bukan-gambar-binatang-kawin

Pengintip Binatang Kawin

Abil adalah seorang fotografer spesialis binatang. Dia menjual hasil jepretannya ke majalah binatang di pusat kota. Untuk satu buah karya jepretan bisa dihargai hingga satu juta rupiah. Karena dunia fotografi sudah dia sukai sejak usia Sekolah Dasar, ditambah ilmu yang mumpuni di bangku kuliah jurusan fotografi. Akhirnya Abil menjadi seorang fotografer profesional.

Perjalanan panjang ia lalui dalam menggeluti dunia fotografer dari sekedar hobi hingga menjadi profesi. Dulu – ketika dia masih duduk di Sekolah Dasar – Abil mendapat julukan Pengintip Binatang Kawin. Semua itu disebabkan karena dia suka sekali mengambil foto adegan binatang yang lagi “kawin”; mulai dari foto ayam, anjing, kucing, bebek, hingga kuda – semua adegan foto tersebut menyuguhkan kebinalan jantan dalam menggauli betinanya.

Berbekal kamera jadul-lengkap dengan film yang harus dicuci, Abil suka memajang foto tersebut di kamarnya, setelah sebelumnya dicuci di tempat cetak foto langganannya. Karena hobi yang begitu melekat dalam benak dan imajinasinya, tak jarang uang jajan yang diberikan orang tua harus ludes untuk biaya cetak foto.

Dari profesinya sebagai fotografer professional – sekarang Abil sudah bisa membiayai kebutuhan kedua orang tua dan adiknya yang masih duduk di bangku SMA. Sungguh anak yang berbakti, hingga lupa akan usia yang sudah tak muda lagi. Sekarang Abil sudah berusia 39 tahun. Namun, dia belum memiliki niat untuk menikah. Hal tersebut kadang menjadi bulan-bulanan saudara, teman, atau tetangga.

“Mas, kapan dong akan nikah? Susi pengen di rumah ini ada foto pengantinnya, bukan foto binatang kawin mulu.”

“Entar kalau kamu sudah punya pacar, Mas akan nikah.” Abil menjawab adiknya sembari mengedit foto hasil jepretannya dalam Photoshop. Tanpa menoleh sedikit pun, karena dia sudah tahu kebiasaan iseng adiknya yang suka mengolok dan mengganggu ketika sedang dalam kondisi serius.

Sebuah jawaban dari Abil membuat adiknya kikuk, bagaikan pemain catur yang mendapat serangan skak-mat.

“Aaaaah, Susi serius Mas Abil PBK.”

“Hey, apa tuh maksudnya pakai PBK segala.”

“Hahahaha. Mas masa gak tahu arti PBK. Nih ya, artinya Pengintip Binatang Kawin.” Susi terkekeh melihat kakaknya kesal karena olokan yang sedikit mengganggu telinganya. Dia sangat tidak senang dengan olokan PBK yang dulu – saat duduk di bangku SD – sering terngiang di telinga

“Mah, Paaaah. Susi sudah punya pacar !” Abil berteriak membalas olokan adiknya.

Pak Herman yang sedang asyik membaca koran tak menggubris celotehan Abil.

“Iiiiih, masa iya sih. Gak baik lhooo Susi pacaran di usia SMA, nanti mengganggu belajar mu lhooo.” Bu Maryam menyahut sembari keluar dari dapur membawa kopi panas untuk suami tercinta.

“Maaaaah, Paaaaah ! Jangan percaya ! Dasar Mas Abil PBK jahat.” Susi mencubit kaki Abil sambil berlari ke kamar dan menutup pintunya.

Abil – sangat senang dengan kemarahan adiknya- terbahak-bahak hingga batuk.

“Abil. Ingat usiamu, jangan kau godain adikmu, dia kan masih 17 tahun.” Ujar Pak Herman selepas menyuruput kopi panas.

“Iya Paaah. Maaf, Abil cuma bercanda kok.”

“Oh Iya, Pah, Maah. Abil minggu besok mau terbang ke Papua. Do’ain Abil yaa.”

“Lhooo kok kamu nggak bilang-bilang sama Papah dan Mamah sebelumnya.” Ujar Bu Maryam yang kaget mendengar kabar dari anak semata wayangnya.

“Iya Bil. Kok jauh-jauh ke Papua memang ada keperluan apa?”

“Begini Paah, Maah. Abil ingin ikutan kontes photo burung tingkat internasional. Hadiahnya geude lho Paaah – jika menang juara pertama – Abil bisa mendapat delapan puluh ribu dolar.”

“Iya Papah dan Mamah mendukung aja. Tapi ingat, jangan terlalu terobsesi dengan hadiah, nanti kamu bisa kecewa. Saran dari Papah, kamu temui Kyai H. Manaf sekalian minta do’anya. Beliau kan guru ngaji keluarga kita. Iya kan Mah?”

“Betul Bil. Mamah setuju. Mamah dan papah sudah pasti mendo’akan kamu. Tapi jangan lupa juga dengan do’a-do’a orang yang sudah dekat dengan Allah.”

“Ok Mah, Pah. Makasiiiih banget. Abil selalu bangga dengan kalian. Maafin Abil ya Mah, Pah. Jika selama ini masih belum bisa membahagiakan mamah dan papah.” Abil mengecup tangan papahnya dan memeluk mamahnya.

Sungguh pemandangan yang mengharukan. Kata-kata Abil yang menyentuh hati kedua orang tuanya memaksa air mata mereka menetes karena haru yang menderu dalam kalbu.

***

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Abil telah mendapatkan jepretan terbaik berbagai macam fose binatang yang sedang jalang. Salah satu foto sepasang cendrawasih yang sedang kawin menjadi andalan untuk dikirimkan ke kontes foto burung.

Sembari menunggu hasil pengumuman lomba yang akan terpampang di media daring. Abil tetap melanjutkan aktivitas seperti biasa.

Kehadiran sosok Mona – teman SMA dulu – menjadi penyemangat dalam hari-hari Abil. Memang dia dulu sudah naksir sama Mona. Pucuk dicinta ulam pun tiba, gadis cantik yang disukai diam-diam hadir kembali dalam hidupnya.

Semua berawal dari perjalanannya di Papua. Mona berprofesi sebagai jurnalis di Media Nasional – yang saat itu meliput konflik – bertemu dengan Abil di sebuah rumah makan. Diujung obroloan, Abil menyelipkan sebuah foto burung cendrawasih yang sudah ditulisi nomor handphone dibelakangnya. Sebuah trik jadul seperti dulu pernah dia lakukan di saat SMA – menulis tiga kata I love you dalam kapal kertas mainan – untuk menyampaikan isi hati.

Di pagi yang cerah; sehabis sarapan dan berbenah; Abil pamit kepada orang tuanya untuk menjalankan profesi sekaligus hobi. Saat akan menaiki sepeda motor, telepon genggamnya berbunyi. Ternyata sebuah panggilan dari nomor tak dikenal, yang kemudian diketahuinya adalah Mona. Setelah percakapan singkat Abil pun berangkat.

Entah kemana dia akan pergi. Apakah ke kebun binatang? Atau Ke rumah Mona ?

Ternyata panggilan tadi merupakan ajakan bisnis dari Mona. Abil langsung menancap gas ke rumah Mona yang terletak di pusat kota – tak jauh dari kantornya.

“Bil, ternyata kamu masih saja temanku yang pemalu.” Ujar Mona sembari menyodorkan teh manis di ruang tamu.

“Maksud kamu Mon?”

“Iya, nomor HP yang kau tulis di belakang foto burung itu. Mengapa gak to the point aja kalau mau minta nomor HP-ku atau yaaa menyambung silaturahmi.”

“Terus terang aja Mon, aku masih sama seperti jaman SMA dulu, masih kaku. Aku juga gak tahu, padahal seiring berjalan waktu, aku terbiasa bertemu banyak orang dan berkomunikasi. Tapi, entah kenapa aku jadi kembali kaku saat ngobrol sama kamu di Papua.”

“Hahahaha. Abil, Abil. Aku jadi teringat kapal mainan yang kamu lempar di kelas dulu, kemudian jatuh di meja bu Nia- guru bahasa inggris kita.”

Sontak wajah Abil memerah. Teringat tiga kata penyampai rasa, yang dulu dia ingin sampaikan kepada Mona.

“Ah, jangan dibahas Mon. Aku benar-benar malu jika teringat adegan itu.”

“Ngomong-ngomong, rencana bisnis yang kamu tawarkan kepadaku apa sih?”

“Minum dulu Bil. Santai dong. Biar gak kaku.”

“Begini Bil. Kamu kan seorang fotografer sepesialis biantang yang profesional. Aku ingin mengajak kerja sama. Kebetulan selain menekuni dunia jurnalis, aku juga sangat hobi nulis cerpen.”

“terus hubungannya sama foto karyaku apa?”

“Nah, aku pengen bikin sebuah portal cerpen yang isinya berisi foto sebagai bahan imajinasi cerpen. Pertama aku akan menampilkan beberapa cerpen dengan kolaborasi beberapa foto jepretanmu. Bisa kurang lebih sepuluh cerpen-lah. Seterusnya, dalam portal tersebut akan aku posting foto-foto karyamu, untuk kemudian dijadikan bahan tulisan cerpen oleh netizen.”

“Jadi, maksud kamu, para netizen yang nantinya akan membuat cerpen berdasarkan fotoku gitu?
Kalau gak salah idemu ini mirip media daring internasional emhhh, iya aku ingat, mirip words and brushes ?

“Tepat sekali Bil. Kalau words and brusehes merupakan kolaborasi lukisan dengan cerpen, sedangkan kita akan mengkolaborasikan foto binatang dengan cerpen. Untuk netizen yang terpilih cerpennya, akan diberikan hadiah baik berupa uang maupun souvenir. Bagaimana menurutmu?”

“Emh. Lantas, kita kan harus punya modal besar untuk anggaran hadiah uang maupun souvenirnya?”

“Ah, soal modal awal. Biar jadi tanggung jawabku. Untuk anggaran selanjutnya, seiring dengan banyaknya pengunjung. Portal cerpen kita akan mendapat bayaran dari iklan google adsense.”

“Ok, Deal.”

Sebuah percakapan serius cukup membuat Abil duduk kaku hingga dia harus meregangkan kaki dan kedua tangannya. Mona, sungguh teman dan lawan bicara yang pengertian. Dia mengajak Abil untuk keliling menapaki taman sembari diselingi obrolan ringan.

Dari hari ke hari mereka semakin akrab. Berbanding lurus dengan bisnis yang berjalan lancar dan mulai membenihkan hasil. Setelah enam bulan bisnis di media daring mereka jalankan. Pundi-pundi dolar mulai mengalir ke rekening mereka berdua.

Bahkan, hari sabtu kemarin. Abil mendapat sebuah surel dari media internasional yang menggelar kontes foto burung, yang isinya sangat mengejutkan sekaligus membahagiakan. Abil terpilih menjadi juara ketiga dalam kontes tersebut. Sudah pasti, hadiah tiga puluh ribu dolar akan dia kantongi.

Memang benar, bahwa Tuhan akan memberikan pertolongan kepada umat-Nya yang sabar. Seperti yang terjadi pada Abil. Dia merintis karya dari nol hingga kini menjadi pria yang mapan.

Hubungan Abil dengan Mona ternyata sudah berubah pesat. Setahun yang lalu mereka masih berada dalam status “teman”. Sekarang mereka resmi menjalin hubungan “pacaran”.

“Mon, Aku ingin menikahimu segera. Kamu adalah perempuan yang telah mantap dalam hatiku untuk dijadikan istri.” Ujar Abil sembari mengetik di depan laptop

“Ah yang bener Bil. Sejak kapan kamu bisa yakin bahwa aku ini adalah perempuan yang tepat untukmu?”

“Sejak masa SMA dulu.”

“Hahahah. Masa iya. Kamu sejak SMA sudah pengen nikah sama aku?” Sebuah olokan dari Mona dengan maksud mencairkan suasana yang hening sore itu.

Meja dan kursi di ruang tamu menjadi saksi niat suci menuju ridha Ilahi. Pernikahan adalah sebuah ikatan sakral yang harus dipertimbangkan dengan matang bukan hanya sekedar urusan uang. Sehingga Mona mengawali jawaban dengan sedikit gurauan guna menelisik niat jejaka tampan itu – tidak hanya sekedar guarauan.

“Mon, kali ini aku serius; bahkan tidak kaku dan ragu. Aku dengan niat Karena Allah akan menyuntingmu.”

Mona memandang wajah Abil dengan sorot yang terfokus. Tak terasa cucuran air mata membasahi pipinya. Dia terharu, sekaligus bahagia. Di usia yang tidak muda lagi, cukup sulit untuk mendapatkan pendamping hidup yang seiraman dan se-visi. Tapi, tidak ada yang susah dihadapan-Nya. Abil dikirimkan Tuhan lewat karya dan tulisan untuk menuju beranda pelaminan.

***

Hari minggu merupakan hari spesial buat Mona dan Abil. Di hari itu mereka resmi menjadi pasangan suami istri.

Banyak diantara teman yang mengolok Abil dan Mona. Olokan mereka terfokus pada bidang pekerjaan Abil – sebagai seorang fotografer spesialis binatang yang mana hasil jepretannya didominasi oleh fose berbagai binatang yang sedang kawin.

“Awas Bil, entar malam jangan pakai gaya kucing kawin.” Bisik salah seorang teman sembari memeluk Abil.

Tapi yang bikin Abil ngenes dan kesel adalah polah adiknya – Susi. Sambil cengengesan Susi tak canggung mengolok kakaknya.

“Akhirnya Sang Pengintip Binatang Kawin – bisa nikah juga.”

Satu kalimat olokan yang sontak membuat tamu undangan tertawa terbahak-bahak. Hingga Abil tak kuasa mencubit tangan Susi dengan sangat kuat.

Susi dengan kesal langsung naik ke panggung sembari mengambil microphone yang sedang dipegang oleh MC.

“Hadirin. Ini adalah bukti bahwa abangku nanti malam akan menggunakan gaya cubitan lumba-lumba.” Teriak Susi sembari menunjukan bekas luka merah ditangannya.

Semua tamu undangan kembali dikocok perutnya dengan olokan kepada Sang Pengantin. Bahkan, ada juga tamu undangan yang memuncratkan minuman ketika sedang diteguk, saking gak kuat menahan tawa.

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan