20201126_125613

Tulisan dan Permenungan

Seorang penulis adalah seorang pengamat sekaligus. Ia mengambil jarak dari sebuah fakta yang dibentangkan. Dengan demikian, ia dituntut untuk jeli, sekaligus kreatif mengambil sudut pandang. Seperti orang mencuci, ia harus pandai untuk memeras realitas, merangkum, memadatkan, serta menghadirkan ulang pada pembaca. Penulis, mirip seorang peracik. Komposisi tulisan memuat pengamatan, data, hingga wacana yang dipunya. Sejauh penulis berusaha untuk mengupas realitas, sejauh itu pula pengamatan manusia sering banyak yang luput. Goenawan Mohamad pun merasakan hal serupa. Meski ia menulis di tiap minggunya, dihadirkan dalam seminar, majalah, dan berbagai forum, tetap saja ada hal-hal yang tak selesai.

Tulisan pada akhirnya mirip sebuah “misteri”. “Tak seorang pun yang tahu di mana kata-kata akan terhampar, mendarat, jadi bagian kosakata orang lain. Mungkin karena mereka merawat keheningan yang tak diakui. Kata-kata adalah penumbra : bangun dari kehidupan dan kematian.”(Tulisan No.6). Banyak latar bidang yang akhirnya ditulis oleh GM. Ia sengaja tak membatasi tema tertentu di buku Tuhan dan Hal-Hal Yang Tak Selesai (2019). Sebagai sebuah hasil dialog, percakapan, hingga endapan beragam wacana, tulisan yang pendek ini pun menemukan bentuknya. Ada yang mirip aforisma, mirip puisi, risalah filsafat, atau renungan meditatif.

Pada tulisan tentang Mekkah misalnya, GM memotret ada perubahan yang begitu besar dan penting. “Di dalam tempat yang jadi fokus ibadah jutaan umat ini, satu-satunya kemewahan adalah keheningan. Sekarang kemewahan ini milik masa lalu— dan masa lalu itu tak ada lagi.”

Judul : Tuhan Dan Hal-Hal Yang Tak Selesai
Penulis : Goenawan Mohamad
Penerbit : Diva Press
Halaman : 200 Halaman
Tahun : Januari 2019
ISBN : 978-602-391-660-3

Mekkah sudah berubah, bila dulu ada upaya menjaga teknologi dan kemegahan— upaya untuk menjaga yang asali, kini Mekkah justru seperti potret dari kemegahan, kemewahan. Yang sepi, hening, seperti hilang, lenyap. Agama, kata GM  “dimulai dari hening dan saat yang dahsyat dan berakhir dengan konstruksi. Buddha, Muhammad, Musa, maupun Santo Agustinus. Agama dimulai dengan gemetar, ada rasa kasih dan ngeri, ada amor dan horror.” Kalimat-kalimat pendek itu hadir dari proses pembacaan yang panjang. Ada renungan masa kecil, ada pengalaman yang bertumpuk, sampai dengan dialog yang intens. Dalam kalimat lain pada Catatan Pinggirnya ia menulis : “Ajaran agama memang bisa tampak terang dan bersih ketika ia bersua dengan apa yang sebenarnya dimimpikan manusia : semacam kedamaian di dunia yang rusuh, sebuah hidup tanpa permusuhan. Dan itu adalah kedamaian dalam compassion, “rahman dan Rahim”.

GM menulis dengan singkat, padat, tapi tak selalu utuh. Pembaca bisa menyimak tulisannya tentang doa berikut ini : “Tiap doa mengandung ketegangan. Doa selalu bergerak antara ekspresi yang berlimpah dan sikap diam, antara hasrat ingin mengerti dan rasa takjub yang juga takzim. Di depan ilahi, Yang Maha Tak-Tersamai, lidah tak bisa bertingkah.” Disini, GM tak berhenti. Ia memberikan pernyataan yang menyentil: “Bila ada agama yang memusuhi syair, itu karena ia lupa bahwa puisi juga sejenis doa. “ Di pintuMu aku mengetuk/ aku tak bisa berpaling,” tulis Chairil Anwar. Puisi dalam pernyataannya yang paling tersuram, adalah rasa hampa tapi juga sikap bersyukur yang tak diakui.

Dalam pernyataanya yang singkat, meski sudah purna ditulis, ia bukanlah sesuatu yang final. Ada keberlanjutan dialog pada pembaca, ada sejenak jeda, hingga akhirnya membuat pembaca hanyut dalam apa yang dituliskannya. Kalimat-kalimat GM mirip sihir, tapi bukan sihir. Ia mengajak pembaca untuk hadir dalam dialog pikiran saat GM menulis. Kata-kata jadi punya daya. Bila ingat Neitzhe, apa yang ditulis GM seperti aforisma. “Harus diakui bahwa yang fana mengasyikkan. Kabar datang, pergi, informasi melintas cepat-cepat. Mungkin sebab itulah orang membangun monument. Memahat adalah mengingat.”

Dalam setiap tulisan, ia mengawali dengan lead menggoda, memikat, membuat pembaca merenung. “Keadilan adalah sesuatu yang ada justru karena tak hadir. Ia ibarat akanan. Kita melihatnya ketika kita berdiri di tepi laut dan memandang nun jauh disana, tanpa tahu bagaimana wujudnya.” Pada tulisan nomor 37, Goenawan menulis sejarah dengan kalimat menggelitik. “Dilihat dari langit dan keabadian, sejarah tak berbunyi, tak berwarna; tak merisaukan: kisah kegagalan yang tak menimbulkan jera, kegairahan dan trauma yang tak dijumlah karena tiap kali terasa berbeda.”

Seperti pada pengantarnya, Tuhan Dan Hal-Hal Yang Tak Selesai (2019), buku ini bisa dibaca sebagai bagian yang saling mendukung atau saling membantah, terkadang bisa dibaca sendiri-sendiri. Ada renungan tentang peristiwa, kota, manusia, sejarah, demokrasi, filsafat, seni, hingga agama dan modernitas. Meski pernah diterbitkan di tahun 2007, tulisan-tulisan GM tetap memiliki relevansi sampai hari ini. Di saat Indonesia masih berbenah, saat kedewasaan agama makin diuji, di waktu demokrasi masih diperbaiki.

Goenawan Mohamad memang boleh dibilang sebagai penulis kawakan. Ia telah menerbitkan Catatan Pinggirnya yang tebal itu dalam 12 jilid, dan akan bertambah lagi. GM  juga baru purna menuntaskan novel perdananya Surti + Tiga Sawunggaling (2018). Tuhan Dan Hal-Hal Yang Tak Selesai (2019) boleh disebut sebagai kesatuan dari tulisan dan renungan sekaligus. Ia membentangkan pelbagai hal yang barangkali akrab dalam kehidupan kita. Sehingga ia bisa dibaca sebagai percikan, getaran, atau sedikit pesona yang menemani sunyi dan kesangsian kita.


*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pegiat Sarekat Taman Pustaka Muhamadiyah

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan