Nestapa

Nestapa

Sri menatap lurus dari beranda rumah, tatapannya kosong. Ia melihat Ning dari kejauhan. Di bawah rintik hujan Ning mengayuh pedal lalu berhenti di depan rumah Sri. Ia membawa sekresek jeruk dan beberapa lauk.

FLASHBACK ON

Sudah hampir setengah jam mereka saling diam. Sri menoleh ke arah Karto-Ayahnya, sepiring nasi dan tahu bacem belum berkurang sedikitpun. Sepertinya lelaki paruh baya itu masih marah atas kejadian semalam.

“Tidak habis pikir! Kesempatan untuk mengubah nasib keluarga di depan mata justru kau sia-siakan!” Tatapan Karto menghunjam, sorot penuh amarah terlihat jelas dari wajahnya.

Sri tertunduk dan masih terdiam.

NestapaMenurut Sri, menikah itu bukan hal yang patut dijadikan permainan. Ia sangat menjunjung tinggi harkat martabat sebagai seorang wanita, tidak mudah tergiur iming-iming sawah ladang berhektar. Lagipula Sapto itu seorang laki-laki yang telah memiliki istri, bukan hanya satu tapi tiga. Namun dengan bangganya ia berkata itu adalah sunah Nabi.

“Hanya karena tidak mau dimadu, kamu jadikan alasan ingin melanjutkan sekolah? Sapto bukannya lelaki hidung belang seperti yang terucap dari mulut sok sucimu itu. Lihat saja Nabi junjunganmu, dia juga menikahi empat istri. Itu sunah Nabi. Lagipula Sapto orang baik dia akan berlaku adil.”

Sri tersenyum getir. Ini bukan sekali Karto memaksanya menikah. Ketika usianya baru lima belas tahun ia bahkan dipaksa menikah dengan seorang rentenir dari kampung sebelah. Saat itu apa yang dijanjikan? Tentu saja uang dan perhiasan.

“Jangan samakan Nabi Muhammad dengan Sapto. Itu perbandingan yang tidak seimbang. Nabi menikahi banyak istri bukan semata-mata karena nafsu. Beliau menikahi istrinya untuk menolong dan menyebarluaskan agama Islam. Sementara Sapto?? Pikirannya sangat dangkal. Hanya sebatas kepuasan nafsu yang menjadi tujuan utama, lantas bersembunyi dengan embel-embel ingin mengikuti sunah Nabi. Cuiihhh.” Sri tersenyum kecut, membayangkannya saja ia ingin muntah.

Karto tidak dapat menahan amarah, ia membanting sepiring nasi dihadapannya kemudian pergi. “Anak tidak tau diri!”

Sri tersentak, bibirnya bergetar. Piring beling itu pecah menjadi beberapa bagian, nasi berserakan di sekelilingnya. Ia segera membereskan kekacauan itu sebelum Karto kembali dan menghunjamnya dengan kalimat yang lebih tajam. Tak terasa bulir-bulir air menetes ke pipi.

Usianya baru menginjak 19 tahun, namun ia telah melewati berbagai rintangan hidup yang cukup berat. Entah apa yang terjadi, semenjak ibunya meninggal ia merasa semakin menderita. Sri kembali mengingat malam itu, Ibunya mendadak merintih kesakitan, tiba-tiba darah mengucur deras membasahi lantai tanah rumah mereka. Sri hanya bisa memekik di antara kesunyian malam. Ia memanggil Karto. Saat usianya baru 10 tahun ia harus mendapati kenyataan Ibu serta calon adiknya meninggal karena terlambat menerima penanganan medis. Sejak kejadian itu, Sri bertekad melanjutkan sekolah. Ia ingin menjadi dokter dan mengabdi di kampungnya. Ia tak ingin melihat lagi seseorang menahan sakit tak terperikan dan mati mengenaskan hanya karena terbatasnya pusat kesehatan. Sebuah beling tajam menggores jari telunjuk dan mengacaukan lamunannya. Sri bergegas membawa pecahan beling itu ke tempat sampah lantas membersihkan lukanya.

Sapto adalah anak semata wayang pak Lurah, karena itu Karto langsung ‘mengiya’ kan lamaran itu. Malam itu di antara rintik hujan, Karto menyuruh Sri untuk merias dirinya sebaik mungkin karena Sapto dan Pak Lurah akan datang melamarnya. Tak hanya itu, ternyata ketiga istri Sapto turut hadir menyaksikan.

Sri menarik napas panjang, tatapannya kosong tatkala Sapto menyampaikan niat untuk menikahinya.

“Bagaimana, Nak Sri?” Pertanyaan Pak Lurah itu membuyarkan lamunan Sri.

“Sri jelas menerima Nak Sapto. Bapak tenang saja” Karto tersenyum lebar.

“Biarlah Sri menjawab terlebih dahulu, Pak.” Rukmi, salah satu istri Sapto membalas pernyataan Karto. Ia yang duduk tepat di depan Sri.

“Saya merasa sangat tersanjung atas perhatian pak Lurah dan keluarga hingga repot-rapot datang ke gubuk saya dengan membawa sangat banyak hantaran.”

Karto yang awalnya tersinggung dengan Rukmi, kini tersenyum lebar mendengar jawbaan Sri yang menurutnya sangat tepat. Awalnya ia sempat ragu jika Sri akan berlaku sopan.

“Namun Pak Lurah, apakah Bapak tidak merasa iba dengan saya. Gadis berusia 19 tahun yang memiliki cita-cita menjadi seorang dokter, impian saya sejak kecil yang sekaligus sumpah saya kepada Alhamarhumah Ibu. Selain itu saya ingin menjadi inspirasi kaum wanita untuk tidak berhenti sekolah di usia muda hanya karena terpaksa menikah. Tetapi apakah semua akan pupus dan akhirnya saya harus menikahi laki-laki beristri tiga dengan jarak usia 20 tahun lebih tua? Bukan bermaksud tidak sopan, saya hanya mempertanyakan harga diri seorang wanita. Anak bapak ini telah menikah sebanyak tiga kali. Saya tidak menyalahkan pernikahan itu, toh itu juga mubah dalam agama kita. Dan Rasulullah melakukannya dengan sangat adil. Tetapi anak Bapak? Apakah Bapak tahu jika salah satu menantu Bapak sering mengeluh kesakitan akibat lebam di wajah? Lalu apakah bapak tidak melihat kelakuan anak Bapak setiap malam yang mabuk dan bermain wanita? Itu sudah menjadi rahasia umum, bahkan saya melihatnya sendiri. Seolah Bapak tutup mata atas semua ini dan berkata dengan entengnya jika anak Bapak adalah lelaki yang bertanggungjawab.”

“Cukup!” Karto menampar Sri hingga pipinya memerah.

Semua tercengang mendengar jawaban Sri, terlebih Sapto. Wajahnya tampak sangat kecewa, napasnya tersengal. Lelaki beristri tiga itu mengumpat kasar tepat di hadapan Sri yang menunduk ketakutan.

Perasaan Sri belum sepenuhnya membaik. Ia merapikan map berisi berkas daftar ulang untuk kuliah. Sore ini ia harus bergegas berangkat ke kota. Dari kejauhan ia melihat Drajat dan Randu berjalan ke rumah. Hati Sri semakin gelisah pasalnya mereka adalah anak buah kepercayaan Sapto.

Sri beranjak dari lincak tempat ia merapikan map. Tatapannya tajam mengarah ke Drajat yang terlihat membawa parang. Sri mengkirik, kakinya gemetar. Ia tak dapat berbicara sepatah kata pun apalagi membentak. Lidahnya kelu dan membeku.

“Di mana Bapakmu?”

Sri hanya menggeleng. Belum sempat ia menjawab, Randu yang terlihat semakin seram dengan jaket hitam mendobrak pintu dan bergerak serampangan. Mereka mengobrak-abrik seisi rumah.

“Ada apa ini? Jangan mentang-mentang kalian kaki tangan Pak Lurah kalian bisa seenaknya!” wajahnya memerah amarah semakin memuncak tatkala Drajat tersenyum menemukan selembar sertifikat tanah dan sawah di laci. Ia mencoba merebut surat itu namun Drajat menarik lengan Sri hingga terjatuh di samping lincak.

“Bilang Bapakmu, ini akan kami sita sebagai ganti rugi perjudian.” Mereka berhamburan keluar meninggalkan Sri yang mematung. Kilau bening air mata menetes bersama dengan turunnya gerimis. Hatinya sangat hancur mengetahui Bapaknya telah menggadaikan sawah yang merupakan peningglan terkahir Ibunya. Padahal sawah itu sejatinya akan dijual untuk melanjutkan sekolah.

Semenjak kejadian itu, seolah semua harapannya telah sirna. Ia terus duduk meringkuk di atas kasur tatapannya kosong. Kenapa nestapa begitu betah tinggal padaku, lamunnya.

Kesadarannya lambat laun memudar, hingga tidak mengenali Karto. Penyesalan yang teramat dalam menghantui hidup Karto, namun nasi telah menjadi bubur. Ia hanya bisa melihat anak semata wayangnya itu meratap sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun. Hingga akhir napas penghabisan, ia sama sekali belum pernah mendengar Sri berucap sepatah kata pun.

Wajahnya lusuh, kulit dan rambutnya sangat tidak terurus. Sudah 20 tahun Sri linglung. Semua orang menganggapnya tidak waras apalagi dulu ia sering ngamuk. Semenjak kematian Karto, tidak ada yang mempedulikannya kecuali Ning. Sahabat kecilnya itu selalu membawakannya makanan setiap hari.

“Dimakan ya mbak..” Ning meletakkan nasi bungkus dan sebotol air mineral, ia juga membawa seiris semangka.

Sri menoleh, entah apa yang ada di pikirannya, ia tersenyum tipis. “Terima kasih, Ning.” Untuk pertama kalinya sejak 20 tahun yang lalu Sri kembali berbicara.

, ,

Satu tanggapan ke Nestapa

  1. 106483405165712194339 13 Juni 2021 pada 18:05 #

    Kerenn. Teruslah berkarya

Tinggalkan Balasan