kiamat

Satu Hari Sebelum Kiamat

 

Pasir pantai itu menelanmu. Genap tubuhmu tak tersisa. Bahkan kenang-kenangan senyummu di ponselku juga ikut raib. Seketika itu aku yakin, bahwa akan ada badai satu hari sebelum kiamat yang bekerja serupa kejadian itu: menghapus semua ingatan kita dan kita kembali pulang ke pangkuan Tuhan lantas menjadi bayi-bayi yang memulai hidup baru di surga.

kiamat

World collapse, doomsday scene, digital painting.

Pada saat itulah, barangkali, kutemukan kembali senyumanmu di ponselku. Aku berharap demikian. Tapi untuk apa? Bumi sudah dilanda tsunami, diguncang gempa, disisir angin ribut, dan aku sudah tak punya waktu untuk melihat ponsel agar mati bahagia. Apa sebaiknya kau telan sekalian ponselku ini, wahai pantai? Menyakitkan di hadapkan dua persoalan sekaligus dan membiarkan diri sendiri seperti samsak tinju. Namun, selain itu, kita tak lagi punya pilihan. Bahkan pilihan kompromi sekalipun.

Pantai itu, tak bernama. Kita menemukannya saat masih digulung gelombang asmara, bukan? Kau tentu ingat, ketika pagi sekali aku terbangun dan segera meraih ponsel untuk mengabarkanmu tentang pantai di mimpiku semalam. Kau bilang aku gila, dan, ya, aku gila, begitupun kau, yang mau menemaniku mencari pantai yang hadir di mimpiku semalam. Sepenuh hari kita menyusur jalan-jalan brangkal di tepi sungai, mengikuti alirnya, karena logikanya sungai akan bermuara ke laut serta tentu saja akan ada pantai di sana. Kau tertawa terpingkal-pingkal dan sesekali menaruh jari telunjukmu di dahi dan menariknya ke bawah dengan sudut yang miring. Ya, aku gila. Begitupun dengan kau.

“Sebelum menikah, aku ingin ke sini lagi,” Ucapku di dekat telingamu. Kau hanya melirikku dengan senyum, bukan dengan mata. Kau aneh. Aku gila. Lengkap sudah kita. Di pantai yang lengang, harum senja, desir angin, seorang kekasih, betapa sempurnanya hidup. Seperti sepasang katak yang terjebak di dalam tempurung kelapa dan tidak tahu bahwa ada luas bentala di luarnya. Mungkin seperti pasangan-pasangan lain, aku dan kau adalah pasangan paling serasi di muka bumi ini. Bukankah begitu, klaim kita di sekali waktu?

Bertahun-tahun bersama menjadi nilai paling memikat untuk ongkos menikah. Bilamana ada keserasian yang ditemukan menggunakan kecerdasan buatan berdasarkan algoritma agama, kepribadian, budaya, perilaku, cara berpikir, sikap, daya tahan mental, dan kesemua itu diproses dalam tempo sesingkat-singkatnya, mungkin aku tak akan tertarik menyewa jasanya. Jalinan waktu yang aku rajut bersama perempuan itu, mengarung jeram bersama masalah dan konflik interpersonal, merupakan harga yang terlalu mahal untuk dibayar oleh mesin. Ia tak akan mampu membelinya.

Tapi, seperti yang sudah-sudah aku katakan, bahwa kita adalah katak bodoh di dalam tempurung kelapa, Keika. Yang kita anggap ongkos termahal untuk menempuh pernikahan, rupanya masih belum cukup untuk membeli segalanya. Kita tak cukup dewasa bagi tiap orang tua yang tiap tahun, kita, anak-anaknya, selalu terlihat seperti anak mungil yang pernah digendongnya. Kita seperti ekor kuda yang meski menggelepar kesana kemari, tapi tetap mengikuti sang tubuh ke mana pergi. Kita berdiri seperti sudah ke mana-mana, tapi rupanya kita tak berpindah dari tempat bermula.

Sebagai orang tua yang baik, tentunya menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Dan orang tua kita nyaris selalu bersebrangan, Keika. Orang tuamu menganggapku sebagai anak yang kaku yang lahir dari didikan keluarga paling batu, sedangkan orang tuaku menganggapmu sebagai anak berandal yang lahir dari didikan keluarga begundal. Kedua garis itu, berhimpitan saja tidak, apalagi bersilang. Lantas akan kita temukan di mana titik terangnya? Jelas, jawabannya adalah tidak mungkin. Dua garis pikiran itu seperti sungai yang berjejeran sehingga tak dapat kita temukan aliran airnya menjadi satu hilir. Tak akan masuk akal. Apalagi masuk hati.

Sampailah ketidakserasian itu turut hinggap di tubuh pikiran kita, di mana tiap masalah sepele selalu menjadi besar dan menciptakan ledakan-ledakan yang membahayakan bagi hubungan kita. Jalinan waktu yang kita pintal bertahun-tahun, akhirnya berhenti. Aku yang memaksamu untuk terus melanjutkan, namun kau tetap bersikeras untuk berhenti. Kita bertemu di titik saling hadang dan berdebat sepanjang hari.

Kau lelah menghadang, aku pun juga. Lelah menerjang. Menerjang kebimbangan dan ketakutanmu yang menjulang seperti tembok perbatasan kota. Kita saling mendiamkan satu sama lain. Berhari-hari. Berbulan-bulan. Dan pada suatu sore sms darimu datang juga, membawa pengumuman, “Esok, menjelang malam, kita bertemu di pantai itu ya.” Kubaca ulang. Sekali lagi. Dan lagi. Ternyata aku tak salah baca. Dadaku seketika mekar lebar.

“Kita akan menikah, kan, Kei?” Todongku setelah kau sampai di bibir pantai itu. Pantai yang belum kita namai itu.

“Ya, tentu saja kita akan menikah,” Kau tak usah bersembunyi di masam wajahmu. Aku hapal betul. Bertahun-tahun kita bersama, kau ingat?

Tak lama kemudian kau berlari ke ceruk pantai, masih terus berlari hingga debur ombak menyambutmu, dan makin jauh kau kukejar, laut telah menangkapmu. Tepat di sekujur tubuhnya. Aku belum sampai menghunuskan pukulan, tubuh laut telah sirna, bersama tubuhmu, dan foto senyumanmu di ponselku.

Keika, entah kepada siapa surat ini akan kutujukan. Yang betul pasti, surat ini akan melarung ke tubuh laut, seperti tubuhmu yang hanyut kala itu, dan kali ini akan bersama tubuhku. Aku menyusulmu meski satu hari sebelum kiamat itu tiba, karena aku tak akan ada waktu apabila memang benar foto senyumanmu akan kembali muncul di ponselku, sebab bumi tentu sudah dilanda tsunami, diguncang gempa, dan disisir angin ribut. 2015.

Ia mengerjapkan layar ponsel nyaris berbarengan dengan kerjap matanya. Menengok tanggal dan tahun. Mendadak ia lupa ingatan. “2021. Hampir 6 tahun. Lama juga,” Dengusnya. “Apakah pak tua itu sadar kalau surat botolnya berlabuh di pantai yang sama, ya?” Tak lama kemudian ia bangkit, menepuk saku belakangnya yang penuh pasir, mengantongi ponselnya, dan melenggang melewati beberapa pasang wisatawan di balik tubuhnya.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan