monster-dalam-fiksi

Mengungkap Monster dalam Cerita Fiksi

Saya kurang tahu persis apakah kata monster sudah masuk dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Purwadarminta atau belum? Kamus Umum Bahasa Indonesia yang biasanya dikenal dengan sebutan KUBI merupakan cikal bakal penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dulu KUBI menjadi kamus rujukan untuk menemukan kata yang standar atau yang baku. Biasanya kata asing atau kata daerah yang sudah masuk dalam KUBI dianggap sudah diterima sebagai kata baku bahasa Indonesia. Itulah sebabnya untuk tahu sejak kapan kata monster diterima sebagai bahasa Indonesia, kita perlu mengecek KUBI.

Sayangnya, saya tidak bisa mengecek KUBI sebab KUBI saya dipinjam dan sampai sekarang belum dikembalikan. Akan tetapi, jika mengeceknya pada KBBI, saya menemukan kata monster sudah masuk sejak Edisi II yang diterbitkan pada tahun 1988. Dan, sampai Edisi IV, kata monster tidak mengalami perubahan baik dari sisi bentuk maupun maknanya.

Pada KBBI, kata monster memiliki dua entri yang biasanya dikenal dengan sebutan homonimi, yaitu dua atau lebih bentuk kata yang memiliki pengucapan dan penulisan yang sama, tetapi maknanya berbeda. Monster pada entri pertama bermakna ‘contoh barang dagangan untuk dinilai mutunya (bobotnya, warnanya, dan sebagainya’. Sebaliknya, pada entri kedua, monster bermakna (1) binatang, orang, atau tumbuhan yg bentuk atau rupanya sangat menyimpang dr yg biasa, (2) makhluk yg berukuran luar biasa (sangat besar), dan (3) makhluk yg menakutkan, hanya terdapat dalam dongeng, seperti ular naga raksasa. Dalam artikel ini, kata monster yang saya bicarakan dan berkaitan dengan cerita fiksi tentu saja monster pada entri kedua.

Lalu, pertanyaan saya selanjutnya adalah sebelum kata monster diterima sebagai kata bahasa Indonesia, adakah kata lain yang dipakai oleh masyarakat kita untuk mengacu pada makhluk yang didefinisikan pada entri kedua itu? Seingat saya, sebagai pencinta wayang, dalam wayang dikenal sekelompok wayang yang ukurannya sangat besar melebihi orang normal dengan wajah yang menakutkan. Jenis wayang itu, oleh Ki Dalang, disebut dengan buta (dalam bahasa Sunda) atau buto (dalam bahasa Jawa) yang biasanya diindonesiakan menjadi raksasa. Mereka selalu menjadi tokoh antagonis yang menjadi musuh para ksatria. Namun, buta, buto, atau raksasa itu biasanya mengacu kepada jenis monster berbentuk manusia utuh, hanya saja wajahnya menyeramkan dan ukurannya sangat besar. Padahal, monster dalam cerita fiksi, baik dalam dongeng lama maupun dongengan mutakhir, ditemukan berbagai bentuk.

Booker (2010: 31-32) menjelaskan tentang berbagai bentuk monster. Monster-monster itu biasanya berbentuk seekor binatang, gabungan berbagai binatang, manusia, dan gabungan antara manusia dan binatang. Contoh monster yang berbentuk seekor binatang dengan ukuran sangat besar dimunculkan dalam film King Kong, Jaw, dan Gozila. Ular naga raksasa yang menjadi mitos masyarakat Tionghoa merupakan monster berbentuk gabungan binatang, sekurang-kurang terdapat tiga binatang pada seekor ular naga. Adapun monster yang berbentuk orang, misalnya, para raksasa. Lalu, monster yang setengah manusia dan setengah binatang atau campuran manusia-binatang dengan proposisi seimbang atau tidak, misalnya, minotaur dalam mitos Yunani yang berbentuk setengah manusia dan setengah kerbau dan spinx yang berbadan singa, tetapi berkepala manusia.

Monster-monster yang berbentuk binatang atau campuran manusia dan binatang itu tidaklah dapat disebut sebagai buta, buto, atau raksasa dalam bahasa Indonesia. Sebab itu, saya pikir para penyusun KBBI dengan sangat terpaksa akhirnya mengadopsi kata monster menjadi kosa kata bahasa Indonesia. Apalagi pada cerita fiksi-cerita fiksi mutakhir, misalnya dalam film Transformer, monster bukan lagi gabungan manusia dan binatang, tetapi gabungan mesin yang satu dan mesin yang lain (gabungan mobil dan robot).

Lalu, menurut Anda, apakah bidadari itu monster? Bukankah sering kita lihat dalam film-film Hollywood, bidadari itu perempuan yang memiliki sayap burung? Jadi, seperti gabungan antara manusia dan binatang. Ya, tentu saja, bidadari bukan monster sebab monster itu menakutkan, mematikan, haus darah, mengerikan, dan sederet bentuk yang jika menemukannya, kita ingin lari menyelamatkan diri. Sebaliknya, pada bidadari, kita ingin menyelamatkan-nya.

Tambun Selatan, Akhir-akhir Ramadan.

, , , , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan