apple-589640_1280

Pelajaran Bercocok Tanam

Pada suatu lelah, pengayuh becak tertidur pulas sambil menaiki becaknya sendiri. Seorang muda yang datang melintas sedang membaca gegapnya sore hari dan membawa cangkul untuk ditidurkan pula di sudut rumah, menyapa, “Pak Bro, sudah mau maghrib. Ndak pulang Sampean?” selorohnya seraya menepuk pundak pengayuh becak yang kelelahan itu. Ia kaget bukan tanggung-tanggung. Hampir saja ia melompat dari asalnya.

“Gustiii, kalau bangunin mbok ya yang pelan to, saya kaget,” Keringatnya ia basuh dengan handuk yang terselip di kendornya celana.

“He-he-he, maafkan saya Pak Bro, saya sedang bahagia sekali,” Pak tua itu lekas memburu kebahagiaan apa yang dimaksud.

Sepetak tanah di perbatasan kota yang ia miliki berusaha ditawar oleh pengusaha kuliner untuk dibeli dan dibangun restoran semi-mewah. Resto yang seharusnya bagi orang-orang desa seperti mereka sebagai tempat makan yang mewah, gerlap cahaya, piring dan gelas yang kokoh –sebab mereka tahunya piring dan gelas yang tersenggol ujung kaki saja bisa pecah— serta keunggulan pelayanannya.

“Saya saja di rumah makan bisa ambil sendiri. Di resto, makan diambilkan sekaligus dihidangkan. Makan saja sambil dengerin musik enak, lha saya kok cuma dengerin ayam berkotek,” Ujar Pak tua pengayuh becak itu disusul gelegar tawa mereka berdua.

“Saya merasa beruntung, Pak Bro, saya bakal memperbaiki rumah dan menyekolahkan anak-anak. Saya bahagia!” Teriaknya.

“Syukuri Sampean masih diberi kesempatan untuk membelikan pendidikan bagi anak-anak, ucapkan Alhamdulillah pada setiap helaan napas.”

Ia menganggap seperti ada yang keliru dari ucapan Pak tua itu.

“Memberikan, barangkali yang Sampean maksud?” Ulangnya memastikan kalau telinganya sedang baik-baik saja.

“Membelikan.”

“Kok bisa membelikan pendidikan untuk anak-anak? Pendidikan kok dibeli to, Pak Bro, saya ndak paham.”

“Lha itu Sampean paham. Pendidikan kok dibeli, pendidikan itu ditumbuhkan. Wong sudah terhampar sebegini luasnya, dari manapun bisa jadi ilmu yang membuat seseorang terdidik. Diri sendiri pun bisa jadi guru. Guru sejati yang sekaligus mau jadi murid sejati yang, sekaligus juga mau mengajari,” Pak tua itu mencari-cari sesuatu di bekas tempat ia tertidur pulas, entah mencari apa.

“Beda lagi kalau proses belajar. Namanya juga proses, tentu butuh dua kutub untuk saling bertautan, agar terciptanya gerak. Antara orang yang mentransfer ilmu dan penerima ilmu. Itupun hanya ilmu yang konkret, yang satu tambah satu sama dengan dua. Kalau kemudian si penerima ilmu membuka warung dan menghitung uangnya menggunakan ilmu hitung, itu sudah bukan ilmu lagi, tapi itu ejawantah atas ilmu yang diajarkan pentransfer ilmu,” Nah, Pak tua sudah menemukan yang ia cari sejak tadi, seperangkat tembakau dan cengkeh kering, papir, serta korek.

“Belum lagi persoalan tata karma yang diserap oleh penerima ilmu dari pentransfer ilmu. Ini sudah jauh dari bab ilmu. Ini sudah teladan namanya.”

“orang-orang tua macam Sampean ini sudah terlalu banyak memakan kampanye ‘7 tahun wajib sekolah’, sekolah itu cuma salah satu jalan menuju pendidikan. Jalan lain tidak dipertimbangkan? Padahal ada yang lebih penting daripada belajar di ruang kelas, duduk tenang dan mendengarkan penceramah. Sudah disuruh dengerin, membayar pula. Dengerin itu hal yang melelahkan lho. Lihat para praktisi kejiwaan, semacam konselor, psikolog, maupun psikiater, kerjaannya mereka itu lebih banyak mendengarkan. Mereka dibayar, bukan membayar.”

“Oh iya, saya lupa mengatakan, proses mentransfer ilmu itu, yang saya bilang tadi, itu yang butuh dibayar. Usahanya ngomong dan memahamkan poin-poin yang ingin disampaikan kepada penerima ilmu, titik. Itu yang patut dibayar. Persoalan lain ketika seorang penerima ilmu justru mendapatkan pemahaman lain, pemahaman yang lebih banyak, itu urusan lain. Sudah bukan bab ilmu juga,” Pak tua itu kemudian menyalakan rokoknya. Ia tenggelam di antara asap. Tak selang lama, ia berdiri di belakang becaknya berusaha menancap pedal kayuh dan meninggalkan seorang muda yang masih menimang cangkul. Pemuda beruntung yang diliputi kebingungan.

Pada suatu lelah yang lain, seorang paruh tua tertidur pulas di dalam mobil dengan kaca terbuka. Melintas seorang muda dengan buru-buru dan mendapati ayahnya tertidur dengan berpeluh keringat. Tak tega melihat Pak tua itu basah kuyup, maksud hati ia ingin membangunkan dari tidurnya, dengan menyapa, “Bapak, sudah hampir maghrib. Mari kita pulang,” Ujarnya seraya menepuk pundak Pak tua dengan pelan. Beberapa kali ia mengerjapkan mata, kemudian menata duduk di tempat semula.

“Bagaimana tadi, Nak, prosesnya? Lancar?” Pak tua itu membuka percakapan sesaat mobil bertolak dari parkiran. Seorang muda tidak berkata-kata, ia segera meraih dan memberikan tas jinjing yang berada di jok belakang, yang akhirnya pula kita tahu itu sebuah jawaban. Pak tua membuka tasnya dan terperangah melihat uang yang berada di dalam sana.

“Restoran itu dibeli dengan harga sesuai permintaan Njenengan, tapi saya jadi kepikiran untuk membelinya lagi untuk dijadakan lading, dengan harga yang dia minta,” Jelas seorang muda itu dengan sesekali melirik ayahnya.

“Meskipun harganya hampir dua kali lipat dari yang dia beli. Tapi tidak masalah. Akhir-akhir ini saya sedang ingin berladang, Pak.”

“Tapi, yang terpenting saya sudah menjalankan amanat yang Bapak minta, to, ya sudah, itu uang bapak. Saya merasa lancang ketika harus membeli tanah milik ayah sendiri, makanya saya biarkan tanah beserta restoran itu untuk dibeli oleh orang lain dulu, baru kemudian saya membelinya lagi. Dengan kata lain, saya membeli tanah beserta bangunan itu bukan dari bapak.”

“Cah edan! Itu namanya buang-buang duit! Lagian kenapa dibeli lagi, toh, restoran itu sudah bangkrut!” Cerca Pak tua itu sambil melotot matanya.

“Saya mau berladang, Pak, itu impian saya sejak kecil.”

“Memangnya apa yang bisa diharapkan dari pekerjaan berladang? Sudah bagus kamu bekerja di bank, pun bukan main-main posisimu di sana. Kamu itu sinting! Apa, sih, yang ingin kamu tanam?!”

“Saya sedang belajar menanam buku dan pendidikan. Sehingga ketika mereka tumbuh, bisa dibawa pulang oleh orang-orang.”

Pak tua itu mengembalikan punggungnya di sandaran mobil, ia berangsur tenggelam di tempat di mana ia tertidur pulas dengan basah keringat. Matanya memandang ke depan, namun ingatannya berbalik ke belakang, berlari menuju masa lalu. Menemui Brojianto, pengayuh becak yang kelelahan itu.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan