teresa

Orang-Orang Latah Dalam Kerusuhan

Ingat kisah TERESA?

Suatu malam seseorang tiba-tiba meneriakan nama “Teresa!” di tengah jalan. Seorang pria yang lewat menyarankan dia berteriak lebih kencang agar bisa didengar, lalu membantunya dengan ikut berteriak Teresa! Lewat pula sekelompok anak muda yang habis main dari suatu tempat, mereka melihat dua orang tersebut dan menawarkan diri untuk ikut membantu meneriaki Teresa! Orang lain lagi mampir untuk bergabung. Begitu seterusnya hingga lebih kurang dua puluh orang berkumpul dalam waktu lima belas menit, dan setiap menit akan datang bergabung yang lain. Karena terlalu banyak orang, mereka sadar bahwa mereka harus kompak. Tidak boleh saling mendahului berteriak TERESA! Maka diaturlah agar pada hitungan semua melakukannya dengan lantang. Organizing ourselves to give a good shout, all at the same time, was not easy. (The man Who Shouted Teresa). Mereka berlatih sampai sepuluh kali hingga menghasilkan teriakan yang kompak.

“Te-Re-Sa!!!”

Kita akhirnya tahu cerita ini satir belaka. Diujung cerita, seseorang diantara kelompok itu bertanya kepada orang pertama apakah dia yakin Teresa di rumah. Karena kalau tidak, maka teriakan mereka akan sia-sia. Tidak ada orang yang bernama Teresa di lingkungan itu. Bahkan orang yang semula meneriakan namanya bukan dari tempat itu dan tidak kenal siapa-siapa. Intinya dia hanya iseng-iseng saja memanggil Teresa. Alasan pria kedua yang membantunya adalah karena solidaritas. Begitu pula orang-orang lain dalam kelompok itu; sebagian karena solidaritas selebihnya hanya sekadar nimbrung. Italo Calvino memang tukang sinis. Satirnya terkadang dibaca sebagai kisah konyol yang lucu. Dan cerdiknya, Calvino mengambil kisah konyol yang lucu ini dari praktik sosial pembacanya.

Kisah Teresa menggambarkan betapa latahnya orang-orang (termasuk kita) pada suatu ketika. Buntut dari latah ini bisa apa saja, dari guyonan kecil sampai kerusakan besar. Dan hari-hari ini kita tahu, betapa parahnya kita di ibu kota. Sifat latah memiliki sumbu untuk dibakar dengan mudah, memiliki benih ungggul untuk cepat tumbuh dari pelajar menengah hingga elit mahasiswa. Menjadi latah memang parah, hanya dari pesan berantai orang menjadi buas di jalanan. Jika dalam kisah Teresa latah berakhir dengan rasa kecewa, sedikit kesal lalu malu maka dalam kisah penolakan Omnibus Law latah berakhir dengan kemarahan membabi buta, merasa paling kritis, dan merasa berhak membakar sana sini.

Demonstrasi telah usai, kerusakan akan ditanggung. Dalam kisah Teresa, bagaimana pun juga diantara yang latah hadir satu sosok yang menggoncang kesadaran.

“But are you sure she is home?”

“No,” I said.

“That is bad,” said another. (The Man who Shouted Teresa.)

Tidak perlu kritis untuk bertanya, toh demonstran itu sudah merasa paling kritis. Sifat sekarang kritis sudah murah di luar sana; bisa dibayar dan disponsor. Kita hanya butuh kesadaran bahwa saya dan anda mungkin belum sepenuhnya paham tentang Omnibus Law. Baca saja belum kok sudah ngamuk-ngamuk, ngacak-ngacak!

Lalu pertanyaan model apa yang ada dalam kepala, yang setidaknya menghentikan kita dari menjadi orang latah? Banyak. Beberapa remeh-temehnya semacam ini:

Omnibus Law diperuntukan dan menguntungkan siapa?

“Dibuat untuk mengatur buruh, dan tentu saja menguntungkan penguasa dan pengusaha khususnya  pengusaha asing. Pembodohan terhadap buruh pribumi pokoknya.”orang latah menjawab.

Bagaimana bisa mereka disebut sebagai Anarko-Sindikalis?

“Biar keren. Kita harus menjadi seorang anarkis untuk membuat perubahan sosial. Kapitalis dan negara sudah keterlaluan.” Orang latah lain menjawab.

Benarkah bahwa gerakan ini bukan murni serikat buruh, ada isu tentang dalang, sponsor dan pemain bayaran?

“Basi. Setiap demonstrasi pasti dituduh bayaran. Ini murni sebuah protes. Nasib bangsa ini ditangan kita sendiri. Jangan mau dikibuli!” seorang aktivis buruh marah-marah.

Kencang loh isunya, siapa yang menunggang siapa. Bagaimana mungkin pelajar dan mahasiswa mau saja ditunggangi?

“Kita tidak pernah merasa demikian. Mahasiswa turun ke jalan karena ide-ide perjuangan. Semacam jalan ninja seorang mahasiswa.” Mahasiswa latah berseloroh.

Termasuk merusak fasilitas umum?

“Kita semua tidak menginginkan itu. Tetapi sulit mencegahnya.” Sahutnya lagi.

Pak, benarkah bahwa semua ini karena terpicu hoax?

“Ya. Dan pelakunya akan diproses. Masyarakat diharapkan kembali ke rumah dengan tenang. Biar kami yang mengurusnya untuk kalian.” Kata bapak dewan.

Benarkah hanya karena hoax, pak? Kemungkinan lain bagaimana?

“Kalau bukan karena hoax,apalagi dong. Pemerintah sudah bekerja dan ada saja oknum yang tidak bertanggungjawab lempar hoax. ”

Oh begitu, jadi solusi untuk kekacauan ini hoax ya Pak.

“Bukan begitu. Tapi untuk sementara kita ya itu.”

Demikianlah, sebagai sesama orang latah kita percaya ada dalang di balik kerusuhan, ada sponsor elit yang membayar untuk melakukan kerusakan, lalu ada pula hoax yang dimainkan kemarin. Tetapi perlu diingat bahwa negeri ini berkumpul banyak orang latah. Media masa disunting sana sini untuk mengeksploitasi kelatahan. Sampai hari ini, kita masih sama seperti orang-orang di jalanan yang berteriak ‘TERESA!’ tanpa alasan yang jelas. Solidaritas dan sikap kritis dipelintir yang mana gerakan massa dianggap paling mungkin untuk menyodok protes, dan sengaja lupa bahwa merusak fasilitas umum adalah sebuah kejahatan.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan