kubunuh-di-sini-soe-tjen-marching

Soe Tjen Maching: Sakit, Kematian, dan Kehidupan

Manusia terlampau ringkih. Ia menjadi tak berdaya karena sakit. Sakit bukan hanya menyadarkan kita betapa ringkihnya kita. Ia juga cepat merampas harta kita. Betapa seringnya anjuran dokter dan petugas kesehatan untuk menjaga tubuh kita, sakit seperti tak bisa dibendung. Tuhan menciptakan sakit untuk mengingatkan bahwa ia menguji sekaligus menyayangi kita.

Masih terngiang dalam ingatan saya, sosok perempuan yang menjadi pendiri Majalah Bhinneka. Saya mengenalnya dari Mas Helmi yang sekarang jadi pengurus Maarif Institute Jakarta. Ia membawa majalah kecil empat eksemplar, ia meminta saya membagikannya pada organisasi mahasiswa. Ia berpesan : “setelah selesai membaca jangan dibuang, sebarkan biar lebih banyak orang membaca.”

Ia adalah sosok yang ada di balik Majalah Bhinneka yang mengusung nilai-nilai Pancasila, namanya : Soe Tjen Marching. Di media sosial saya pun mencari namanya. Konon ia seorang atheis. Tapi urusan atheis tak menjadi perhatian saya. Saya membaca aktifitas dan kesehariannya dari dinding facebooknya. Saat itu saya jadi faham, ia seorang komponis hebat, penulis dan aktifis perempuan yang disertasinya meneliti tentang perempuan. Tahun-tahun berikutnya saya pun membaca buku-bukunya. Mati Bertahun Yang Lalu, disertasinya berjudul Kisah Di Balik Pintu (2011) diterbitkan Penerbit Ombak dan diberi pengantar Susan Blackburn.
Tahun 2013 terbit lagi bukunya berjudul Kubunuh Disini (2013). Saya tergolong yang terlambat membaca kisah tentang lika-liku kehidupannya yang berpindah-pindah domisili dengan kesulitan dan sakit yang dideranya. Buku ini baru saja kutamatkan di tahun 2019. Akan tetapi saya rasa lebih baik terlambat daripada tak membacanya.

Dari SMA St Louis Surabaya, dikisahkan Soe Tjen adalah seorang murid yang bandel. Suka kabur dari sekolah, tukang contek, dan pernah mendapat rangking 3 dari belakang. Ia merasa jengkel saat teman-temannya mengatakan “Perempuan kok seperti itu”. Dari kata-kata itu ia semakin mempelajari dan banyak membaca penulis dan pemikir perempuan. Ini pula yang melandasi dia sebagai pemikir perempuan yang kritis di Indonesia nantinya.

kubunuh-di-sini-soe-tjen-marchingDi tengah-tengah menyelesaikan disertasinya, ia harus dilanda kesakitan tak terperi. Ia menceritakan pada pembaca apa yang ia rasakan : “Sudah tiga tahun ini kamu membuatku menderita luar biasa, dengan nyeri di seputar punggung. Terutama bila cuaca dingin. Sudah tiga tahun ini juga kamu mengusik tidurku. Kamu yang membangunkan aku, dengan menusuk pinggangku.” Ia diserang kanker tiroid. Menempuh pengobatan di tiga negara Indonesia, Australia, hingga Inggris membuat tubuh ringkih ini harus kuat bertahan. Soe Tjen tak mudah menyerah pada penyakitnya. Ia terus berusaha melawan penyakitnya dengan dampingan Angus suaminya.

Selain di Melbourne untuk menyelesaikan disertasinya, Soe Tjen juga harus berobat menyembuhkan penyakitnya. Ia juga menceritakan bagaimana posisi orang Indonesia saat menjadi yang terbaik di luar negeri. “Ketika aku masuk universitas ini, nilaiku sangat amburadul. Bahasa inggrisku yang kurang bagus membuatku kesulitan menerima pelajaran. Tapi setelah beberapa lama aku berhasil mengejar ketinggalanku dan lulus dengan nilai kedua terbaik. Hanya tiga orang yang memberi selamat kepadaku. Yang lain memandang dengan aneh. Seolah berkata: spesies aneh ini kok bisa mendapat nilai bagus di universitas mereka? Tahun sebelumnya, dua orang yang mendapat nilai tertinggi mendapat surat dari Kepala Jurusan. Tahun ini aku tidak mendapat penghargaan itu. Tanpa alasan. Dan aku tidak berniat memohon kepadanya.”

Angus dan Soe Tjen kini menghadapi persoalan dari pemerintah Australia yang menganggap warga negara imigran adalah orang yang patut dicurigai dan disingkirkan. Angus sendiri memiliki persoalan di kampusnya. Sementara Soe Tjen masih dalam proses pengobatannya. Angus akhirnya menyetujui tawaran dari University of London menjadi dosen di sana. Dan mengundurkan diri dari Univesity of Ballarat.

Tahun 2004, Soe Tjen dan Angus tinggal di apartemen yang tak begitu bagus. Meski tak begitu bagus, tapi harganya cukup lumayan. Di apartemen itu, banyak tinggal remaja inggris yang sering membuat masalah kriminal. “ Masih banyak kisah lain yang lebih seram. Di London, remaja yang haus darah berkeliaran di mana-mana, seperti drakula. Mereka membunuh karena hobi, dan merekam penderitaan korban di video, mungkin untuk kenang-kenangan di hari tua. Tidak jauh dari tempat tinggalku seorang lelaki ditusuk hanya karena remaja itu ingin merampas hand-phone-nya.”

Pulang dari London setelah pengobatan, ia akhirnya masih mempunyai harapan hidup. Ia terus terlibat dalam isu-isu kesetaraan dan hak asasi manusia. Ia terlibat dalam pendirian dan mengawal Majalah Bhinneka. Sampai sekarang, ia masih menuliskan pemikiran kritisnya tentang HAM, tentang feminisme dan tentang persoalan aktual di Indonesia.

Kisah Soe Tjen melawan penyakitnya membuat kita menjadi semakin bersyukur dan memaknai hidup. Hidup pada akhirnya harus memberi arti sebisa mungkin. Sebelum tubuh dan raga menjadi lemas, dan tak berdaya.


Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Kepala Sekolah SMK Citra Medika Sukoharjo

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan