Sekolah-sekolah modern memerlukan peraturan. Peraturan dibuat untuk mengurusi dan mengatur gerak tubuh dan pikiran anak. Bila di masa lampau peraturan lebih sering tak tertulis, kini peraturan di sekolah memerlukan tulisan dan tanda tangan Kepala Sekolah.
Hadirnya peraturan ini lebih sering mengganggu bagi anak-anak kita. Mereka justru lebih suka bila mereka tahu “peraturan” sekolah atas dasar kesadaran. Tempelan peraturan di dinding-dinding depan ruang kelas lebih merupakan pajangan dan benda mati ketimbang sebagai medium untuk menyampaikan pesan kepada anak untuk menaati aturan di dalamnya.
Sekolah memerlukan alat untuk membuat standarisasi perilaku. Sekolah pun membagi dua kategori anak. Anak nakal dan anak baik. Sekolah mengapresiasi anak baik dengan bintang, dengan pujian dan tak kalah penting guru menjadi tambah sayang. Begitu pun sebaliknya, kalau anak nakal, ia jelas menjadi momok dan musuh bersama, tak disayang guru, dan mendapatkan hukuman.
Meskipun dikategorikan sebagai “anak-anak”, mereka yang memasuki pendidikan di PAUD maupun SD, tetap mendapatkan aturan sebagai sebuah penerapan dari sebuah sistem pendidikan.
Apa yang terjadi secara psikologis maupun secara mental ketika anak-anak kita dipaksa dengan “aturan”?. Seringkali orang dewasa menganggap apa yang baik untuk anak adalah apa yang baik menurut mereka. Akhirnya selain anak tak diberi ruang untuk mengungkapkan argumen, pendapat dan keluh kesah mereka, sekolah telah memaksakan kehendak terhadap kebebasan dan kemauan anak. Yang lebih parah tatkala sekolah merenggut kesadaran anak. Kesadaran anak yang direnggut adalah tatkala mereka harus menerima hukuman yang tak diberi tahu terlebih dahulu. Kebijakan hukuman ini seringkali ditetapkan oleh guru saja, sehingga anak tak sadar bahwa sebenarnya apa yang ia lakukan kurang tepat menurut kaum dewasa.
Anak-anak kita yang duduk di PAUD maupun SD bukanlah anak yang secara sepenuhnya mampu untuk mengikuti cara pikir orang dewasa. Terlebih dalam urusan norma atau aturan, mereka lebih banyak belajar dari teman-teman dan lingkungannya. Selama ini, aturan sekolah hanya dibuat oleh guru, dan tentu saja tanpa persetujuan anak-anak.
Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Tak hanya anak-anak, kita semua sebenarnya termasuk dalam kategori Homo Ludens. Plato dalam The Laws di tahun 360 SM pernah menulis : “Kehidupan harus dihidupkan sebagai suatu pertunjukan, memainkan permainan-permainan tertentu, menciptakan pengorbanan, menyanyi dan menari, serta kemudian manusia akan mampu mengambil hati para dewa dan mempertahankan diri terhadap lawan-lawannya”.
Di tahun 1938, Filsuf Belanda Johan Huizinga menulis dalam bukunya berjudul Homo Ludens, a Study of the Play Element in Culture, ia mendefinisikan bermain sebagai “suatu kegiatan yang berjalan dalam batas-batas tertentu pada ruang dan waktu, dalam suatu urutan yang kasat mata, sesuai dengan peraturan-peraturan yang diterima dengan bebas, dan diluar lingkup kebutuhan atau faedah kebendaan, ia memperlihatkan bahwa bermain dalam arti luas merupakan suatu elemen penting dalam aspek peradaban” (Kriwaczek, 2013:78).
Bila bermain merupakan elemen penting dalam peradaban, mengapa kita justru membuat aturan yang justru membatasi ruang gerak dan tubuh anak-anak kita untuk bermain? Misalnya bermain harus di ruang yang lapang, tidak boleh di dalam kelas, padahal gedung sekolah tak memiliki halaman. Yang sering kita abaikan adalah anak-anak menjadi murung, dan kaku ketika mereka memasuki kelas. Bukan sebaliknya, mereka tertawa dan segar raut wajahnya seperti saat mereka bermain.
Kita bisa menyimak duka seorang murid di novel berjudul Kartu Anak Nakal (2014) garapan Hwang Sun Mi. Lee Gun Woo adalah seorang murid di sekolah dasar di Korea. Ia merasa gurunya semena-mena membuat aturan. Bu Guru memang tidak pernah memukul atau menyiksanya. Hanya saja siksaan itu diberikan dalam bentuk lain yakni “kartu anak nakal”. Karena kesal dengan gurunya, ia pun merasa diperlakukan tidak adil. Suatu hari ia menuliskan betapa sedihnya perasaannya : “bagaimana aku bisa belajar ketika aku merasa kesal dan diperlakukan tidak adil. Aku bahkan tidak ingat apa-apa”.
Kalimat terakhir Gun Woo itulah yang sering dialami anak-anak kita tatkala psikologis mereka tertekan. Belajar menjadi tidak menyenangkan lagi, yang ada hanya perasaan dendam, kecewa, marah menumpuk dalam pribadi anak. Pelajaran menjadi sesuatu yang susah di pikiran mereka. Akibatnya mereka belajar dengan penuh keterpaksaan dan kekecewaan.
Ada yang tak bisa ditebus oleh apapun tatkala anak mengalami siksaan mental dan psikologis. Boleh jadi anak itu pintar dan menurut, tetapi kita tak tahu nasib mereka di kemudian hari tatkala kita salah dalam memperlakukan dan memberikan hukuman kepada mereka.
Kata-kata guru, maupun orangtua yang tak menghiraukan situasi dan kondisi anak bisa berakibat fatal terhadap kondisi mentalitas dan jiwanya. Karena itulah, kita tak dianjurkan menasihati anak ketika mereka sedang marah. Sebab tatkala marah, anak sebenarnya butuh melampiaskan bukan sebaliknya “nasehat”. Ada baiknya kalau anak marah, kita memerlukan ruang sepi, dan hening yang bisa membuat anak menjadi menyadari apa kesalahan mereka.
Bila anak sedari awal sudah dicap dan disetereotipkan sebagai anak “nakal”, maka jiwa mereka sudah pasti terganggu dan tak nyaman dalam belajar. Contoh kecil adalah tatkala kita meminta anak mengerjakan tugas, ada yang cepat selesai dan ada yang lamban. Saat mereka lamban, sering kita memojokkan mereka dan memberi stereotype kepada mereka. Hal inilah yang tak perlu kita lakukan, anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Termasuk dalam urusan menyelesaikan suatu tugas dan tanggungjawab dari orang lain. Stempel dan cap anak “nakal” hanya akan membuat anak-anak kita makin tertekan dan tak sehat secara psikologis.
*) Penulis adalah Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, Guru MIM PK Kartasura
Belum ada tanggapan.