images (6)

Wanita Yang Pernah Pergi Ke Bulan

Hari yang amat cerah pada tanggal 28 desember, kulewatkan dengan membaca sebuah ensiklopedia di toko buku dekat persimpangan yang ke barat menuju Malioboro, ke utara menuju kawasan kampus UGM dan ke barat menuju Solo sementara pohon-pohon di luar bercorak hijau musim hujan dan sedang melahap sinar matahari.

Jadi aku duduk di sana dekat jendela, membuka halaman kesepuluh. Tentang dunia ular berbisa. Bahasannya tidak jauh beda dengan yang kutonton di acara “kehidupan liar” pada suatu chanel televisi. Seperti yang bisa kau tebak, king kobra menjadi pembunuh nomor satu dari kelompok ular. Sekali saja dia mematuk mata kakimu, racun akan menjalar cepat menuju jantung, mencapai hati tidak lama kemudian, meremas paru-paru lalu menghentikan otak. Seolah-olah racun kobra tahu apa yang paling berkuasa dalam sistem anatomi tubuh manusia, hingga dia lebih memilih menuju ke sana ketimbang berdiam di balik kuku atau terperangkat di dalam pori-pori kulit manusia.

Kobra memang bajingan soal membunuh, sebelum manusia dengan cerdik menangkap dan menjadikannya daging lezat. Kau pernah menyantap daging kobra di dalam sebuah mangkuk lengkap dengan kuahnya? Aku sendiri belum bosan karena rasanya luar biasa! Jadi ketika aku membaca ulasan tentang keganasan racun ular kobra terhadap manusia, aku langsung teringat akan lezat dagingnya. Isi kepalaku campur aduk mendefenisikan seekor kobra; sebagai hewan beracun dan sebagai seporsi makanan lezat.

Selama tiga puluh menit aku membaca tanpa henti. Ketika kuangkat wajah, seseorang yang duduk di sebelahku, entah sudah berapa lama, sangat menarik perhatian. Kemudian kucuri-curi kesempatan memandang sepotong tangannya yang dekat dengan sisi tubuhku; warna kulitnya putih kekuningan sementara rambut-rambut halus yang rebah di atas kulitnya berwarna kilat tembaga oleh karena cahaya matahari yang menerobos jendela. Dia membaca ensklopedi berbahasa inggris. Aku meneruskan bacaan, tetapi baru beberapa paragraf tangan itu menyentuh tanganku.

“Maukah kau mendengar kisahku? Aku sedang bingung harus berbagi dengan siapa dan kuperhatikan bahwa kau adalah pria yang ramah.”

Aku berjengit, selain karena sentuhannya juga karena aksen dia aneh. Bahasa Indonesianya kelewat sempurna. Wanita ini mempunyai rambut pirang sebahu, bintik-bintik coklat di pipi dan punggung hidung, mata berwarna hijau cemerlang, bibir merah apel dan kemeja ketat berwarna hijau muda.

“Anda bisa berbicara dalam bahasa Indonesia?” aku bertanya langsung menutup ensiklopedia di atas meja.

“Oh? Kau terkejut sekali!” serunya riang dan matanya berbinar-binar. Garis-garis halus terbentuk di kedua tulang pipi dan sudut mulut saat dia tersenyum.

“Aku dari belanda. Panggil saja Johana. Dan kemarin aku baru saja pulang dari bulan.”

Mendengarnya seketika aku meledak tertawa sebelum menyadari kami berada di sebuah toko buku, namun yang membuatku akhirnya berhenti tertawa adalah raut wajah wanita belanda ini. Keriangannya tadi meredup dan dia memalingkan wajah ke deretan buku-buku di rak.

“Bagaimana mungkin kau pulang dari bulan lalu berada di sini?” kataku ragu-ragu melihat sikapnya. Untungnya dia kembali menatapku dan bersikap ramah seperti tadi.

“Baiklah.” Dia melipat tangan di dada,”Kau mau keluar mencari minum denganku?”

Aku memandang keluar melihat matahari berubah-ubah warna di telapak daun-daun akibat pergeseran awan. Gradasi antara pucat terang dan redup.

“Di pertigaan dekat jembatan ada sebuah McDonald’s kalau tidak salah. Aku akan mentraktirmu. Aku ingin kau mendengar kisahku waktu di bulan.” Lanjutnya. Kupikir-pikir, sebentar lagi tahun baru, apa salahnya menyenangkan wanita bule ini.

Kami keluar dari sana. Wanita Belanda tadi mengatakan nama hotel dimana dia menginap dan dia ke sini menggunakan becak. Jadi aku memboncengnya menggunakan sepeda motorku. Kami duduk lama di McDonald’s, makan sedikit-sedikit sambil mendengarkan monolog tentang perjalanan ke bulan.

“Aku terlihat putus asa, ya.” Dia bertanya di sela-sela itu. Kalaupun dia memang sedang putus asa, Aku sebenarnya tidak tahu. Lebih mudah membaca raut wajah wanita pribumi ketimbang wanita asing, karena kau tidak pernah mengenal apa yang telah mereka makan di negara mereka, apa saja yang mereka percayai dalam hidup dan mengapa mereka begitu berani pergi ke bulan. Aku hanya menggeleng, persetan dia menganggapku sebagai yes man atau apa. Dia mengajakku menemaninya sampai malam datang. Saat bulan pucat mengudara, kami sudah di depan ambarukmo plaza memegang gelas kopi. Ada sebuah gerobak milik penjual kacang rebus. Sebenarnya dia tidak menjual kopi, sebelum dia bertemu gadis bule yang berbicara bahasa indonesia.

Kisahnya masih seputar perjalanan ke bulan.

“Berada di pesawat yang melaju ke angkasa pada malam hari, pertama yang kupikirkan adalah semakin dekat dengan keberadaan bintang-bintang. Waktu kecil, sampai remaja, mirip anak-anak lain aku selalu memuja keindahan bintang gemintang. Tetapi dalam gelap malam dan laju pesawat yg seolah berhenti di tengah cakrawala, bintang-bintang tetaplah jauh. Mereka tiada beda dilihat dari bumi. Saat di bulan, bintang-bintang bahkan masih serupa dengan yang kita temukan di bumi. Aku kecewa berat. Tiada yang lebih mengecewakan daripada saat dimana kau mengejar sesuatu yang jauh namun ketika kau berada di sana kau malah melihat keindahan yang sama telah berada di tempat lain.”

Selama dia bercerita kedua kali itu, aku memandang wajahnya. Kecantikan dan keburukan saling tarik menarik, kebahagiaan dan kedukaan adalah satu garis yang sama, kehidupan dan kematian berada dalam satu takdir. Dari langit kelam, cahaya bulan membentur tatakan gelas dan berkilat, sewaktu kuletakan gelas kopi ke atas tatakan yang sama, cahaya bulan terbias di atas cairan kopi; warnanya sekelam langit.

“Orang belanda sudah ke bulan…” aku seperti bergumam untuk diriku sendiri, bagai orang mabuk yang mengeluarkan refleksi terdalamnya. Aku mulai sesak napas. Kami mengobrol cukup lama sebelum wanita itu menyadari perubahan dalam diriku. Dia meletakan gelas kopinya ke atas tanah untuk menepuk-nepuk bahuku.

“Apa yang membuatmu bersedih, bung?”

“Kau sunguh-sungguh baru pulang dari bulan?” tanyaku tidak tahan lagi. Saudara-saudara perempuanku berjumlah tiga orang, semuanya telah menikah dan sama-sama sering mengeluh kepadaku. Mereka semua merasa tidak ada yang bahagia dengan suami masing-masing. Aku menangis dalam hati karena wanita belanda ini, entah benar atau tidak telah sampai ke bulan sementara ketiga saudariku dunia mereka hanya sebatas tempat tidur, dapur, pasar dan salon kecantikan. Pada awal bulan mereka hanya sempat berkunjung ke salon kecantikan, yang bungsu sekali-sekali ke bioskop bersama suami.

Aku tahu mereka ingin sekali-sekali pergi ke tempat yang jauh, menghirup pengalaman baru dan merasakan...oh, masakan Italia memang enak. Atau…hmm, ternyata orang Indonesia banyak juga ya di Korea. Bukan berarti Aku mendambakan mereka pergi keluar negeri dan mengutuk suami-suami mereka yang menghalangi. Aku hanya ingin mereka tahu hal-hal dalam hidup itu lebih luas dari yang mereka tahu.

Malam itu kami duduk berdampingan menunggu pagi. Dalam perasaanku yang tumpah, aku membayangkan wanita itu akan menciumku sebentar lagi. Seperti dalam film-film holywood mengenai wanita-wanita eropa yang memberi ciuman kepada laki-laki yang baru dikenal tadi sore. Namun wanita ini begitu tenggelam dalam kenangannya sendiri. Setiap kali dia melihat langit, dia akan mendesah seolah-olah di bulan dia melupakan sesuatu yang penting dari dirinya seperti sebuah kalung peninggalan almarhum suaminya atau hal tidak penting lainnya.

Kopi mendingin bersama menit-menit terakhir desember 2008. Kami sama-sama tidak menyadari tahun lama yang sedang menanggalkan pakaian dekilnya untuk tidur selamanya di dalam sejarah kalender.

“Maukah kau makan daging kobra denganku?” aku tidak menemukan bahan obrolan lain jadi kutawarkan undangan basa-basi ini. Warung penyaji daging kobra sudah tutup dari tadi.

What?? Bukankah itu sejenis ular?” dia sepenuhnya tertarik ke arahku.

“Kau pasti belum pernah mencobanya.”

“Maksudmu kobra dari India? Oh my god! Itu sangat beracun, tahu.” Wanita ini jenis orang yang memiliki tombol suasana hati. Baru beberapa menit lalu dia tekun menelusuri permukaan bulan dengan wajah sendu, sekarang dia memiliki pupil mata yang besar karena penasaran.

“Kamu yakin Aku tidak bakal mati karena racun?” Dia menuntutku. Aku tersenyum puas. Jadi kini giliranku melakukan monolog tentang kobra. Sebelumnya Aku sudah bertemu dan berbincang dengan pemilik warung itu. Layaknya kebanyakan orang yang melakukan pekerjaan di luar nalar, seperti menyajikan daging kobra ini, pemilik warung itu tampak sebagai laki-laki yang sudah menaklukan hidup. Dia bisa membuatmu percaya bahwa tiap kali dia bertemu kobra maka kobra akan tahu diri lalu lari terbirit-birit.

Aku mengatakan kepada wanita ini sesuatu tentang kobra yang telah terjalin dalam benakku sejak tadi pagi di toko buku. Dengan bahasa yang baku, setelah kupikir-pikir wanita ini tidak bisa membedakan bahasa indonesia yang baku dan tidak, Aku berkotbah kepadanya.

“Hei, tahu tidak?” Aku memulai. Kau harus lihat sendiri ekspresi wanita belanda ini. Dia hampir tidak berkedip saat kukatakan bahwa: dunia ini tidak bisa ditebak! Dari balik desain yang mengerikan dan unik, bergelung dan melingkar, kobra justru seenak ikan atau ayam panggang.

“Ayam dan ikan; yes! Kobra adalah bullshit!” dia memotong garis monolog-ku.

“Sebentar, sebentar. Kau tahu tidak? dibalik taring dan racun, kobra justru hadir menjadi bagian dari dunia yang ramah, dunia yang memberi nikmat dan nafkah…”

Stop!” lalu dia meneguk kopi dinginnya. Aku tahu kalimatku sangat garing dan tidak cocok pada situasi ini. Padahal aku masih ada jenis kalimat serupa; kobra mungkin akan menggigitmu tetapi memaafkanmu di atas seporsi sajian. Tetapi percuma meyakinkan seseorang yang mungkin belum pernah melihat kobra secara langsung. Mereka hanya tahu hewan itu beracun bukan main.

“Oh, kau pasti bercanda!” wanita ini memberikan tawa rendah dan tidak pasti. Kami duduk diam kembali dalam waktu yang lama sampai orang-orang mulai sesak di jalan, serentetan tembakan kembang api membakar udara, memekik lalu pecah berderai. Di jalan depan ambarukmo malam tahun baru itu, aku begitu terharu karena menjelang tahun baru ini ada seorang wanita yang sudah pergi ke bulan duduk di sampingku.

“Selamat tahun baru.” Aku berkata kepada kembang api di langit.

“Selamat tahun baru juga.” Balas wanita ini, sepertiku dia juga berbicara menghadap langit. Mungkin kepada bulan.

Menjelang subuh, saat bintang-bintang mulai pudar, aku memandang takjub kepadanya. Ini dia wanita yang pernah ke bulan, pikirku, tetapi dia tampak tidak ada apa-apanya. Bahkan dia tampak tertekan dan terpenjara oleh perasaannya. Jadi kutawarkan diri untuk mendengar kisahnya di bulan sekali lagi. Untuk ketiga kalinya.

Dia pun mula bercerita. Bla. Bla. Bla.

Aku tidak ingat terakhir kali melihat bulan purnama pada dini hari tahun baru. Atau barangkali sebenarnya aku sedang bermimpi dan wanita ini hanyalah bagian dari mimpi dengan kisah bulannya. Dan bulan itu semakin membesar di mataku, permukaannya yang halus tiba-tiba penuh luka yang tumbuh dimana-mana mirip wajah bekas jerawat, semakin besar, melebar, gelap lalu menelan penglihatanku.

*****

jogja, 2013

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan