not-feel-lonely

Orang-Orang Pendatang (Bag. 1)

 

Begitu jalan setapak yang kujejaki mulai berkelok dan berlumpur, senja pun merayap turun, membuat pemukiman di tepi pematang terlihat seperti kota kecil di suatu pelabuhan dengan cahayanya yang temaram. Seperti yang kuduga, jauh dari keramaian akhirnya kutangkap bintang yang berkelip tepat di atas kepala, suara jangkrik dari suatu kegelapan, dan kodok-kodok bersahutan. Dengan langkah bergegas dan cemas, kusimpan baik-baik semua itu dalam kenangan.

Usiaku awal tiga puluhan. Aku mengenakan kaos hitam polos dan celana panjang jeans biru gelap dengan sobekan-sobekan kecil di lutut sambil memikul tas ransel hitam di punggung. Ini adalah hari kedua aku berjalan-jalan seorang diri di pinggiran Cileunyi setelah dua hari sebelumnya aku tiba di kota kecil itu karena undangan seorang teman.

Hari pertama aku menulusuri jalan yang sama ini hingga ke atas bukit kecil tempat beberapa orang tengah menggali pasir. Aku duduk-duduk di sana dari siang sampai matahari mulai condong, mengobrol sambil minum kopi dan berbagi beberapa batang rokok, lalu pamit pulang kira-kira pukul lima sore. Dari atas sana kulihat jalan yang kutempuh berkelok sejak pinggir jalan raya, menyeberangi rel kereta, dan mendaki di antara pepohonan hingga ke sini. Anak-anak petani tengah menerbangkan layangan di tengah sawah, truk-truk proyek mondar-mandir di jalanan yang mengebul, sementara jauh di sana dua atau tiga kali sirene ambulans lamat-lamat terdengar.

Karena temanku sebenarnya selesai kerja hingga pukul enam sore dan baru sampai di rumah lewat dari jam delapan malam, pada hari kedua ini saya nongkrong di penggalian pasir hingga jam setengah tujuh malam. Orang-orang di tempat penggalian menawarkan diri mengantarku seusai kerja nanti tetapi karena tidak enak hati dan tidak mau merepotkan kuucapkan terima kasih dan turun dari sana.

Setelah menyeberang rel kereta ke arah sawah, pendar lampu jalan raya membuat padi dan rerumputan berwarna keemasan. Angin dingin menusuk, membuat orang-orangan sawah seolah bergerak mendekatiku, sehingga ketika aku akhirnya sampai di jalan raya itu rasa lega mengguyur sekujur tubuh. Jalan itu menghubungkan jalan utama di pemukiman dengan proyek rel kereta di belakangku. Bunyi konstruksi terdengar begitu jelas bahkan ketika saya semakin menjauh. Aku hendak melewati sebuah warung kopi pinggir jalan, tempat empat atau lima orang buruh tengah beristirahat. Dari jauh sudah kelihatan helm proyek mereka berbaris di atas tanah sementara mereka mengobrol dengan suara-suara keras di bangku panjang, sebagian di balai-balai bambu. Beberapa percakapan yang membuatku penasaran, adalah tentang mandor yang kabur serta upah yang ditunggak.

Dua hari melewati tempat ini, warung kopi itu selalu dipenuh orang. Ada rasa khawatir kalau-kalau mereka mencurigaiku setelah kali keempat lewat situ. Dengan tampilan macam ini, mudah membedakanku dari mereka yang bekerja baik di tempat penggalian maupun di proyek.

Semakin dekat, terdengar setidaknya tiga orang di atas amben berkata-kata tentang wanita-wanita. Bahasa dan suara mereka yang keras hampir membuatku memutar arah melewati jalan belakang. Namun karena sudah semakin dekat dan tidak mau dipikir macam-macam, Aku berlalu begitu saja saat melintasi warung.

Di tikungan yang menurun, tumpukan sampah mengeluarkan bau busuk tak tertahankan, dan karena kucoba mempercepat langkah sambil menyimak bunyi-bunyi proyek di belakang sana, aku hampir menabrak seorang wanita muda yang berjalan searah denganku tetapi dengan langkah kecilnya. Nyala senter dari telepon genggamnya tersorot ke jalan di bawah kakinya, sehingga aku baru sadar betapa berdebunya jalan yang kulalui.

“Malam.” Sapaku sekenanya dan hendak mendahuluinya.

Bau sampah hampir mencekikku dari belakang, hanya karena suatu hal wanita yang kutemui itu tidak mencium baunya. Terkejut mendengar suara dan langkah kaki yang buru-buru, dia hampir terantuk dan sejenak berhenti menoleh ke arahku. Dia bergumam sesaat lalu meneruskan jalannya. Tanaman gelagah melengkung melewati batas jalan sehingga kami berjalan lebih ke tengah jalan, dimana pasir,tanah dan kerikil kecil membentuk bukit kecil yang padat karena sering dilalui kendaraan proyek. Merasa tidak sopan akhirnya aku mengiringinya lalu membuka percakapan.

Dia mengenakan kacamata dan masker, di kepalanya bertengger helm proyek yang tampak tidak sesuai sembari membawa tas punggung. Rompinya tampak kebesaran tersampir dari kedua bahunya. Usai basa basi sejenak, dan karena ke pemukiman masih cukup jauh, akhirnya percakapan kami mencair.

Wanita itu ternyata mudah berbicara banyak, dia bahkan menyebutkan namanya sebelumku. Dia menanyakan asalku dan tujuanku, dan sekali dua kali memuji profesiku. Dalam perjalanan pulang itu aku tahu dia datang dari tempat lain untuk bekerja di proyek sebagai penerjemah. Klien-kliennya adalah beberapa orang China di tempat proyek yang umumnya menjadi atasan dari mandor dan buruh pribumi. Sekejap saja dia membicarakan banyak hal, hingga diam-diam aku merasakan kedekatan yang janggal di antara kami.

Penerjemah itu kukira berusia pertengahan atau akhir dua puluhan. Wajahnya tersembunyi di balik helm, kacamata dan masker. Dari nada bicara dan pilihan katanya, walaupun ada kesan dia senang berbicara bahkan kepada orang asing semacamku, ada kesan hangat dan bersahabat yang menghilangkan rasa kikuk dari pundakku.

“Kamu mendapat sift siang kalau begitu.” Kupikir karena dia pulang malam maka dia pasti kerja setidaknya dari jam dua belas siang.

“Bukan begitu,” jawabnya, “Saya bekerja dari pagi sampai malam. Biasanya sampai jam sepuluh malam baru pulang. Hari ini saja saya pulang lebih awal.”

Meskipun tidak biasa mendapati wanita yang bekerja seharian penuh apalagi di proyek, aku tidak menanyakannya. Sebuah truk pengangkut baja melewati kami, menghamburkan butiran debu ke udara sampai aku harus berbalik menghadap sesemakan. Wanita itu terkikik sambil berkata bahwa di sini orang mengenakan masker bukan karena korona tapi karena debu.

Kami sampai di belakang pemukiman. Di sebuah warung lesehan orang-orang sedang duduk menyantap makan malam, beberapa pengunjung tampak berdiri di depan meja kasir. Melewatinya, kios-kios pulsa dan bensin eceran menyala terang dengan wajah pemiliknya yang melihat kami dengan rasa ingin tahu. Karena takut menganggu, aku memutuskan untuk mengucapkan selamat tinggal di situ dan berpisah arah. Kukira dia agak terkejut.

“Rumah teman saya setelah bundaran pertama.”

“Oh.” Dia mengangguk, lalu menunjuk ke arah kira-kira kontrakannya berada. Paling lima menitan dari sini, katanya. Dia tinggal bersama empat orang penerjemah lainnya, dan ternyata belum sampai sebulan bekerja. Dia terlihat hendak menyampaikan sesuatu, lalu berubah pikiran dan menundukkan kepala.

Aku hendak akan berjalan lagi saat sebuah mobil losbak berhenti tepat di samping kami. Dari jendela kulihat seorang pemuda menurunkan bahunya dan berbicara sesuatu kepada wanita di sampingku itu. Dan wanita itu mengangguk lagi. Sebelum masuk, dia mengulurkan tangan dan dengan senang hati menjabat tanganku.

“Terima kasih.” Katanya.

Dari tempatnya duduk akhirnya aku melihat wajahnya tanpa helm dan masker. Itu adalah pertama kali kusadari hatiku menghangat dan rasa malu yang besar karena telah berjalan bersamanya membuatku berlalu sebelum mobil tersebut menyala kembali dan mendahuluiku.

****

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan