profetisitas-para-nabi

Profetisitas dalam Kehidupan Sehari-hari

Profetik umumnya didefinisikan dengan sikap kenabian. Kata profetik merupakan serapan dari kata prophet yang berarti nabi. Konsep profetik ini kemudian dibahas dan dipopulerkan oleh Kuntowijoyo dalam buku-bukunya. Konsep profetisitas ini oleh Kuntowijoyo digambarkan dalam salah satu puisinya yang terkenal berjudul “Daun Makrifat, Makrifat Daun”.

Puisi itu mengungkap pilihan Nabi untuk berjuang memperbaiki kehidupan bumi daripada menetap di kenyamanan surga. Hal tergambar dalam penolakan atas hadiah Malaikat apakah ia “ingin berjalan di atas mega?”. Nabi pun menjawab bahwa kakinya masih di bumi dan akan melangkah di bumi “sampai kejahatan terakhir dimusnahkan, sampai dhuafa dan mustadh’afin diangkat Tuhan dari penderitaan”. Puisi itu menggambarkan kembali peristiwa fenomenal diangkatnya Nabi ke Sidratul Muntaha.

Pilihan Nabi meninggalkan kenyamanan langit, dan nikmat religius karena bertemu Yang Maha Pencipta menjadi sebuah inti sikap kenabian. Hal ini yang membedakan antara Nabi dan Sufi. Sufi mengejar nikmat bertemu dengan Tuhan, dan tak akan melepasnya, namun Nabi lebih memilih medan pertempuran yang tidak nikmat meski telah dibukakan pintu surga.

Kisah tersebut saya refleksikan setelah kami berdiskusi dengan tanpa kesimpulan yang memuaskan segala fihak. Namun ada sebuah nilai baru yang saya fahami tentang profetisitas. Jika boleh saya sarikan dalam sebuah kesimpulan, etika profetik merupakan sikap anti kemapanan. Sikap menolak kenyamanan yang membuai dan kerelaan memilih jalan tak nikmat demi perjuangan. Bagi saya, sikap anti kemapanan merupakan garis pembatas dan pembeda dimana kita berdiri, apakah kaki kita telah menapak dalam misi kenabian atau tidak.

Membumikan Profetisitas

Selama ini, profetisitas dianggap terlalu berat bagi kita. Hal ini disebabkan kita membayangkan bahwa etika profetik hanya mampu dimiliki oleh Nabi-Nabi. Kita tergesa-gesa untuk membatasi diri rapat-rapat hingga tidak ada sedikit celah bagi kita untuk mampu menanggung tugas kenabian. Pesimisme seperti ini seolah merupakan “pengkhianatan sopan” berwajah manis terhadap etika profetik. Bukankah nyaring sering terdengar bahwa mundur adalah pengkhianatan?

Namun saya tidak ingin menegaskan pengkhianatan ini sebagai tuduhan yang akan saya tancapkan pada setiap orang pesimis. Saya menyadari bahwa itu lebih berasal dari kelemahan sikap atau pemahaman yang salah. Sebagai manusia yang terpelajar, sudah selayaknya mereka menyadari keberadaannya sebagai “warasatul anbiya”, pewaris sah perjuangan kenabian. Hal itu tentu meminta bayaran dengan menggadaikan kenikmatan pribadi.

Menggadaikan kenyamanan pribadi demi perjuangan merupakan konsekuensi bagi mereka yang melaksanakan etika profetik. Kenyamanan yang dimaksud tentu dalam pemahaman yang luas, bukan hanya sebatas meninggalkan kenyamanan masjid. Ada banyak kenyamanan yang masih membelenggu kita. Jika Nabi menghadapi godaan kenyamanan bertemu Tuhan, maka kita menghadapi bermacam-macam kenyamanan seperti kenyamanan belajar di kelas, waktu santai, fikiran tak pusing, hingar bingar masa muda, kasur empuk di kos, penuhnya uang di dompet, terjaminnya asupan perut, prestasi gemilang bin cumlote, lulus lancar tepat waktu, dan romantisme impian rumah tangga ala FTV setelah lulus kuliah.

Bagi mereka yang merelakan kenikmatan dan memilih hancur karena perjuangan dapat dikatakan mewarisi mentalitas kenabian. Tak harus menunggu alim nan soleh layaknya Nabi, karena mengamalkan profetisitas bisa kita mulai dari meninggalkan sepersenti empuknya kesuksesan. Kita bisa memulai mengamalkan etika profetik dari hal yang sederhana. Hal itu dapat dimulai dengan mengusahakan tiap apa yang kita mampu dan miliki mampu memberikan manfaat sosial.

Sedekah fikiran, ilmu, waktu, materi, telinga, tenaga dari yang paling sederhana demi membantu orang lain dan kehidupan dapat kita praktekan sebagai kesalehan profetik dalam sehari-hari. Menyediakan dua jam untuk membahas persoalan sosial, mengikuti aksi sosial, atau memberikan pengajaran kepada mereka yang membutuhkan dapat kita lakukan tanpa merampas seluruh kebahagiaan pribadi kita.

Hal yang mampu dijangkau dan menjadi kewajiban bagi kader ikatan adalah menyumbangkan pengetahuannya bagi kesejahteraan rakyat. Sebagai seorang terpelajar, tentu hendaknya tidak memanjakan diri semata dalam kenyamanan berdialektika dan bangku kelas yang ber-AC. Setelah ia telah lepas dari kampus dan mendapat gelar sarjana, seyogyanya pengabdian tetap menjadi jalan hidup, tidak hanya sebatas memanen nikmat dari ilmu kita punya.

Ada banyak contoh menurut saya yang telah melaksanakan etika profetik dalam berbagai kadar dan kondisinya. Kita bisa melihat Sidarta Gauthama, meninggalkan kenyamanan kerajaan demi mencari pencerahan baru untuk kehidupan masyarakat waktu itu. Leo Tolstoy juga demikian, meninggalkan “rasa gurih” kehidupan bangsawan kota kemudian tinggal di desa-desa mencoba mencari pemahaman baru tentang kehidupan. begitu pula KH Ahmad Dahlan, yang rela menggadaikan barang-barangnya guna membeli perkakas kemajuan umat dan bangsa Indonesia saat itu.

Bagi saya, etika profetik bukanlah monopoli Nabi. Bahkan kita seharusnya mewarisi semangat tersebut. Etika profetik tentu harus mengkristal membentuk mentalitas kenabian (prophetic mentality). Selain mentalitas, tentu kecakapan kenabian harus juga diperhatikan. Hal tersebut meliputi empat sifat nabi yaitu sidiq, amanah, tabligh dan fathonah. Empat hal tersebut akan meperbesar daya perjuangan.

Posisi fathonah, yang saya bahasakan sebagai intelektualitas, tentu sangatlah penting. Kita tentu perlu mengingat bahwa derajat orang berilmu memiliki kedudukan yang sama kecuali derajat kenabian. Hal itu menyiratkan bahwa ada peluang sama bagi setiap manusia, selagi ia mau mendaya gunakan akal budinya. Tanpa kecerdasan, pengabdian kemanusiaan tidak akan memberikan perubahan yang mendasar.

Kecerdasan tentu harus ditopang dengan sikap sidiq yang berarti benar. Kecerdasan yang dimiliki tentu perlu dilandasi dengan sikap kebenaran. Kebenaran dalam hal ini tercermin dalam kata dan tindakan. Kecerdasan saja tidak mampu menjamin orang terhindar dari kesalahan. Sikap untuk selalu mencari kebenaran inilah yang mewujud dalam laku, karena kita berbeda nabi yang kata-katanya selalu benar. Tindakan pun harus sesuai dengan kebenaran yang diucapkan.

Sifat amanah adalah dapat dipercaya. Jujur dan cerdas saja tidaklah cukup, diperlukan pula kekuatan mental dan kesabaran yang luas dalam menanggung beban perjuangkan. Sebagaimana halnya kesabaran saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kecerdasan dan kejujuran. Ujian amanah inilah yang sulit, karena banyak yang tidak mampu menjaga konsistensi perjuangan setelah banyak banyak beban yang semakin menggunung di atas punggung. Banyak pula yang enggan dan tidak sanggup membayar biaya perjuangan yang seringkali menuntut banyak dan beragam pengorbanan.

Dan yang terakhir adalah sifat tabligh yaitu selalu menyampaikan pencerahan dan kebenaran kepada rakyat yang perlu ditolong maupun penguasa ditentang. Kebenaran tetap harus disampaikan meskipun itu berujung pada kesakitan dan kepahitan pada diri sendiri atau orang yang sangat disayangi. Tentu sangat dibutuhkan keberanian yang sangat besar untuk melakukanya.

Keempat kecakapan kenabian tersebut dapat diterapkan dalam lingkup persoalan hidup yang sederhana. Namun tentu tidak lantas disederhanakan yang berujung pada penggampangan. Selain itu, setiap orang wajib dan rela menjadi benar, jika ingin mencapai kehidupan yang mulia dan sejahtera. Lebarkanlah telinga agar mampu mendengar suara-suara yang terabaikan. Tajamkanlah pandangan agar mampu melihat dengan jelas setiap ketimpangan-ketimpangan yang terkecil namun menjadi inti persoalan. Mulailah dari batas yang sederhana yang terjangkau oleh tangan dan jari-jarimu. Sekian.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan