Padatnya Kurikulum Anak-Anak Kita

Usia anak-anak adalah usia yang paling menakjubkan dalam belajar. Tidak hanya perkembangan bahasa yang ajaib, tapi juga perkembangan otak yang begitu cepat menangkap. Montessori banyak mengurai bagaimana anak-anak memiliki kemampuan menyerap apa yang mereka lihat, amati dan dengarkan. Namun anak-anak dapat melakukan itu semua bila kondisi psikologi mereka merasakan senang dan bahagia. Kondisi anak saat berada pada gelombang alpha membuat mereka amat cepat menangkap pembelajaran. Sebaliknya bila anak dalam kondisi belum fokus dan rilex, ia akan menolak dan sulit menerima pelajaran yang diberikan padanya.

Ki Hajar Dewantara memiliki konsep yang jitu perihal pendidikan anak. Guru harus bisa “menyelam ke jiwa anak”. Artinya guru harus bisa mengambil hati anak. Seorang guru harus memahami bahwa anak adalah makhluk bermain [homo ludens]. Permainan menjadi sarana efektif dalam membuat anak-anak kita lekas menyerap yang diajarkan guru.

Dalam aspek ini, Ki Hajar menerapkan metode sariswara. Metode ini adalah penggabungan cerita dan juga nyanyian. Anak-anak dilekatkan dengan kebudayaan mereka melalui “tembang dolanan”. Karib kita jumpai di sekolah-sekolah luar negeri melalui layar youtube mempraktikkan apa yang dipakai oleh Ki Hajar Dewantara. Mereka anak-anak diajak bernyanyi, melompat, dan menari. Dengan gaya belajar seperti ini, anak akan menyerap dengan mata, tangan, dan kaki mereka lebih jauh. Sehingga tidak semata menggunakan aspek kognitif melulu.

Intelektualistis

Usia dasar adalah usia pendidikan mental. Anak harus diajak lebih jauh memantapkan dirinya agar bisa belajar sosialisasi dengan teman mereka. Mereka harus berani mengusulkan pendapat, menanya dan juga menyatakan pendapatnya. Anak yang masih memiliki persoalan mental menjadi semakin sulit untuk belajar sosialisasi dengan kawan mereka dan kurang percaya diri.

Sekolah-sekolah di usia dasar sering berpacu dalam hal kurikulum pembelajaran mereka. Para pengelola sekolah menyadari persaingan di dunia pendidikan menjadi amat ketat. Mereka berlomba-lomba menerapkan kurikulum yang extra padat agar anak bisa belajar banyak hal. Para pengelola sekolah mengibaratkan anak adalah robot yang bisa diberi apa saja sehingga bisa melakukan apa yang diinstruksikan kepada anak dapat dijalankan maksimal.
Sampai saat ini kurikulum pendidikan dasar kita dengan model sekolah berbasis “program khusus” maupun “program unggulan” sama-sama berlomba memberikan extra tambahan mata pelajaran agar bisa dikuasai anak. Padahal usia anak di sekolah dasar bukanlah usia penalaran.

Pengajaran di usia dasar adalah pengajaran berbasis harian dan apa yang mereka jumpai. Tidak salah bila Paulo Freire menyebut bahwa pendidikan adalah “hadap masalah”. Artinya anak-anak tidak dididik untuk belajar banyak hal yang sejatinya tidak dibutuhkan. Penambahan kurikulum extra berbasis agama sering dijadikan daya tawar unggulan sekolah-sekolah kita. Padahal pelajaran dasar anak-anak kita dalam aspek agama justru bermula dari keteladanan. Sering buku-buku paket pelajaran agama anak-anak kita berisi soal-soal dan tanya jawab semata. Sementara gambar-gambar dan juga ilustrasi yang sesuai jiwa mereka kadang malah dilarang dan ditiadakan. Ini menjadi miris saat anak dipaksa menguasai banyak mapel agama dengan banyak pelajaran namun belum sepenuhnya mereka pahami.

Kritik ini pernah ditulis oleh Haidar Bagir di bukunya Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia [2020]. Pelajaran agama akhirnya menjadi pelajaran intelektualistis bukan spiritualis yang merasuk dalam jiwa dan menjelma dalam perilaku. Harian Kompas [16/4/2021] mendapat keluhan dari orang tua yang menyampaikan gagasannya bahwa anak mereka mendapatkan pelajaran setingkat SMP/ SMA. Pelajaran mereka berbeda dengan pelajaran orangtua mereka dahulu. Selain lebih sulit juga membuat anak mengeluh dan terbebani.

Pelajaran di usia dasar yang terlampau intelektualistis ini juga sering timbul di sekolah bergaya internasional. Mereka pengelola sekolah kurang memahami bahwa rangking sekolah internasional di Finlandia justru menerapkan kurikulum yang disukai anak dengan beban mata pelajaran seefektif dan seefisien mungkin. Akibatnya anaklah yang menjadi korban dari kebijakan sekolah yang cenderung mengabaikan aspek pokok dalam pendidikan dasar.

Ideologi Pasar

Michael W Apple dalam bukunya Ideologi dan Kurikulum [2021] memaparkan tidak banyak sekolah menyadari bahwa kurikulum mereka selalu bertaut erat dengan ideologi dan kepentingan yang bermula justru dari kelas-kelas di sekolah kita. Sistem seleksi murid, pembagian murid dan pelajaran di sekolah-sekolah kita adalah bagian dari yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah ideologi. Melihat padatnya persaingan dan juga beban yang ada pada anak-anak kita di usia dasar tidak bisa dilepaskan dari pengaruh “ideologi pasar.”

Sekolah akibatnya cenderung berlomba-lomba menjadi yang terdepan mengeruk kapital sebanyak-banyaknya serta berlomba mempertebal ketimpangan. Itulah mengapa kritik Mangunwijaya masih relevan “apa guna banyak sekolah-sekolah didirikan tapi massa rakyat dibiarkan bodoh”. Pendidikan pun akhirnya menjadi kontestasi dan persaingan yang ketat untuk memikat konsumen dan memperkuat kapital semata. Yang diabaikan justru perkembangan anak, psikologi anak dan mentalitas anak yang tertekan akibat padatnya mata pelajaran mereka.Secara usia mereka belum mampu menyerap mata pelajaran, namun dipaksa untuk menguasai dan menaklukannya.

Padatnya kurikulum di sekolah dasar anak-anak kita membuktikan bahwa negara justru tidak mampu menggunakan tangan mereka untuk mengatur pola pendidikan yang lebih humanis untuk anak kita. Disamping itu, kapitalisasi pendidikan sudah merambah pada tingkat paling dasar pada sekolah anak-anak kita yang mengutamakan kepentingan ekonomi tapi mengesampingkan jiwa anak-anak kita.

Baca Juga: Televisi dan Hiburan Anak di Waktu Pandemi 

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan