121098791_817776318994507_5371784167523424580_n

Pencuri dan Anjing-Anjing

 

novel oleh Naguib Mahfouz

Novela ini dimulai dengan keluarnya Said Mahran dari dalam penjara. Setelah beberapa lembar, kita akan tahu bahwa dia pencuri dan sekarang jadi residivis. Namun bukan itu keseluruhan tentang Said Mahran. Sekalipun penulis menggambarkan keluar penjara dengan kalimat ‘sekali lagi ia menghirup udara kebebasan’, kisah ini bukan mengenai kebebasan. Justru sebaliknya, tentang dendam kesumat atas suatu pengkhianatan. Ya, murka yang kemudian menjadi dendam. Membusuk di dalamnya, dimana harus ada jalan untuk keluar.

Pernahkah anda bertemu seseorang menyerupai Said Mahran ini? Seorang pria yang melangkah dari gerbang penjara ke dalam dunia yang telah menampiknya. Sejak halaman pertama, Said Mahran tengah berjalan dari pintu neraka yang kecil di balik punggungnya ke dalam neraka sesungguhnya yang ada di dalam dirinya. Debu yang mencekik udara, hawa panas yang tak tertanggungkan, dan tak satu pun orang yang menunggu dirinya_begitu tulis Naguib Mahfouz. Tak seorang pun yang tersenyum atau tampak bahagia. Bayangkan. Namun itu tidak seberapa.

Penderitaan kebencian, dan dendam yang sebenarnya adalah tentang pengkhianatan; dari sahabat, guru dan terlebih mantan istrinya. Ilish Sidra adalah rekan Said Mahran sewaktu menjadi pencuri. Gambaran mengenai pria yang menikahi mantan istrinya tersebut ada dalam pikiran Said Mahran sendiri; apakah kau lupa, Ilish, bagaimana dulu kau menggosok kakiku seperti anjing? Ilish bagi Mahran adalah lelaki yang dia temukan dan dia ajarkan untuk bisa berdiri sebagai laki-laki. Dia telah berubah dari seorang anak buah menjadi lawan yang licik. Lalu tentang Nabawiyya, Dia adalah betina yang bangkit dari sampah, dari kutu, dari pengkhianatan dan ketidaksetiaan. Gambaran Said mengenai istrinya telah terhapus karena penyangkalan dan pengkhianatan. Selain kedua orang ini, Said Mahran juga mendapat penolakan, yang lebih halus, dari gurunya yang merupakan guru spiritual ayahnya, yang telah membesarkan Said Mahran. Syekh Ali al –Junaydi telah lebih dari sepuluh tahun tidak melihat Said Mahran, dan di hari ketika lelaki itu mengunjunginya, Syekh tidak dapat menolongnya bahkan sekadar menerimanya di rumahnya. Ada jurang yang dibuat oleh orang suci terhadap bekas narapidana seperti Said. Yang bisa dibuat oleh Syekh yakni mendekatkan Said terhadap surga sementara yang paling dibutuhkan olehnya adalah bantuan kemanusiaan. Ada pula kawan lamanya bernama Rauf Ilwan, pernah menjadi pencuri di masa lalu. Bukan hanya pencuri, Rauflah yang mengajari Said mencuri, menjadi Robin Hood, mengambil dari yang kaya. Namun ketika Said bertemu lagi dengannya, Rauf bukan lagi yang dulu. Dia telah menjadi bagian dari gologan yang dulu mereka curi. Rauf menjadi pemilik surat kabar dan hidup dalam kemewahan. Said meminta pekerjaan untuk dirinya, namun yang dia peroleh adalah sebuah ironi. Kau yang menciptaku dan sekarang kau menyangkalku.

Demikian sosok Said Mahran yang dikenal pembaca. Naguib Mahfouz menciptakan sesosok yang hidup dalam neraka-neraka dunia. Penyangkalan dan pengkhianatan telah membuatnya hanya memiliki satu tujuan hidup; menuntut balas. Baik terhadap nasib buruk maupun terhadap hak-hak yang telah dirampas darinya. Seolah-olah hukuman terhadapnya sebagai seorang pencuri bukan di dalam penjara, tetapi selepas dari itu. Karma yang hitam. Dia hidup dengan menjadi pencuri di masa lalu, kemudian kehidupan mencuri kembali segala hal yang dia miliki di dunia ini.

Begitu semua hal lesap dari kehidupannya, maka yang tersisa bagi dia adalah sekelompok orang di kedai Tarzan di sebuah tepian gurun. Dari Tuan tarzan dia menerima sepucuk pistol, jawaban untuk kebencian dan balas dendamnya, “Semoga pistol ini ditembakkan kepada musuhmu, Tuhan mengizinkan,”. Lalu sebuah hadiah terakhir baginya dari kehidupan ini. Nur, wanita yang sejak semula mencintainya. Meskipun Said tahu dia tidak bisa mencintai Nur, karena kebenciannya terhadap mantan istrinya, Said menerima bantuannya sebagai pemudah jalan menuju balas dendam. Kepahitan hidup, kemarahan, pengkalan, pengkhianatan dan dendam sedang membawa Said menuju akhir dari perjuangannya terhadap kehidupannya sekarang.

Seperti semua kebusukan lainnya, kemarahan dan dendam Said menjadi racun yang pada akhirnya menghancurkan dirinya sendiri. Dalam kepungan anjing, pencuri itu selesai. Sebagai pembaca, saya menolak Said Mahran sebagai protagonis; kehidupannya terlalu hitam untuk diterima. Bagaimana mungkin seseorang bisa hidup dan bertahan dari nasib terburuk semacam itu. Tanpa ada belas kasihan, di sebuah dunia yang menolaknya sebegitu rupa. Saat saya selesai membacanya, yang bertahan di kepala saya adalah gambaran ketika Said yang mencari harapan terakhir di dalam diri Sana, putrinya, lalu dihadapkan pada kenyataan bahwa dia juga bukan siapa-siapa bagi anak itu.

Pencuri dan Anjing-Anjing pada akhirnya bukanlah kisah tentang pencuri. Naguib Mahfouz sedang menggambarkan tentang kelamnya sebuah dunia yang ditampik keberadaannya. Betapa berbahayanya sebuah pengkhianatan dan penolakan serta kehancuran macam apa yang bisa lahir oleh karenanya. Dalam nada impresionisnya, Mahfoud menghadapkan pembaca terhadap lanskap Mesir di masa itu (dalam salah satu kalimat pengantar, Trevor Le Gassick menulis Tatkala pembaca mencapai ilusi dan keputusasaan yang dialami protagonis, pembaca memperoleh kesan yang intim dan otentik tentang berbagai nilai dan struktur masyarakat Mesir di masa itu.)

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan