buku-demokrasi-di-indonesia

Tantangan Demokrasi Era Pandemi

Sejak dari awal didirikannya, republik Indonesia telah membabtis diri sebagai negara demokrasi. Dalam rentangan waktu perjalanan panjang dari orde lama hingga orde baru, pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum pernah mencapai titik pari purna. Reformasi adalah saat di mana harapan akan tegaknya demokrasi itu diletakan. Namun demikian, perihal penegakan demokrasi itu masih juga jauh dari harapan. Ada sejumlah tantangan yang menjadi sandungan bagi tegaknya demokrasi di republik ini. Seperti biasa, tantangan yang paling mungkin bagi demokrasi adalah kekuasaan yang mengarah kepada model otoritarianisme. Namun tentang hal ini kelihatannya seperti sebatas model tantangan yang sudah menjadi klasik. Semenjak adanya kesadaran reformasi, tantangan berupa model-model kekuasaan yang otoriter semacam ini terus digusur melalui evaluasi sistem dan kritik publik.

Tantangan lain yang sebenarnya menjadi sandungan bagi demokrasi saat ini adalah justru berasal dari arus bawah.  Jika ditimbang, tantangan yang berasal dari arus bawah ini sebenarnya lebih rumit bila dibandingkan dengan tantangan yang berasal dari arus atas (kekuasaan). Hal ini berdasar karena memang tantangan bagi demokrasi itu sendiri juga merupakan imbas atau konsekuensi lain dari penegakan demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang menghadirkan kebebasan bagi setiap orang untuk mengungkapkan aspirasinya kerap kali disalahgunakan dan juga retan disusupi oleh kekuatan kepentingan subjketif kelompok tertentu.

Tentang hal ini tentu bukan hanya sekadar cerita ompong dari mereka yang fobia akan demokrasi. Fakta tentang munculnya berbagai kerusuhan di balik aksi massa dan demonstrasi sebagai bukti realisai dari demokrasi adalah fakta yang tidak dapat ditepis. Selain itu, munculnya berbagai gerakan radikalisme belakangan ini yang menyusup melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan dan agama serta berlindung di bawah panji demokrasi yang menyediakan ruang bagi kebebasan untuk berpikir dan berpendapat adalah juga contoh langsung dari tatangan demokrasi saat ini.

Di tengah wabah virus corona yang semakin mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara kini, lagi-lagi polemik seputar demokrasi itu kembali mencuat. Salah satu persoalan demokrasi yang kembali mencuat adalah soal suara kritis yang telah kehilangan pegangan etisnya dan menjurus kepada model-model penghinaan. Salah satu kritik yang sempat ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu adalah yang dilayangkan oleh Said Didu yang secara terbuka menuduh bahwa di kepala Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan hanya memikirkan uang dan uang semata. Sebagai tanggapannya, Menko Kemaritiman juga tidak tinggal diam dan mengancam akan melaporkan Said Didu ke pihak berwajib. Soal suara kritis yang menjurus kepada penghinaan semacam ini adalah bukan kali pertamanya terjadi. Di media-media sosial, kritik yang tidak konstruktif ini dapat kita jumpai dalam bentuk keraguan terhadap penegakaan protokol kesehatan dan juga soal vaksinasi.

Pada tempat pertama harus diakui bahwa kebebasan berpendapat adalah hal yang sudah mutlak dalam demokrasi. Demokrasi yang menitikberatkan pada kekuasaan yang berada di tangan rakyat sudah tentu harus memberi ruang kebebasan bagi rakyat untuk mengatur jalannya roda pemerintahan. Salah satu jalan bagi publik untuk ikut serta mengatur jalannya roda pemerintahan adalah melalui suara kritis yang disuarakan terhadap setiap kebijakan yang dianggap menyimpang. Namun demikian harus disadarai bahwa kebebasan semacam ini juga kerap disalahgunakan. Penyalahgunaan kebebasan semacam ini dapat dilihat dari cara orang mengajukan kritik itu sendiri. Atas nama kebebasan dan demokrasi orang kerap kali melancarkan kritik yang destruktif, menyerang ke ranah privat, menjatuhkan atau yang lebih parahnya lagi adalah melakukan penghinaan terhadap pihak yang dikritik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa persoalan dalam demokrasi kita saat ini terletak pada minimnya kesadaran untuk membedakan antara kritik di satu pihak dan juga penghinaan di sisi lain.

Tentang kritik itu sendiri Jȕrgen Habermas salah satu filsuf berkebangsaan Jerman yang mencita-citakan demokrasi yang dibangun di atas dasar diskursus pernah menuliskan perihal kritik itu sendiri. Baginya kritik itu sangat penting sebagai upaya untuk menyingkap sebuah kekuasaan yang bersifat mendominasi dan represif. Namun kritik yang dimaksudkan oleh Habermas tidak dapat dilepaspisahkan dari konsep dasarnya yang mencita-citakan masyarakat yang dibangun di atas dasar intersubjektivisme menuju pada cita-cita emansipatoris. Cita-cita emansipatoris itu pada dasarnya menempatkan kebaikan bersama sebagai tujuan utama di samping kepentingan subjektif semata. Untuk itulah muara dari pemikiran Habermas adalah menempatkan komunikasi sebagai jalan tercapaiya masyarakat yang demokratis.

Dalam terang pemahaman semacam inilah kita dapat menilai keadaan demokrasi di negara kita belakangan ini. Kerap kali kritik yang terjadi di republik ini meninggalkan model intersubjektivisme atau komunikasi semacam ini. Model intersubjekivieme yang hilang ini dapat dibaca dalam beberapa bentuk gaya kritik yakni, pertama, kritik yang berupaya untuk mendominasi pihak lain. Kritik yang berupaya untuk mendominasi ini ditandai dengan klaim subjektivisme yang bersifat tertutup bahkan juga kerap kali sudah disusupi oleh kepentingan kekuasaan tertentu. Akibatnya sang pengkritik lalu merasa diri paling benar dan menyerang ide dan kebijakan di luar pandangannya sebagai sebuah ketersesatan.  Hal inilah yang memungkinkan wicara menjadi macet, karena bukan kesepahaman yang dicapai tetapi saling serang yang tidak akan pernah berujung.

Kedua, kritik yang tidak dibangun di atas dasar diskursus tetapi bersifat represif. Sudah tentu bahwa kritik yang dibangun bukan dengan tujuan saling pemahaman ini akan bersifat menyerang pihak yang dikritik. Tidak jarang model-model yang berupa penghinaanlah yang ditampilkan dalam ruang diskursus demokrasi. Sebagai akibatnya model kritik yang semacam ini akan meninggalkan cita-cita kebaikan bersama atau sekadar memperalat kebaikan bersama itu sebagai alat untuk memuluskan kepentingan subjektifnya. Tidak jarang persoalan-persolan publik lalu diangkat ke permukaan tetapi bukan untuk mencari solusi tetapi menjadikannya sebagai polemik untuk memperkeruh keadaan.

Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis hanya menegaskan kembali bahwa kritik publik adalah bagian integral dalam demokrasi menuju cita-cita kebaikan bersama. Namun demikian jika demokrasi itu tidak dibangun di atas dasar kedewasaan hanya akan menciptakan polemik yang tidak akan pernah berakhir. Tentunya dalam situasi-situasi genting seperti persoalan covid-19, yang dibutuhkan saat ini adalah kebersamaan dan bukan saling serang di atas sebuah persoalan. Para pendiri bangsa kita sudah meninggalkan warisan musyawarah dan mufakat yang sejalan dengan prinsip intersubjektivisme atau komunikasi itu. Untuk itu sudah seharusnya persoalan bangsa harus diselesaikan di atas prinsip musyawarah ini tanpa harus meninggalkan dimensi etisnya. 

, , , , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan