INGAT Benedict Anderson saya jadi ingat indonesianis yang mendahuluinya yakni Herbert Feith. Selang waktu kedua Indonesianis ini tak begitu lama ketika memasuki indonesia. Saya membaca biografinya melalui tulisan Jemma Purdey. Melalui buku ini, saya membaca bagaimana Indonesianis waktu itu memasuki Indonesia dengan perlakuan yang berbeda. Mereka merasakan bagaimana Soekarno mempersilahkan para indonesianis ini dengan bersahabat, dibanding dengan cara Orde Bau, meminjam istilah Joss Wibisono yang memperlakukan indonesianis dengan pencekalan dan hampir mirip seperti penjahat perang.
Apa yang menarik dari kehidupan para indonesianis ini?, bila melihat pendahulunya, Herbert Feith misalnya, ia adalah seorang yang penuh dedikasi, Cornell adalah bagian dari kerja para indonesianis yang mencoba mendokumentasikan, melakukan kajian dan penelitian tentang Asia Tenggara, dan indonesia menjadi bagian daripadanya. Proyek-proyek menerjemahkan dan menafsirkan indonesia ini bisa ditilik dari sisi positif maupun sisi negatifnya.
Pertama, proyek ini seringkali dianggap sebagai sebuah dominasi wacana dan ilmu pengetahuan tentang indonesia. Jelas, Cornell University masih memegang dominasi wacana ilmu sosial maupun sejarah yang ada di indonesia. Namun, bila ditilik dari alasan mengapa Anderson, atau indonesianis lain datang ke Indonesia?. Maka tidak lain kepentingan mereka adalah kepentingan akademik dan kepentingan ilmu pengetahuan. Dari sana kita melihat misalnya, Anderson yang datang pada bulan Desember 1961, karena untuk kepentingan kajian doktoralnya. Disertasi doktoralnya terbit di tahun 1972 dengan judul Java in the Time of Revolution. Di tahun 1966, bersama Ruth McVey dan Frederick Bunnel, Anderson harus dicekal karena membocorkan apa yang kemudina dikenal “Cornell Paper”.
Kedua, proyek para indonesianis ini sering dicurigai sebagai bagian dan bentuk dominasi dan sebuah pembacaan yang dilakukan mereka untuk kepentingan negara mereka. Tuduhan semacam ini begitu banyak dilakukan oleh kaum muda, dan tuduhan seperti ini seringkali tak didasarkan kepada faktor lain selain daripada sebuah kecurigaan semata.
Karena itulah, saya tak menganggap kajian pemikir, ilmuwan dari luar yang datang ke Indonesia sebagai penjajah ilmu pengetahuan semata sebagaimana yang dituduhkan oleh generasi muda yang sedikit mengenali sejarah. Itu yang saya rasakan ketika Pater Carey datang ke Soedjatmoko dan berbincang kepada saya ketika ia hadir dalam diskusi bukunya Kuasa Ramalan.
Begitupun ketika saya melihat Elizabeth D Inandiak, yang mengurusi Centhini hingga sampai meresap kedalam jiwanya. Apa yang saya lihat ini adalah bagian dari bagaimana spirit keilmuan dan spirit kemanusiaan telah meluluhlantakkan batas-batas nasionalisme dan kebangsaaan.
Melihat itu, saya justru jadi bertanya kepada kita, mengapa tak banyak dari kita yang menekuni dan mengurusi disiplin ilmu dan sejarah bangsanya sendiri?. Apa yang mereka (indonesianis) lakukan selama puluhan tahun, ketekunan mereka mengkaji arsip dan dokumen hingga sampai pada geliat mereka mengurusi buku dan membicarakan penelitian mereka bukanlah kerja yang praktis dan simpel.
Apa yang sudah dialami Benedict Anderson, tentu saja dialami oleh indonesianis lain seperti Harry A Poeze yang rela mati-matian menghabiskan separuh hidupnya untuk Tan Malaka. Pater Carey selama hampir 30 tahun lebih mengurusi dan menghadirkan Diponegoro. Benedict Anderson sendiri selama puluhan tahun di indonesia juga menghadirkan karya diantaranya A Preliminary Analysis of the October 1,1965 Coup in Indonesia yang lebih dikenal sebagai Cornell Paper. Kajiannya ini banyak dijadikan referensi bagi pengkaji 65. Tahun 1999, setelah dia dicekal selama rezim Orde bau, atau Orde Keropos (istilah Ben), ia menerbitkan tulisan berjudul Nasionalisme Indonesia, Kini dan Nanti yang ia hadirkan di Jakarta saat kuliah umum 4 maret 1999.
Dari Imagined Communities yang sering dikutip orang itu, saya merasa membaca buku ini membuat kita sedikit pening karena harus berjelajah untuk menelusuri negara-negara mana saja yang dihadirkan dan konsep yang disampaikan oleh Anderson mengenai sejarah kemunculan nasionalisme. Tetapi saya menemukan sesuatu yang menarik dari karyanya ini ketika membaca kutipan dari Dhaniel Dhakidae yang kebetulan menulis memoarnya di koran kompas, ia menuliskan : “ Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun, toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka“ (Anderson, 1993:8).
Membaca kalimat Anderson itu, saya jadi ingat dengan tulisannya tentang nasionalisme Indonesia, kini dan nanti, yang kurang lebih mengutarakan kesimpulan serupa. Ia mengatakan: “ nasionalisme bukanlah sesuatu yang diwariskan dari masa lampau, namun lebih kepada sebuah “proyek bersama“ (common project) untuk kini dan di masa depan. Dan proyek ini lebih membutuhkan pengorbanan pribadi, bukannya malah mengorbankan orang lain. Inilah mengapa tidak pernah terjadi pada para pejuang kemerdekaan bahwa seolah-olah mereka memiliki hak untuk membunuh sesama bangsa Indonesia; sebaliknya mereka merasa harus memiliki keberanian jika nanti mereka akan dipenjara, dianiaya, dan diasingkan demi kebebasan dan kebahagiaan di masa depan para sesamanya”.
Kalimat ini muncul dari kesalahpahaman sebagian masyarakat indonesia yang menilai bahwa nasionalisme adalah konsep warisan. Anderson menolak gagasan itu, dan menganggap nasionalisme adalah proyek yang tak pernah selesai, dan bisa jadi masa depan nasionalisme atau bangsa sendiri ke depan tak bisa tetap. Dari itulah, Anderson menilai gagasan nasionalisme adalah gagasan yang diperjuangkan dan terus diupayakan oleh generasi muda indonesia. Dalam kalimat lain Anderson meneruskan : “Dengan kata lain, kita dapat juga melihat bahwa “kelanjutan“ dari sebuah bangsa pada dasarnya tidak pernah memiliki sebuah jawaban pasti, dan juga layaknya sebuah pertaruhan”.
Nasionalisme yang seperti ini, kata Anderson hanya dapat dimenangkan bila kita menyadari secara penuh bahwa perbedaan, keberagaman adalah keniscayaan yang ada di negara berpenduduk 200 juta jiwa. Oleh karena itu, gagasan nasionalisme tak akan muncul bila tak ada gagasan kebersamaan dan persamaan sejiwa. Perasaan semacam inilah yang ketika Orde Keropos (istilah Anderson) dijadikan sebagai sebuah nasionalisme yang mengancam, merusak, dan penuh dengan nafsu menguasai.
Maka tak heran, di masa Orde Baru, bentuk nasionalisme lebih mengarah pada militerisme dan perang yang identik dengan kata “penaklukkan”. Bahaya perasaan kedaerahan yang berlebihan itulah yang membuat kita menjadi entitas yang terpisah. Inilah tantangan bagi generasi muda indonesia di masa depan.
Sebagaimana di buku Revolusi Pemuda yang pernah ditulisnya, Anderson juga menyarankan bagaimana para pemuda kita banyak mempelajari sejarahnya sendiri utamanya para tokoh-tokoh bangsanya sendiri. Nasionalisme tanpa kesadaran sejarah bangsanya, rasanya menjadi nasionalisme yang kering dan penuh jargon semata. Maka wajar ketika di akhir tulisannya tentang Nasionalisme Indonesia ia menuliskan : saya percaya (dan berharap) akan kebangkitan kembali dari proyek bersama yang telah dicetuskan hampir seratus tahun yang lalu. Usaha yang hebat seperti ini cenderung menghasilkan manusia-manusia yang hebat pula. Dr. Soetomo, Natsir, Tan Malaka, Sjahrir, Yap Thiam Hing, Kartini, Haji Misbach, Sukarno, Sjauw Giok Tjan, Chairil Anwar, Suwarsih Djojopoespito, Sudirman, Roem, Pramoedya Ananta Toer, Hatta, Mas Marco, Hasjim Ansjari, Sudisman, Armijn Pane. Haji Dahlan,24 dan masih banyak lagi yang datang pada zaman tersebut. Betapa sedih jika saya bandingkan dengan masa sekarang. Sudah hampir lebih dari sepuluh tahun, saya biasa bertanya kepada pemuda dari Indonesia yang mengunjungi Cornell, atau yang datang belajar ke sini, dengan pertanyaan sederhana: Siapa di Indonesia yang begitu anda kagumi dan hormati sekarang? Reaksi yang lazim terjadi adalah, bingung dengan pertanyaan tersebut, lalu mengaruk-garuk kepala dan akhirnya, baru secara lugas menjawab…. Iwan Fals.
Dari tulisan dan buku-buku karya Anderson kita juga bisa melihat bagaimana situasi politik indonesia mutakhir hampir mirip dengan apa yang dituliskan Anderson dalam bukunya Kuasa Kata (yang judul aslinya :Language and Power Eksploring Political Cultures in Indonesia, 1990). Di buku tersebut Anderson menguraikan bagiamana konsep kekuasaan jawa erat dengan Tuhan. Sehingga seorang pemimpin, raja, adalah wakil dari Tuhan. Ia menganggap konsep kekuasaan dalam jawa adalah holistik, biasanya didapat dari sebuah laku, dan juga karisma yang akan mempengaruhi kekuasaan.
Sebut saja Jokowi, sebelum pemilihan masyarakat jawa khususnya menautkan simbol 7, sebagai sebuah ramalan, dan menautkan dengan kelahiran Jokowi, dan sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan orang Jawa. Secara karisma, Jokowi tetap memperlakukan dirinya sebagai seorang jawa, yang tak hanya hormat kepada kiai, pastur,dan semua tokoh agama, tetapi juga kepada orangtuanya sendiri. Pada aspek inilah, konsep kekuasaan yang dulu ditulis Anderson pada Soekarno, tak jauh beda dengan apa yang ada pada SBY maupun Jokowi sekarang ini. Kekuasaan dalam pandangan jawa cenderung memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang nyata, homogen, keseluruhannya tetap, dan tanpa implikasi moral yang inheren (Anderson, 1990 :45).
Benedict Anderson (1936-2015) telah mendedikasikan hampir separuhnya untuk Indonesia, dan meninggal di Indonesia. Kita mewarisi karya-karyanya, dan mewarisi proyek dan wasiatnya tentang nasionalisme yang belum selesai hingga kini. Saya rasa inilah yang menjadi bagian penting dari apa yang bisa kita kenang dari Benedict Anderson.
Belum ada tanggapan.