ukhuwah

Perihal Memaafkan

Dinamika kehidupan manusia terkadang tak luput dari berbagai persoalan baik persoalan yang ada dalam dirinya sendiri maupun persoalan dirinya dengan orang lain. Pelbagai persoalan itu pada gilirannya akan memantik aneka perasaan yang buruk seperti stress, marah, kecemasan, dengki, dan sebagainya. Apabila semua perasaan buruk itu tidak dapat diatasi dengan bijak tentu akan menimbulkan suatu kekacauan yang lebih buruk hingga berujung pada suatu situasi yang sulit lagi dicerna dengan akal sehat, bunuh diri misalnya. Untuk itu, barangkali manusia mesti menyadari diri akan eksistensi dan esensinya sebagai manusia yang memiliki potensi untuk memaafkan.

Kata ‘maaf’ merupakan jenis kata benda dan dipahami sebagai ungkapan penyesalan atau permohonan ampun atas suatu kesalahan atau kekeliruan baik dalam tutur maupun dalam tindakan. Sebagai kata benda, tentu kata ‘maaf’ amat gampang untuk diucapkan tetapi tidak demikian bila kata tersebut beralih fungsi menjadi kata kerja, yakni memaafkan. Boleh jadi, gambaran dunia kita sekarang ini dipenuhi dengan kenyataan kedua ini – sulitnya untuk mengaplikasikan kata ‘maaf’ sebagai jenis kata kerja.

Secara sederhana, memaafkan atau mengampuni dapat dimengerti semacam suatu sikap yang menunjukkan kerelaan dan keterbukaan diri untuk menerima ungkapan sesal dari orang lain. Bertolak dari definisi tersebut kurang lebih ada dua hal yang dapat dijadikan sebagai landasan pokok perihal memaafkan. Pertama, kerelaan. Kerelaan berarti ada kesiapsediaan dari pihak yang satu (penerima) untuk menerima permohonan maaf dari pihak yang lain (pemohon). Dalam konteks ini, pihak penerima bersedia untuk melupakan segala kesalahan dan kekeliruan yang pernah dilakukan oleh pihak pemohon di masa lalu.

Kedua, keterbukaan diri. Berkaitan dengan sikap ini, baik pihak penerima maupun pihak pemohon harus memilikinya. Bagi pihak penerima, keterbukaan diri itu ditunjukkan dalam sikapnya menerima dengan baik permohonan maaf dari pihak yang lain. Pihak penerima menyadari betul akan segala kemungkinan yang baik di hari esok dan berusaha untuk melupakan persoalan masa lalu serta menjadikan hal itu sebagai ‘catatan penting’ (pelajaran) demi menata ziarah di masa yang akan datang. Sementara bagi pihak pemohon, sikap terbuka ini sangat penting sebab persoalan hanya akan usai apabila dia yang mengambil inisiatif. Pihak pemohon mesti menyadari bahwa dirinya salah dan juga mampu membuka diri untuk meminta maaf kepada pihak penerima. Sikap sadar dan inisiatif dari pemohon menjadi tolak ukur untuk menciptakan kedamaian. Dalam konteks ini, keterbukaan diri bagi pihak pemohon juga dapat dipahami sebagai suatu kemampuan untuk keluar dari ego dan berusaha menyadari akan segala kesalahan yang telah dilakukannya.

Dua hal di atas tentu amat penting untuk dipertimbangkan dan direnungkan oleh setiap individu yang sedang berkonflik baik bagi pihak penerima maupun pihak pemohon. Bahkan dua hal tersebut secara khusus dialamatkan kepada pihak pemohon. Sebab pada dasarnya perdamaian atau rekonsiliasi hanya akan tercipta bila pihak pemohon yang mengambil inisiatif untuk meminta maaf atas segala kesalahannya. Jika tidak demikian maka yang tersisa dan terkenang dari sebuah pertikaian atau persoalan hanyalah sakit hati, emosi, ketidaksukaan, benci dan lain sebagainya hingga mengerucut pada kata dendam. Bila dendam telah merasuk dan bercokol dalam relung masing-masing pribadi tersebut maka selanjutnya hidup terasa penuh penderitaan dan hanya akan menuai air mata dan ratap tangis. Untuk itu, mari kita sadari betul akan pentingnya memaafkan sesama demi menciptakan dunia hidup yang harmonis. Tak usah hidup dalam kungkungan ego dan menyimpan dendam sebab hal itu hanya akan menambah puing-puing penderitaan. Mulailah memaafkan sebab seyogianya memaakan adalah cara balas dendam yang paling manis dan apik.

Baca juga:

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan