Indonesia belum bisa lepas dari krisis. Banyak penelitian ilmiah yang bisa membuktikannya. Ini fakta yang tak bisa disangkal. Sejak 1998 sampai sekarang, setiap sendi kehidupan berbangsa belum mapan seperti sediakala. Bukannya bertambah baik, semakin lama daftar kegentingan di berbagai sektor malah beranak-pinak. Tentu saja ini menjadi situasi yang sungguh mengenaskan.
Rasa prihatin tentu saja tidak cukup. Kita harus bergerak keluar dari kondisi yang tidak menggembirakan ini. Semua lapisan masyarakat harus bergegas menyingsingkan lengan baju untuk mencari penanggulangan dari kemelut berkepanjangan ini. Kita harus segera bangun dan bekerja keras.
Salah satu bidang yang mempunyai kemungkinkan besar sebagai penyelesai masalah ini adalah pendidikan. Pendidikan memiliki kapasitas untuk membenahi banyak persoalan yang ada karena sifat dan perannya yang strategis.
Masalah yang Ada Sekarang
“Data dari Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kemdikbud, memperlihatkan, hampir 6 juta warga Indonesia masih buta huruf,” demikian laporan dari Kompas dengan judul berita “Menanti Indonesia Bebas Tunaaksara” (24/10/2016). Di era mutakhir seperti sekarang ini, rasanya sulit memahami kalau masih ada orang yang “menderita” buta aksara. Namun, informasi yang disampaikan pada peringatan Hari Aksara Internasional di Palu (20/10/2016) membuat kita, mau tidak mau, harus sudi menerima kenyataan ini.
Fakta lain juga tak kalah mengejutkan. Hampir setiap tahun, lebih dari satu juta lulusan sekolah menengah kejuruan sedang dalam kondisi tunakarya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2014, tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK 7,21%. Kemudian setahun setelah itu, Februari 2015, angka ini meningkat menjadi 9,05%. Artinya ada 1,2 juta lulusan SMK yang tidak memiliki pekerjaan pada periode ini (Kompas, 17/10/2016).
Penyebab tingginya tingkat pengangguran ini, menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Benny Soetrisno, dikarenakan tidak selarasnya jebolan pendidikan di Indonesia dengan kebutuhan dunia kerja. Akibatnya dunia bisnis tidak mampu menyerap lulusan karena tidak siap pakai.
Ada juga kenyataan lain yang cukup menarik. Walau tidak berhubungan secara langsung dengan dunia pendidikan, tapi cukup mencengangkan. Kompas memberi judul laporannya “Kebijakan Berbasis Ilmiah Belum Diutamakan” (19/10/2016). Artikel itu melaporkan bahwa banyak keputusan pemerintah, selama ini, ternyata tidak berdasarkan kajian keilmuan. Para pemimpin negeri ini ternyata masih mengutamakan strategi “cepat saji” dalam menanggulangi masalah-masalah pembangunan. Jadi tak mengherankan kalau Dimas Kanjeng Taat Pribadi menjadi idola masyarakat banyak, bukan?
Belum lagi jika ditambah dengan kasus korupsi yang tak berkesudahan. Kemudian berkembang pula budaya pungutan liar (pungli) yang semakin marak. Seakan memaksa kita bertanya, “Menjadi negara gagalkah Indonesiaku ini?”
Berkaca dari Sejarah Pendidikan Indonesia
St. Sularto menuliskan sebuah buku yang sangat penting bagi sejarah pendidikan Indonesia. Buku itu berjudul “Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas” (Penerbit Buku Kompas, 2016). Bacaan ini bercerita tentang tiga orang pelopor pendidikan Indonesia yang hampir dilupakan. Mereka adalah Willem Iskander (1840-1876), Ki Hajar Dewantara (1889-1959), dan Engku Mohammad Syafei (1893-1969). Ditulis dengan pendekatan jurnalistik, buku ini mengulas dengan lengkap pandangan dan arah pendidikan mereka dalam situasi nyata yang dihadapi.
Walau dipisah oleh tempat yang berbeda, setidaknya ada tiga hal yang menjadi benang merah agenda pendidikan mereka. Pertama, pendidikan menjadi “kendaraan” perjuangan. Kedua, muara kegiatan pendidikan adalah kemandirian, kebebasan, dan kemartabatan. Ketiga, lingkungan menginspirasi, mengembangkan, memperkaya, dan mempertegas cita-cita mereka.
Benang merah ketiga menjadi kunci. Lingkungan atau situasi yang dihadapi menjadi penentu arah pendidikan. Bagaimana pendidikan itu dijalankan akan sangat tergantung pada keadaan aktual yang dihadapi dalam masyarakat. Alasan kemandirian, kemerdekaan, dan kemartabatan menjadi muara dari kegiatan pendidikan karena latar penjajahan Belanda yang mereka hadapi. Mereka memilih pendidikan menjadi kendaraan perjuangan karena perangkat pendidikan yang disediakan pemerintah Belanda, kala itu, tidak menjawab kebutuhan rakyat Indonesia untuk merdeka.
Ketiga arsitek pendidikan ini sudah melakukan apa yang Freire maksudkan dengan praksis pendidikan. Pendidikan tidak lagi dilihat hanya untuk kepentingan pribadi saja. Melampaui itu, pendidikan sudah diarahkan untuk melakukan perubahan nyata dalam tatanan sosial masyarakat. Singkatnya, pendidikan itu ada untuk menjawab perkara riil yang dihadapi masyarakat. Pendidikan sudah ditujukan sebagai penyelesai masalah dan penjawab kebutuhan rakyat.
Beberapa Saran untuk Dunia Pendidikan Kita
Jika melihat beberapa permasalahan yang dihadapi Indonesia, seperti yang dikemukakan sebelumnya, maka bisa jadi itu sebagai pertanda rapuhnya penataan ranah pendidikan kita. Atau paling tidak, permasalahan itu sebagai gelagat bahwa ada yang keliru dan luput di area pendidikan yang sedang dijalankan sekarang ini.
Kenapa? Jika mengacu pada pendapat sebelumnya, bahwa pendidikan hadir untuk menjawab persoalan, maka kenyataan malah berbunyi lain. Masalah-masalah itu tidak berkurang, malah berlipat-ganda. Artinya pendidikan belum mampu menyediakan pilihan sebagai penanggulangan atas masalah-masalah itu. Bahkan, jika mengacu pada kasus tingginya angka tunakarya lulusan SMK, pendidikan bisa disebut malah menambah banyak persoalan.
Dengan kenyataan ini, pendidikan harus berbenah. Hal pertama yang perlu adalah membereskan persoalan guru. Guru memegang peran penting dalam dunia pendidikan. Dialah tulang punggungnya. Pendidiklah kunci dari panggung besar pendidikan. Perannya penting karena dialah yang menuntun naradidik pada jalan yang terang. Bagaimana mungkin guru bisa menuntun siswa ke arah kemerdekaan, jika dia pun terpenjara oleh beban hidup yang lain? Bagaimana mungkin guru bisa mendidik tentang kemandirian, jika dia pun bergantung pada sesuatu di luar dirinya? Bagaimana mungkin guru bisa mendidik tentang nilai-nilai kemartabatan, jika harga dirinya pun tak dijaga oleh pemerintah ketika menjalankan tugasnya?
Kurikulum juga (dan selalu) bermasalah. Kita harus membangun arah belajar yang berkaitan dengan situasi nyata masyarakat. Kurikulum seharusnya mengarahkan para murid untuk menjadi wirausahawan baru mengingat tingginya angka pengangguran. Dia juga harus lebih banyak berbicara tentang demokrasi dan toleransi jika melihat kondisi persatuan dan kesatuan bangsa yang kian terpuruk. Setiap pelajar harus dibina agar bermental peneliti karena iklim masyarakat yang lebih percaya pada hal gaib dan cepat saji. Artinya, kurikulum harus menjawab banyak kendala aktual yang dihadapi masyarakat di keseharian.
Hal ketiga dan yang terakhir, cara pendidikan seperti bank (banking education) yang dikritik Freire (pemikir pendidikan asal Brazil) harus segera sirna dari dunia pendidikan kita. Pendidikan yang bertujuan menumpuk pengetahuan, seperti saat ini, harus segera ditukar. Pendidikan harus diarahkan untuk menggumuli juga urusan-urusan publik. Setiap naradidik harus diajak untuk peka pada situasi kemasyarakatan terkini, bukan sekedar mengingat-ingat informasi. Akhirnya pendidikan bertugas sebagai alat penyadaran menuju perubahan peradaban. Disaat itulah pendidikan baru bisa disebut sebagai media pemeradaban manusia.
Kesimpulan
Mengingat banyaknya persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini, disaat yang sama itu sebagai ajakan bagi semua masyarakat untuk bergotong royong mencari jalan keluarnya. Dalam hal ini, termasuk mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Pendidikan jangan tercerabut dari pergumulan yang sedang dihadapi rakyat. Pendidikan harus berusaha menjawab kebutuhan rakyat dengan baik.
Dunia pendidikan kita harus berbenah sedini mungkin. Pendidikan yang tidak memiliki sangkut paut dengan pergumulan sosial harus segera diubah bentuknya. Jika tidak bersegera, timbunan masalah ini akan menyeret kita kedalam jurang persoalan yang lebih serius. Bisa jadi, ramalan bahwa Indonesia akan menjadi negara gagal tidak lama lagi menjadi kenyataan. Tentu kita semua tidak mau hal itu terjadi, bukan? Jika demikian, mari berbenah!
Belum ada tanggapan.