pantai-sakala

Tangis Merah di Sakala

Gila! Utang dua juta ditambah bunga dua juta harus dibayar esok juga. Karim sungguh-sungguh gila. Bahkan iblis pun tahu diri, tak meminta ampunan Tuhan sebab ia sadar diri telah durhaka. Lantas, mengapa lelaki beristri sebelas itu bertindak melebihi iblis penghuni neraka?

Kalau bukan mesin kapal rusak, tak mungkin Yunus meminjam. Kalau bukan tinggi gelombang, pasti dia berlayar. Kalau bukan kebutuhan dapur. Kalau bukan desakan uang berobat di bidan yang mesti dilunasi. Ah, sudahlah. Dia telah berutang dan harus dibayar. Sialnya, yang dipinjami adalah orang kikir, arogan dan satu lagi; diktator tingkat langit. Telat sedikit, tak cuma amuk marah yang diterima. Bisa-bisa, barang di rumah dirampas seenaknya.

“Tidakkah Kakak lihat pasang belum surut benar? Undur esok malam saja, Kak. Tak baik melaut di tengah tinggi gelombang.”

“Karim akan merampas semuanya, Sri. Baik-baiklah kau di sini. Biar aku dan Arung beradu untung. Moga-moga Lah Ta’ala membersamai kami.”

Lihatlah! Betapa cemas perempuan yang tengah mengandung empat bulan itu. Para lelaki yang membantu menarik kapal berkali-kali memintanya berdiam diri di rumah. Tetapi Sri bergeming. Tak beranjak hingga melihat adik dan suaminya berlayar. Sampai keduanya tersisa bayang-bayang.

Sebagai penduduk terpencil, Sakala takkan bisa kau temui di peta. Boleh jadi pulau ini masih berada di wilayah administrasi Sumenep, padahal butuh waktu dua puluh jam lebih. Sedangkan menuju Sulawesi, hanya memakan waktu empat jam saja. Tak ayal, kau mesti memanjat pohon kedongdong hanya sekadar mengirim satu pesan, itupun sinyalnya kadang muncul kadang hilang.

Maka, tak heran jika banyak orang lebih senang menuju Mataram untuk membeli kebutuhan. Seperti apa yang dialami kedua orang tua Sri. Bermaksud mengantar keponakan menikah, justru kapal tenggelam sebelum sampai di Mataram. Yatim piatulah Sri dan adiknya seketika. Kalau engkau kehilangan sanak keluarga tetapi dikubur, masih bisa membesuknya walau sebatas gundukan tanah. Lantas, bagaimana pilunya kedua anak itu terlebih Arung yang ikut melaut? Pantas kalau dirinya begitu suka melamun memandang lautan tak bersudut. Sebab hanya itu yang membuatnya menyapa bagaimana kabar ayah dan ibunya yang mati di sana.

 “Bisakah kita memperoleh ikan walau seekor? Gelombang kian meninggi.”

“Tak usah takut, Rung. Kita ini pelaut. Nenek moyang kita orang Bugis. Pantang pulang jika layar sudah terbentang. Malu pada leluhur.”

“Ai, ini bukan soal leluhur, Kak. Ini soal anakmu yang tengah dikandung. Kalau kita mati di sini, bagaimana nasib kandungan Mbak Sri?”

Yunus tak menyahut. Ia memilih ke dalam kapal, mengambil kitab suci yang berwarna kusam.

“Bacalah, Rung! Itu lebih baik daripada merisaukan alam.”

Sebetulnya, hati Yunus jauh lebih getir. Bayangan kemiskinan menyobek-nyobek malam yang penuh hantaman gelombang. Beruntung suara merdu Arung menenangkan batin Yunus. Lamat-lamat ia merasakan peristiwa sebelas tahun lalu kembali berkelabat. Saat orang tua Sri dan Arung meninggal dan tak ditemukan hingga sekarang.

 “Lah Ta’ala mendengar doa kita, Kak. Gelombang tak lagi pasang. Kita bisa melempar jaring. Mudah-mudahan ada banyak ikan.”

Yunus tak sadar mendapati perubahan alam. Segera ia melempar jaring yang diperbaikinya sedari kemarin. Sepertinya, Tuhan benar-benar kasihan. Dalam sekali lempar saja, Yunus merasakan ada tarikan luar biasa. Cepat-cepat ia tarik jaring ke atas kapal. Dan, sungguh. Ikan tembang dan ikan tengkurung yang teramat banyak tersangkut di antara temali jaring. Yunus tersenyum. Usai memindah ikan ke kotak, kembali ia lempar jaring kuat-kuat. Kali ini, ikan belida dan ikan tongkol yang tersangkut. Begitu seterusnya sampai dirasa cukup.

“Kalau begini terus-menerus, Rung. Kau bisa kuliah tahun ini. Kau hendak ke mana? Surabaya, Jogja atau Jakarta? Aku akan biayai.”

Arung senyum geli mendapati kakak iparnya membusungkan dada.

“Tak perlu, Kak. Aku mau melaut saja.”

“Ai, jangan begitu, Rung. Sebelum kau menikahi perempuan, aku yang bertanggung jawab atas masa depanmu. Kau harus tetap sekolah. Apapun yang terjadi.”

Tak bisa ditampik, Yunus tak sekadar menjelma saudara. Ia juga berkiprah atas peran ayah. Sekalipun begitu, Arung tak menggubris. Ia sibuk memisahkan ikan yang terperangkap jaring dan sesekali pandangannya jatuh pada lautan.

Sebagai nelayan yang masih mengandalkan isyarat alam, Yunus tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Angin laut dirasakannya bertiup. Bergegaslah ia memutar haluan kapal menuju daratan. Sayangnya, belum sampai ia melihat fajar shodiq di bentangan langit timur, tiga ekor gagak melintas. Berputar di atas kapal.

 “Jangan khawatir, Rung. Semua baik-baik saja.”

“Gagak itu…”

“Kita di laut. Tak terjadi apa-apa.”

Ah, Yunus berhasil jua menentramkan hati Arung. Ketiga ekor burung yang dianggap pertanda buruk tak lagi di atas kapal. Mereka terbang menuju daratan. Seperti halnya kapal Yunus yang membawa banyak ikan. Sesampainya di tempat pelelangan, Yunus terus menerus senyum. Pak Herman sang juragan tak kalah senang melihat hasil tangkapan.

“Beruntung kali kau ini. Harga mahal banyak pula.”

“Ah, rezeki tak tahu arah datangnya. Lagipula, saya kudu bayar utang.”

“Bah, paling-paling hanya diambil seperempat. Sisanya kau bisa beli emas di Wan Ali.”

Yunus tertawa mendengar kelakar Pak Herman. Tetapi terhenti begitu saja manakala Ningsih menghampiri dengan raut muka pucat pasi.

“Cepat temui istrimu, Nus! Cepat pergi!”

Yunus dan Arung saling menatap sebelum akhirnya beradu cepat. Keduanya tak lagi menghiraukan uang yang belum dibayar juragan. Mereka berlari disusul banyak lelaki. Setibanya di rumah, orang-orang yang berkerumun memberinya jalan. Terlihatlah sang istri tak mengenakan pakaian menangis sesegukan.

“Jangan lakukan itu, Sri! Jangan!”

Yunus mencoba mendekat. Sri tak kalah cepat. Pisau yang digenggamnya dihunuskan ke perut yang tengah mengandung. Beruntung Yunus berhasil merampas pisau sehingga tak sampai terluka.

“Kakak tak lihat aku telah dinodai? Tak ada lagi tempat yang pantas bagi perempuan macamku ini, Kak. Tak ada! Bahkan seandainya aku meneguk darah lelaki itu sampai habis, kelakiannya telah tertanam di perut ini. Tubuhku tak lagi suci. Tubuhku telah kotor.”

Arung yang mendapati saudaranya menangis tak karuan tak tinggal diam. Dirampaslah pisau yang dipegang Yunus dan berlari ke luar rumah. Orang-orang mencegat. Yunus beranjak menahan. Tetapi Arung tetaplah Arung. Baginya, harga diri tak ternilai harganya. Benih api di dalam dada, gemuruh yang lahir lebih riuh harus ditumpaskan sekarang juga. Karim yang berkacak pinggang di depan rumahnya kelabakan. Ia berlari mendapati Arung bermuka seram menghampiri dirinya. Karim terus berlari ke arah pantai. Arung pun tak kalah cepat. Ia berlari sekencang angin dan berhenti usai Karim tersungkur tersandung batok kelapa. Arung tak menyia-nyiakan kesempatan. Ditendanglah lelaki itu berkali-kali lalu ditancapkannya pisau ke perut Karim. Matilah Karim seketika. Padahal baru saja ia bersenggema. Memaksa Sri menuruti hasratnya. Tak berhenti di situ. Arung membelah perut Karim. Diwadahinya darah yang muncrat dengan batok kelapa kering.

“Bawa pada istrimu, Kak. Sucikanlah ujung rambut sampai mata kakinya menggunakan darah ini. Niscaya dendam kita sedikit terobati.”

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan