Tidakkah Kita Akan Menua Bersama?

Kita akan berakhir seperti ini. Menua dalam bilangan masa lalu hilang di bibir tembilang. Kamu akan selalu mengguguh hari lewat benam air mata, sementara peot kaki Darman, kian hari kian dikekang kesakitan.

Lelaki itulah yang merawat kita sebagaimana ia merawat batang kelaminnya sendiri. Dulu, kita hidup tertimbun tumpak belukar, di mana rumput dan ilalang diburu ternak peliharaan. Kadangkala kamu gemetar menyerupai anak kecil ketakutan, saat moncong bibir sapi tak sengaja menyentuh pelipismu. Beruntung buyut Darman, yang datang dari utara, memilih tanah ini sebagai tempat tinggal. Ia babat beberapa petak hingga ia beranak-pinak.

Aku yang didapatinya menyembul dari tanah terlebih dulu, ia poles tubuhku dari kotoran debu. Pun begitu ketika ia menggali di sekitar, lalu menemukan dirimu dan saudara-saudara kita yang lain. Ia tak memindahkan kita dari posisi semula. Dibiarkannya kita berjejer dan membentuk sandi manusia purba.

Sampai akhirnya tiba pada generasi ketiga. Pada Darman yang tak bertubuh besar, tapi benih kebajikannya telah lepas dari sawan kelicikan. Diam-diam kita mengagumi Darman tanpa suara dan bisikan. Kesetiaan Darman terjadi pada malam pekat, di mana gerimis merundung ke lereng Hyang Argopuro ini. Dua lelaki mengucap salam, sedang kita yang berada di depan rumah berdinding gedek itu memasang mata lebar-lebar. Tamu itu tak kunjung henti mengucap salam—yang bagiku terdengar sebagai teriakan daripada izin bertamu malam-malam.

“Saya kolektor dari Bali. Bilamana Bapak Sudarman setuju, kami akan membeli batu-batu. Satu batu kenong akan kami hargai lima belas juta,” kata lelaki berkaos putih tanpa basa-basi.

Darman yang wajahnya masih basah akan air sumur tercekat. Lama ia tergagap sebelum akhirnya berhasil menguasai keadaan.

“Kalau Ananda ingin menguasai batu-batu purba, saya kira Ananda salah tempat. Saya akan teramat senang, apabila uang puluhan bahkan mungkin ratusan juta itu, Ananda bangun sebuah situs purba yang nantinya akan menjadi warisan masa depan.”

Lelaki itu bersungut. Tanpa salam, tamu itu meninggalkan rumah Darman. Sejak itulah kekaguman kita pada Darman mencuat. Tak lagi sekadar kasih batu peliharaan yang tiap hari dibersihkan. Hanya saja, kesetiaan Darman sempat kita ragukan, kala hari-harinya dilalui penuh nestapa.

Rahim, anak Darman yang remaja, tetiba gemigil tak keruan. Kerap mengigau dan kejang-kejang. Darman dan bininya kerepotan mencari uang berobat. Keduanya tak jarang tengkar hebat sembari membanting pintu, hingga pintu rumah tua yang sudah lapuk dimakan usia, kian reyot jua.

“Kurasa di antara kita bakal ada yang dijual,” kataku.

“Entahlah. Semoga itu tak terjadi.

“Ya, semoga.”

Pintu tua itu terbuka. Darman sesegukan menghampiri kita. Dia menangis dan kita meneriakinya.

“Ada apa, Darman? Ada apa? Ceritalah pada kami apa yang sedang terjadi? Darman?!”

Tapi Darman tak pernah cerita. Meski keesokan hari, kita tak lagi mendapati batang hidung bininya.

“Mungkin bininya pergi.”

“Ke mana?” tanyamu

“Malaysia.”

Aku kerap mendengar tempat itu, saat orang-orang lewati jalan setapak. Kata mereka, bila keuangan tak lagi mampu menghidupi penghidupan, bini-bini mereka akan ke Malaysia.

“Naik kapal kah?”

“Iya. Menyeberangi laut luas. Di mana mata memandang, maka sudut penglihatan tak akan bertemu pangkal daratan.”

“Aku ingin naik kapal.”

“Pada waktunya kita akan menyeberangi lautan. Bersabarlah.”

Malam kian larut. Tampias purnama menyeruak ke pekarangan. Beberapa lelaki yang mengenakan penutup kepala hitam mencungkil batu kenong, mengangkat dan membawanya ke atas truk yang menunggu di bawah. Tak hanya satu. Belasan batu kenong mereka angkut.

“Darman! Darman! Bangun! Batu kenong diambil orang.”

Tapi Darman tak kunjung bangun.

“Darmaann!’ teriakku. “Ada pencuri di sini.”

Darman masih lelap. Sementara batu-batu kenong yang tubuhnya berbentuk oval, di mana kepalanya terdapat buntalan, meraung-raung saat disekap dalam karung lalu dipikul ke atas truk. Aku tak tahu mereka hendak dibawa ke mana. Kamu sangat sedih bercampur ketakutan. Apakah kita akan dicuri juga, rintihmu, kasihan mereka disekap begitu. Mereka pasti dijual.

Ya, mereka pasti dijual, kataku dalam hati. Malam kian pekat, tak ada keajaiban terjadi. Halaman pekarangan lengang. Tersisa kita, dolmen dan lima batu kenong. Masing-masing sudut mata kami menyimpan luka. Bahkan tatapanmu begitu kosong.

Perih itu kian lirih manakala keesokan harinya Darman bersimpuh di depan kita. Pekik tangisnya begitu pilu hingga ke penjuru Hyang Argopuro yang terlihat ikut berduka. Alam seakan turut merundukkan kepala. Berulang kali Darman mengutuk diri, betapa ia tak becus menjaga warisan nenek moyang. Berulang kali pula ia mengucap maaf sembari berjanji akan menjaga kita sebagaimana ia menjaga nyawanya sendiri.

Begitulah. Hari kelam itu tak akan lepas dari benak ingatan. Dan kita terus melanjutkan kehidupan meski dari tahun ke bilangan tahun berikutnya, tak aku dapati jejak kaki istri Darman. Kerap aku dapati Darman yang kian ringkih, menyendiri di bawah pohon mangga, memandang ke arah barat di mana lahan-lahan ditanami pohon jati.

Ia merindukan istrinya, kataku. Aku kira, kita akan seperti ini saat bertahun-tahun tak bertemu. Kamu mengangguk lalu menatapku sayu. Semoga kita terus bersama. Sepahit apa pun peristiwa kita, lirihmu.

Kuakui, seribu tahun lebih kita di sini, kita saksikan banyak kisah manusia sebatas perayaan peradaban. Meski pada mulanya manusia menutupi tubuh sebatas kemaluan, lalu merajut pakaian dari kulit pohon ….dan mencucinya dengan buah klerek, hingga akhirnya berpakaian utuh seperti sekarang, aku kira ini bukanlah kemajuan melainkan kemunduran.

Mereka, yang kini disebut manusia purba, betul-betul menghargai kami. Bukan musabab pusat sesembahan roh nenek moyang ditaruh di sekitar tubuhku. Bukan. Bukan itu. Aku hanya merasa, bila manusia sekarang memiliki sifat kesementaraan yang kerap mengikuti birahi. Lain halnya dengan manusia purba, yang masih belum mengenal nubuat nabi. Mereka merunut alur hidup sebagai penandur padi.

Tetapi kini, manusia yang mengatasnamakan kehidupan modern, yang katanya mengenal agama sangat baik sebaik mereka mengenali diri sendiri, justru tak lagi menabur gabah di atas sawah, melainkan ke atas derita. Sawah dialihkan menjadi tempat kesenangan. Bukan lahan menanam.

Sebab nenek moyang benar-benar membawa berkah, bisikmu. Sedang manusia sekarang mengandung serakah.

Kamu benar. Meski nenek moyang mengaku tak pandai perihal berdoa, tapi mereka tak berperilaku buruk pada tanah. Ah, sudahlah. Barangkali kita akan berakhir seperti ini. Menua dalam bilangan masa lalu hilang di bibir tembilang. Kamu akan selalu mengguguh hari lewat benam air mata, sementara peot kaki Darman, kian hari kian dikekang kesakitan.

            Kendati sakit menyusup tubuh, semangat Darman tak surut. Menggunakan tongkat dari batang pohon mahoni, ia kerap menemani tamu-tamu mengelilingi pekarangan. Menceritakan ikhwal pekerjaannya sebagai juru kelola. Dan tak lama kemudian ia berdiri di antara kita.

            “Ini adalah menhir. Bentuknya mirip stupa Candi Borobudur. Menurut penelitian yang dilakukan oleh ……, batu-batu ini telah ada pada abad ke-10 Masehi. Bergiliran dengan Borobudur yang ada pada abad 9 Masehi.”

            “Kalau benar ini adalah stupa, apakah ada kelanjutan penggalian, Pak? Bukankah akan menarik jika terdapat penemuan anyar di Duplang?”

            “Dugaan saya, di bawah pekarangan ini adalah candi. Coba Ananda lihat, kita berada di ketinggian daripada wilayah sekitar. Dan stupa candi selalu mengarah ketinggian.”

            “Berarti Bapak setuju kalau ada penggalian?”

           “Justru saya sudah menggali banyak tempat dan mendata batu-batu purba. Itu saya lakukan sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Dan hasilnya sungguh mencengangkan. Di Padukuhan Duplang saja, ada beberapa titik penggalian, di mana terdapat batu lesung, tulis apalagi batu kenong. Sementara untuk wilayah Arjasa, sepanjang catatan saya, terdapat sekitar 3000 batu purba lebih. Dan terpaksa saya kubur lagi.”

            “Kenapa, Pak?”

            “Sebab rentan diburu mafia benda purbakala.”

            Itulah hari terakhir Darman bisa berjalan. Sebab dari Rahim yang kini menggantikan tugas menemani tamu, ia bercerita kalau sang bapak tak lagi bisa menggerakkan kaki. Hal itu membuatku sedih. Pun begitu dirimu. Kita yang ada sejak Darman belum lahir, menyaksikannya merangkak menggapai batu-batu purba, merekam segala hal yang terjadi padanya, tetapi kita tak bisa membantu saat ia kesakitan.

            “Kita tak sesedih ini saat buyut dan bapak Darman pergi.”

            Aku membenarkannya dengan air mata yang jatuh satu-satu. Barangkali zaman itu tak banyak orang peduli atau berburu tubuh seperti kita.

            “Apa yang akan terjadi kalau Darman menyusul keduanya?”

            Aku dapati dirimu sesegukan. Bisaku hanya menatap nanar, tanpa bisa merangkul memberi kehangatan.

            “Umur manusia ada batasnya. Entah dengan kita yang sekadar batu purba.”

            Temaram petang membayang di atas pematang. Beberapa orang yang salah satu di antaranya adalah tamu terakhir yang ditemui Sudarman tampak di sana. Tadi pagi orang itu datang sendiri, dan menyodorkan uang pada Rahim sebagai bekal berobat bapaknya. Rahim tak menaruh curiga. Ia mengangguk dan membawa Darman berobat ke kota. Padahal orang itu membawa kelompotan, dan kini susah payah menaruh kita ke dalam karung.

            “Darman! Darman! Kau ada di mana, Darman?”

            Darman tak ada. Ia ke kota.

            “Darman! Darmaan! Ada pencuri di sini!”

            Tak ada yang membantu. Aku dan kamu kini dalam satu karung. Saling mengurai tangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahkan berulang kali tubuh kita saling terpental melewati jalan berlubang. Hingga akhirnya kita berada di atas kapal. Di tengah lautan. Aku menyesal, dulu aku berkata padamu kalau kita pasti ada di kapal jua.

            “Kita akan berakhir di mana? Apa yang akan terjadi pada kita? Kita akan berpisah kah?”

            Aku tak lagi sanggup menenangkanmu. Sebab kita sama-sama batu. Dan batu tak bisa berbuat layaknya manusia. Yang bisa aku lakukan adalah menyuruhmu mendongakkan kepala. memicingkan mata pada lubang karung. Di sanalah lautan tak menemui sudut daratan.

            Matamu tak tampak berbinar. Justru kian layu. Pun begitu denganku. Kedua mata kita kian memerah, manakala kita memandang ke arah barat, di mana Hyang Argopuro berada, kita dapati sosok putih terbang ke atas. Pada detik ini jua, aku teringat akan sosok putih yang melesat ke langit saat buyut dan bapak Darman mati.

            Darman telah pergi. Dia telah pergi.

            “Hey, lihat! Batu ini menangis,” kata seseorang di atas kapal. Orang-orang seketika mengerumun.

            “Bukan! Batu ini terkena tampias ombak.”

            “Tidak. Batu ini menangis. Coba lihat.”

            “Wah, iya. Batu ini menangis.”

            “Ajaib. Mukjizat. Ayo, rekam! Pasti viral.”

            “Nanti kita buat konten. Judulnya “Air Mata Batu Purba.’”

            “Memang ini air mata?”

            “Iyalah. Ini air mata. Air mata perpisahan. Berpisah dari seseorang.”

Baca Juga: Jejak Langkah 

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan