anjing galak

Pak Galak

“Pergi kau dari sini, dasar tidak tahu malu!”

Bentakan yang cukup menggemparkan kedamaian pagi hari itu terdengar, membuat Bu RT mendadak bergidik kaget karena mendengar suara keras dari rumah sebelahnya, maupun para cacing di dalam tanah berhenti menggeliat sebentar. Suara Pak Galak yang ternyata membangunkan sekelilingnya.

Syuut …, prakk. Sebuah sepatu melayang jauh ke arah bingkai jendela. Entah bagaimana bisa ada sepatu di dekat Pak Galak yang sedang berdiri di dekat meja makan. Sepatu itu …, ada di situ begitu saja, seingat Pak Galak, karena Pak Galak tidak menyadari kebiasaannya melepas sepatu di sembarang tempat. Pak Galak menyeringai bangga menyaksikan tembakan sepatunya mengenai sasaran dengan tepat. Rasanya, ia sudah layak menjadi prajurit kelas kakap yang mampu menembak target dari radius sepuluh kilometer. Bangga, ya, memang harus bangga. Dengan langkah tegas, ia berjalan mendekati jendela, sembari teringat bagaimana objek sasarannya terjatuh tak berdaya akibat tembakan sepatunya. Dunia terasa berada di genggaman Pak Galak.

Pak Galak menengok sisi luar jendela, berharap ia akan menemukan raga sasarannya yang tak lagi berdaya. Setidaknya, itu membuktikan bahwa Pak Galak adalah pemenang dan yang tergeletak adalah pecundang. Tidak apa-apa jika Pak Galak pernah mengalami banyak kegagalan di masa lalunya, bahkan hingga saat ini pun ia tidak bisa menganggap dirinya telah sukses akibat terlalu banyak kenangan kegagalan yang membayangi pikirannya, terukir dalam hatinya sebagai pengalaman kelam, maupun terekam dalam impresi orang-orang di sekitarnya atas dirinya. Setidaknya lagi, apa yang terjadi pagi hari ini, telah membuat kepercayaan dirinya meningkat, drastis. Ia adalah pemenang saat ini. Terserah saja bila orang lain menyebutnya, atau menatapnya, sebagai pecundang. Pemenang ya pemenang, akulah pemenang.

Pak Galak sempat terbahak dalam perjalannya menengok sisi luar rumahnya dari jendela, terbayang atas perayaan kemenangannya. Sayangnya, tawa tersebut tidak bertahan lama. Wajah sumringahnya mendadak menghilang, atau bersembunyi ke dalam tempat persembunyiannya selama hampir dua puluh tahun terakhir ini akibat menanggung frustrasi, dan sesekali rasa malu, dalam hidupnya. Oh iya, biasanya, sih, ia tetap tertawa juga, hanya saja berupa sebuah tawa untuk menutupi cercaan dirinya atas dirinya sendiri.

Dan saat ini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia bukanlah seorang pemenang. Raga sasarannya …, ia tidak melihatnya. Bagaimana bisa?

Pak Galak merasa sangat yakin bahwa tembakan sepatunya tepat mengenai kepala musuhnya, sehingga membuat musuhnya hilang kesadaran-itulah yang ia harapkan-dan hanya bisa tergeletak di tanah. Ya, ia sangat yakin, dan seharusnya memang seperti itu. Apa-apaan ini? Tidak, tidak, tentu ini bukan ilusi, ia mensugesti dirinya, karena ia benar-benar merasa melihat sosok musuhnya. Sepatu itu nyata juga, ialah yang melepas sepatu itu di samping meja makan-Pak Galak baru menyadari tindakannya-dan semuanya adalah nyata. Pak Galak masih belum puas dengan apa yang ia lihat, barangkali badan musuh terlempar beberapa meter dari sisi jendela. Ia terkikik dalam hati. Bayangan kemenangan kembali membuat hatinya bahagia. Namun semakin ia mengamati setiap sudut halaman rumahnya, ia semakin menyadari bahwa tidak ada bekas keberadaan sosok musuhnya, terlebih badannya. Dunia tidak lagi berada dalam genggaman Pak Galak.

Pak Galak mengucek matanya, berharap agar dunia berubah sesuai dengan harapannya di kucekan mata yang ketiga. Kucekan pertama sebagai refleks ketidakpercayaannya, kucekan kedua karena ternyata matanya terasa sedikit gatal, dan kucekan ketiga sebagai kucekan tanda menyerah. Sudah cukup. Mengapa ia harus menghabiskan waktunya untuk semua ini? Lihatlah, ia masih memiliki segudang pekerjaan yang harus ia selesaikan hari ini: menonton sinetron favorit, membalas pesan-pesan spam-yang beberapa di antaranya biasanya adalah hoax– di media sosial, dan memikirkan apa yang bisa ia lakukan hari ini. Oh iya, termasuk mencari pekerjaan formal, lagi dan lagi, karena beberapa hari yang lalu ia dipecat akibat mengambil uang atasannya. Yah, setidaknya, uang curiannya tersebut masih tersisa cukup untuk kehidupannya sekitar beberapa bulan ke depan, dengan catatan bahwa ia harus meng’hemat’, menurut definisinya.

Dan peristiwa hari ini benar-benar membuat Pak Galak kesal. Jatah makan hari ini telah hilang sangat cepat, sebelum ia sempat memakannya sedikit pun. Ia lapar, namun harus berpikir ulang jika menggunakan uang makan besok untuk hari ini. Ya, semua ini akibat musuhnya, yang tiba-tiba saja memberanikan diri untuk menghadap dirinya, merampas makanannya, mempercepat tenggat waktu ia akan kelaparan di masa mendatang jika tidak segera mendapatkan pekerjaan. Makhluk itu, benar-benar layak untuk aku tembak menggunakan sepatu. Pak Galak geram, namun tidak dapat berbuat apa-apa. Pak Galak terduduk di kursi makan.

Sekali lagi, rasanya, ia telah mengalami kegagalan dalam hidupnya. Entah sampai kapan ia harus menemui kegagalan? Mengapa ia harus gagal? Dirinya sempurna, hanya saja sering dipertemukan dengan mereka yang disebut sebagai ‘kegagalan-kegagalan’. Mengapa ia bisa gagal? Mengapa keluarganya meninggalkannya? Mengapa ia tidak boleh memiliki harta atasannya dan harus diberhentikan dari pekerjaannya, sedangkan atasannya sudah memiliki terlalu banyak harta? Mengapa dunia ini keras padanya?

Sesosok makhluk, yang tadinya diharapkan telah tak berdaya, berjalan terseok-seok menyusuri deretan rumah di sekitarnya. Kepalanya pusing sekali. Mungkin ini hanya perihal waktu hingga, tanpa ia sadari, ia akan tertabrak kendaraan di jalan akibat ia tidak dapat berjalan lurus. Kejadian pagi ini benar-benar membuatnya lemas. Untung saja, ia sudah sempat memakan dua ekor bandeng goreng di rumah yang tadi ia kunjungi, yang kini mungkin sudah berjarak tujuh rumah dari lokasinya saat ini. Bandeng goreng tersebut sangat enak dan membuatnya bertenaga. Sayangnya, sesosok monster kemudian tiba-tiba muncul dan melemparkan sebuah benda besar, yang bau dan kotor, padanya dan tepat mengenai kepalanya. Jika saat itu ia dalam keadaan lapar, mungkin saja seketika ia akan tergeletak tak berdaya? Entahlah. Memikirkan kemungkinan itu membuatnya bergidik. Ia terus melangkah saja dan berusaha melupakan apa yang telah terjadi.

Namun, ia tidak bisa. Ia masih teringat wajah beringas monster itu. Wajah yang memiliki urat muka tegang, tampak menakutkan, dan benar-benar galak. Kalaupun ia harus memberikan monster itu nama, mungkin ia akan memberikan nama ‘si Galak’ saja pada makhluk itu. Bahkan musuh-musuh jalanannya selama ini, rasanya, tidak ada yang semenakutkan monster tadi. Terutama, karena selama ini aku adalah jagoannya, haha. Dan monster itu, uh, benar-benar membuatnya muak. Ia ingin kembali ke rumah itu dan melawannya, namun badan monster itu terlalu besar. Kalaupun kita berukuran sama, mungkin aku dapat mengalahkannya. Aku tidak suka dengan aura kesombongan yang ada pada monster itu.

Oh, tunggu. Sosok itu menghentikan langkahnya. Tiba-tiba ia merasa bahwa ia pernah melihat wajah monster itu sebelumnya. Di mana, ya? Sosok itu tersenyum kecut setelah kesadarannya kembali utuh. Ia adalah orang yang sering mengamuk dan berkelahi dengan masyarakat di sini waktu itu, yang sempat membentak-bentak seorang wanita di rumahnya hingga wanita itu pergi dan tak pernah muncul kembali, yang seringkali didatangi pria-pria berbadan besar untuk menagih sesuatu darinya, yang kehidupannya tidak pernah damai. Ya, sosok itu telah memperhatikan apa yang dilakukan Pak Galak selama ini, dan ia baru menyadarinya, mungkin ia tidak dapat menyadari sebelumnya akibat pukulan luar biasa keras di kepalanya tadi. Sosok itu pun menyesali tindakannya mengambil bandeng yang sangat enak-yang tidak biasa ia temukan di rumah itu-dari Pak Galak. Namun, apa daya, ia tidak dapat mengendalikan pengaruh insting bertahan hidupnya.

Apapun yang terjadi pagi ini telah membuat sosok itu semakin yakin untuk meninggalkan lingkungan sekitar Pak Galak. Ia tidak ingin melihat lagi makhluk yang terlalu besar hati dan sering kehilangan akal seperti monster tersebut. Sudahlah, lebih baik aku mencari orang lain yang baik hati dan mau berbagi makanan denganku di tempat lain saja. Si kucing itu meneruskan langkahnya, pergi dengan meninggalkan kesaksiannya atas sosok manusia yang telah membuatnya hampir kehilangan nyawanya tadi. Apakah benar ia adalah manusia?

, ,

Satu tanggapan ke Pak Galak

  1. Gilangmayang 17 April 2021 pada 09:00 #

    Kereennnnn

Tinggalkan Balasan