakan masalah kemanusiaan dan masalah bagi seluruh umat manusia sedunia. Hal ini mirip seperti masalah Nazi dan Hitler yang dianggap sebagai masalah manusia seluruh dunia.

Namun, kekecewaan tersebut sedikit terobati jika kita memberi sedikit toleransi pada Natsir dan sebab musabab munculnya buku berjudul Masalah Palestina ini. Pada awal buku ini, penerbit menjelaskan alasan pencetakan buku ini. Buku ini merupakan buku dokumentasi hasil dari ceramah pengajian Natsir di masjid Al Munawwaroh di Tanah Abang-Jakarta di tahun 1970 (hal. 5). Buku ceramah pengajian ini juga merupakan hasil refleksi Natsir atas pertemuan atau kongres tahunan Mu’tamar Alam Islamy di Damaskus (hal. 32).

Sebagai buku yang bahan-bahannya diambil dari ceramah pengajian, tentu hal ini menjadi luar biasa. Sebab, seperti kita ketahui, akhir-akhir ini ceramah-ceramah pengajian kita lebih banyak membahas masalah fiqih (hukum) saja. Kita, dewasa ini, terlalu sibuk pada masalah ibadah dan hukum halal-haram, sehingga sedikit lupa pada masalah nyata di sekitar kita, atau bahkan masalah di seputar kejadian dunia. Kita bisa membayangkan betapa progresifnya Natsir dan jaman itu dengan pembahasan berat yang seperti ini. Natsir telah memfungsikan masjid sebagai majelis ilmu yang benar-benar membuka pintu pada seluruh ilmu tanpa memilih-milihnya, sehingga di masjid kita juga bisa menimba ilmu-ilmu politik, sejarah, budaya, ekonomi, militer dan tidak hanya terjebak pada ilmu agama saja.

Kekuatan buku ini, saya rasa terletak pada objektifikasi dan subjektifikasi Natsir. Sebagai seorang penulis dan penceramah pengajian, Natsir menceritakan pengalamanya secara langsung saat terjun dalam medan konflik Israel-Palestina. Natsir bukan hanya menulis dan ceramah secara fiktif dalam ruangan ber AC saja, namun ia juga orang yang terlibat dan terjun langsung. Ia melihat bagaimana konflik itu berlangsung dan mengunjungi para pengungsi yang jadi korban perang Israel-Palestina. Dengan begitu, apa yang ada di buku ini bukan pepesan kosong, namun hasil pengamatan dan pengalaman empiris Natsir saat berusaha membantu memecahkan masalah kemanusiaan ini.

Selain itu, tambahan berupa pencantuman pidato Natsir pada kongres pertama organisasi islam Asia Afrika di Bandung pada tanggal 6-11 Oktober 1970 (Hal. 74-80) merupakan kekuatan lain dari buku ini. Dengan kata lain, buku ini juga merupakan buku penting bagi para peminat sejarah dan pemerhati konflik timur tengah. Saya berharap buku langka ini bisa dicetak ulang oleh penerbit-penerbit besar negeri ini, sehingga para peminat sejarah, sosial, politik, dan ekonomi di negeri ini tidak tersesat pada hoax saat ingin belajar dan mencerna masalah-masalah seputar Palestina. Ya semoga.

, , ,

Satu tanggapan ke NATSIR DAN MASALAH PALESTINA

  1. JYP14 27 April 2018 pada 12:51 #

    Lanjutkan bang

Tinggalkan Balasan