SPP: Menanti Alas, Mengulas Bukti.

Kau sangat girang mendapat kotak kelengkeng dekat meja mungil Ka Houri. Rabu lampau menyiang begitu kijang sabab Kau berpejam kian denyut usai menggarap syair bahasa Inggris. Kau kaget tentu, Ummy-Abuya berada di ruang depan, Kau bahkan masih telentang saat Ummy memegang entong nasi. Makan siang Abuya! Anakku Sayang, sudah bangun, Nak. Ia begitu luluh, terlibat peluh, lantas berpuluh. Kasur tampak memelukmu rekat. Kau melayah mencari rok pun baju, tarik kekang menyasar ruang pojok timur, lantas mandi kilat menurutmu. Merapat kamar lekas, ampar sajadah, Kau tertinggal Dhuhr, waktu, pun laju.

“Anakku lahir, utuuu, … anakku lahir, anakku lahir!” serumu kian kali sembari peluk kasih persegi panjang depan ragamu.

“Aku hendak buka langsung, namun teringat … Kau pasti berharap pun bersemangat sangat membuka kemul bayimu.” Ia berhati walau sibuk depan layar, biasa lirik miring.

T. A. H. S. A.

Usada Kundur Sareng (UKS) memanggil cerita 2019 lampau saat singgahmu mengetir seorang wanita kepala 3 atau 4 penghuni lorong D. Padang itu masih sepi laksana satu hingga dua tahun lampau, satu pengendara berlalu, berpapas santai pun asing … sabab belum tahu/ kenal memang.

“Ka, Afraah pakai bedak dahulu, yah.”

“Yah.”

Kau berhenti di sisi kiri dekat ruang jaga satpam, kian jarak dari lorong H. Kau pinta minum Ka Houri, lantas sibak tas lempang kuning.

“Yah. Kau pakai bedak gegara hendak bersua Nyai Kaltsum.”

Kau tawar permen, lantas masuk mulut. Kenapa, Nak? Siapa Nyai Kaltsum hingga begitu kagum?

“Sikat gigi alih-alih permen.”

“Afraah telah, yah!”

Kau menggelicik tentu bareng senyum lingsem*¹. Kau colek bedak padat dengan busa bundar langsat, oles satu, dua, tiga kali. Kau tengok cermin kendara, senyum, tatap Ka Houri. Tawa kecil menetas terselimut kerudung abu. Kalian menunggang kuda abad 21, meluncur dua lorong seberang tuju pagar kelapa berangka 20 kian. Kau belok kunci hitam bertanda S ke kiri. Buka jok, baginya, Kau menyerobot lama satu kitab, Ka Houri pasti gereget, semua padha*² ujarnya, isi ialah hal utama alih-alih sampul. Suara menyebut aranmu! Kau menoleh ke pintu timur, sibuk memilih kitab kembali segera. Sahut itu hendak Kau masuk pun Kakak tentu.

Gerbang ini seolah tua saking lama belum bersua. Kau belum biasa akan bebannya, menggeser cukup bertenaga merenggang tiga langkah kaki orang dewasa. Kau raih wajah kendara di depan lintas lajur besi itu sebelum melangkah lebih jauh, semoga aman. Tapakmu tersusul jejak wanita berkerudung segiempat hitam. Kau sadar Sang Penyila belum bertudung hingga Kau menyentil bilah kata nan merunutnya masuk ambil lapis hitam bertulis LPDP.

“Sta, Ummy punya tamu, coba tengok siapa datang,” Ia memegang kedua tangan putri lincah nan panggah*³ otot laksana 2 tahun lampau. “Coba buka tudungmu, Afraah.”

Kau singkap kian detik, lare* itu hendak melepas genggam, yah, berhasil! Meliuk ruang tengah laksana tikus. Lupa? Boleh. Sisi lain, Kau rindu Kaj, kurang lebih satu tahun, 365 hari, Afraah! “Kaj, ini …” Kau sodor Sorban Padang Pasir, bunyi akhir tiap kata kian panjang, alam tiap tapak kian dingin. Bukan sua tunggil*, Sayang! Kaj terima. Mengapa hindar labas?

“Tak goleki, kok ndak ana ndek pundi wanci acara Kyai Hamyd pun Kyai Thalib?” (Aku cari, kenapa tak ada di mana saat acara Kyai Hamyd pun Kyai Thalib?)

 Kaj jarang terjun sabab Wabah 19, ‘kan? Kala itu, hindar jabat tangan. “Acara?”

“Kaji Kitab 19.”

“Begitu. Asta Tinggi terlalu sepi pun jauh, rawan, hehhe. Kami hadir acara KK 21 Sab besok ان شاء الله.”

Aku raisa, enek tenggat. (Aku tak bisa, ada tenggat). Itu saja tersuruh kirim di Jogjakarta hingga Sta hendak pindah sekolah, batal wis sabab merah.”

Afraah hendak isi acara, Kaj. Afraah berharap Kaj ikut giat Feb 2020 di Dasuk Laok pun di Al-Amien nanti.  Sta pindah? Sejak lampau ‘kan? Simpul cepat kali, bayang ragam. Ia tetap di Tjahaja ternyata.

“Kaj, pinta du’a, yah. Hindar sesal saat baca Kitab SPP.”

“Ket biyen, ngene iki, Ka, raberubah.” (Sejak lampau, begini ini, Ka, tak berubah.)

“Hehhe.”

“Suwi, raketemu. Kangen obrol. Skripsi, … pripun?” (Lama, tak bersua. Kangen obrol. Skripsi, … bagaimana?)

Afraah pun Kaj. ‘Aidul Fitri, Afraah rindu, baru siap usai Atmaja* lahir. “Yah, … Afraah tinggal Kaj.” Socamu* tengok atap putih beranda wanita itu. Kanan-kiri.

“Nanging*, wis kumpul?”

“Sampun*, Kaj.”

Kau pinta du’a pada Kaj kian kali, yah, … Kau sadar, ingat zaman lampau kalian kental, pun di sini.

T. A. H. S. A.

“Anakku, … Anakku lahir, … Anakku.”

Kau angkit, raih pimes (pemotong) di atas lemari hitam, sila menghadap pintu. Lembut, pelan, telaten, singkap balut hitam pun kertas kelengkeng. Mata belok berenang dari tepi kanan, menyelam ke tengah dasar, ke kiri. Satu kitab, Kau telah lama hendak salur untuk Ka Houri. Kau bawa bangun ruang beralas persegi panjang ke samping kanannya.

“Ka, ambil satu.” Kau rajut sumringah*¹⁰ pun sipu di sekitar rahang.

“Kau saja.”

“Tunggu, Afraah pilih kitab bagus, yah!” Kau tilik 6 sisi agar Pendengar paling awal menggendong bayimu sempurna.

“Isi padha, ‘kan?” sindirnya, lantas menatap layar bali.

Yah, cantik memang dari hati alih-alih paras. Betapa! Mengapa Kau terlena (sering), Wahai Diri?

Lagi, Kau elus halus Sang Kembar hingga Ashr bercilukba. Ka Houri bersegera pun Kau. Lepasnya, kalian berpamit, menggiring sepeda timur-selatan usai menitip 21 naskah di jok, Kau sempat tengok kotak akan sesak di dalam, Kau ubah letak: sisi atas tidur ke timur, namun Kau ganti menghadap alas duduk kembali, hendak jaganya bareng selalu memang (Kau setuju bahwa kadang, bersanding berhasil akan layah, ‘kan?), sisa barang di tas santai kuning mencolok-peserta lomba Soca-Taling-Lathi, kendaramu bak mlijo saja, merayap di desa asri nan putih. Berkendara lewat Jl. Raya Kapedi-Bluto, Jl. Raya Prenduan, Jl. Raya Pamekasan-Sumenep, Jl. Raya Sumenep-Pamekasan, Jl. Talang Siring, Jl. Raya Pragaan, belas km, menimbang tugas warta 10 judul setiap hari, Kau coba, siapa sangka, riak menuntun bicara.

“Pripun misal ke Nyai Kaltsum?”

Sang wanita muda boleh jadi sedang menarik benang. “Yah, … terserah.”

Mengapa Kau seolah belum terpikat? “Ke sana, yah? Mumpung satu arah, hehhe.”

“Bila begitu, ugi*¹¹ ke tempat pastel, satu arah, hehhe.”

Beserta deru kendara roda ragam, Kau nikmat udara sore itu, cerah, girang, tenteram, pun Ka Houri memeluk kali Kau kencang buluh hitam kanan.

  T. A. H. S. A.

Kaj belum bersuara. Kau berdiri hadap lemari kitab Ka Houri. Tumpuk ketiga baris kedua atas, soca binar benar, Kau ambil Atmaja nuansa Yaman. Masih terbungkus bening. Hindar tanya sabab hendak percaya pun tahu alam tenggat.

“Ka belum baca, masih tata waktu, akan berlaku bila telah sesuai akan warta 10, eman bila tinggal jalan tengah.”

“Begitu.”

Jelas kini, Kau fikr laksana Ka Ha, baca nanti sabab telah geser berkas. Kapan peka, Nak? Maaf, Ka Houri, Afraah kedah bersabr (menanti alas, mengulas bukti). Bersimpul lekas kadang berabai alam gejala.

Kaj belum bersua pesan. Kau berdiri dekat lemari hitam Ka Houri, simak gerak awan langit timur. Jejak kaki tanggal 16 bulan 6 nan mengarak seberang roda 4 terciprat suara wanita bertudung hitam, “Abw, tengok kitab Afraah, Abw.” Bila bunyi bertempias walau jarum panjang tipis merangkak lewat 03:17?

Baca Juga: Tidakkah Kita Akan Menua Bersama? 

*¹ Lingsem (Jawa)       : malu;

*² Padha (Jawa)          : tara;

*³ Panggah (Jawa)       : tetap;

*Lare (Jawa)             : anak;

*Tunggil (Jawa)        : satu, tunggal;

* Atmaja (Jawa)         : anak;

*Soca (Jawa)             : mata;

*Nanging (Jawa)       : tetapi;

*Sampun (Jawa)       : sudah;

*¹⁰ Sumringah (Jawa)  : cerah;

*¹¹ Ugi (Jawa)             : juga.

 

Tjahjaning Afraah Hasan S. A.

Rambipuji, Jember, Indonesia

Jum. 18 Jun 2021

Kurma: Sab. 10 Jul 2021

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan