Malam itu, kamis(24/4/14) kami bersama teman-teman sedang membincangkan Umar Kayam. Umar Kayam adalah manusia berbekal buku. Ia hidup di jalan modernitas dan tradisional. Latar sosial dan kultural membuat ia lebih memiliki modal sosial dalam pandangan Bordieu. Ayahnya Sukotjo adalah bapak sekaligus pengasuh yang melek literasi. Umar kayam pun menulis bergelimang buku. Dari bacaan sastra, politik, hingga kebudayaan dan tema-tema pendidikan. Tulisan Umar Kayam adalah warisan setelah ia wafat. Barangkali sedikit dari generasi kita saat ini mengenali Umar Kayam. Kesimpulan itu mengejutkan, ketika salah seorang peneliti dan peminat kajian Sosiologi Umar Kayam Abdur Rahman berjalan dan menziarahi perpustakaan dengan harapan bertemu Umar Kayam. Nasib naas itulah yang menimpanya. Ketika ia berjalan-jalan di perpustakaan IAIN Yogyakarta, ia tak menemukan daftar buku dan karya Umar Kayam disana. Di perpustakaan UGM, tempat almamater Umar Kayam sendiri pun tak banyak buku Umar Kayam. Aduh….
Umar Kayam telah dikubur di rumahnya sendiri. Dugaan kita telah meninggalkan dan melupakan warisan Umar Kayam seolah adalah fakta sosial yang tak terbantahkan. Perbincangan pun berlanjut dengan pertanyaan, lalu bagaimanakah kampus dan mahasiswa mengurusi Umar Kayam? Teman-teman pun mulai mengisahkan bagaimana kebiasaan rekan-rekan mereka di kampus, kebiasaan dan pengalaman ketika ada tugas belajar di kampus. Umar Kayam kemudian diposisikan tak lagi sebagai tokoh, sebagai orang yang mesti kita pelajari dan kita kaji pemikirannya. Umar Kayam pun menjadi teks yang mati, ia disempitkan ke dalam tugas-tugas dosen kita. Bagaimana kita akan bisa membuktikan kalau di kampus-kampus dan civitas akademika kita membincangkan Umar Kayam ketika tak ada buku dan karya Umar Kayam di perpustakaan mereka? Bahkan di UGM sebesar itu pun, buku tentang Umar Kayam hanya ada beberapa saja yakni Umar Kayam dan Jaring Semiotik dan Para Priyayi. Ketokohan dan peran Umar Kayam melampaui cap yang selama ini diberikan sebagai seorang “priyayi”. Hal ini dibuktikan melalui keberlimpahan buku yang ditulisnya. Umar Kayam menulis sastra, dalam bentuk novel dan cerpen, dan Umar Kayam adalah seorang aktor sekaligus dalam film-film di masa 65-an, tak hanya itu, ia menulis pelbagai catatan perjalanan dan kumpulan esai kebudayaan. Perannya sebagai dosen, pengajar, mahasiswa, dan jabatan dari lingkungan pendidikan hingga jabatan yang ia peroleh dalam jajaran birokrasi membuat ia tak menghentikan etosnya berliterasi. Ada kelakar sedih dalam perbincangan kami waktu itu, Umar Kayam yang begitu banyak meninggalkan tulisan dan buku saja tak banyak dikenal dan dilupakan, bagaimana dengan kita?.
Gejala “lupa” terhadap tokoh dan orang yang menggerakkan Indonesia di kalangan kita menjadi meresahkan. Tatkalah tak hanya buku-buku yang kemudian hilang dari peredaran dan lingkungan sekolah dan perpustakaan. Hal ini menjadi gawat ketika ditambah dengan dosen-dosen, mahasiswa dan juga kampus tak lagi menjadi tempat untuk membincangkan tokoh-tokoh yang menggerakkan Indonesia itu. Tak hanya Umar Kayam mungkin, kita jadi lupa dan menuliskan tokoh-tokoh Soekarno, Hatta, dan sederet nama biografi mereka hanya dalam status facebook dan twitter. Bahkan kalimat-kalimat mereka yang dituliskan di dinding-dinding media sosial mereka adalah status copas (copy-paste) dari browsing dan googling semata. Mereka tak menemui sejarah, cerita dan riwayat orang-orang negeri kita sendiri melalui buku-buku dan perbincangan di seminar-seminar. Ini menjadi gejala yang memprihatinkan. 15 tahun Umar Kayam tinggal di mangkunegaran solo, tapi kisah dan riwayat Umar Kayam itu tak lekas memperoleh tempat dan diperbincangkan secara luas. Padahal disana, ia menekuni kuliner, menekuni seni, dan belajar banyak hal ketika ia menghabiskan hidupnya di Solo. Masa-masa ia tinggal di Solo justru lebih penting dikaji karena hal itulah yang kelak membentuk Umar Kayam di masa dewasanya. Sayang, kajian dan perbincangan itu masih langka apalagi bila melihat kampus dan dunia akademik kita seperti sudah melupakan Umar Kayam.
Saya jadi teringat Gabriel Garcia Marquez sastrawan yang meninggal beberapa waktu yang lalu. Marquez mengingat sastrawan Miguel de Carventes melalui karyanya Don Quixote. Marquez mengisahkan betapa ia tersiksa dan harus membaca buku itu sampai selesai karena sang dosen mewajibkannya. Marquez pun akhirnya lega dan hafal tiap-tiap episode di Don Quixote. Pengalaman Marquez menunjukkan ada mekanisme kewajiban dan keharusan membaca dan mengenali tokoh-tokoh sastra dan nobelis dunia meski Marquez sendiri waktu itu menempuh bidang hukum. Di Negara-negara lain, tokoh-tokoh dan pahlawan serta sastrawan di Negara mereka wajib diketahui dan dikenalkan sejak dini. Di lingkungan sekolah dasar sekalipun, mereka sudah dikenalkan dengan tokoh-tokoh itu melalui buku-buku bergambar. Kita jadi sedih dan trenyuh, di negeri kita hal itu belum terjadi sepenuhnya. Justru melalui mekanisme di luar institusi dan lingkungan pendidikan, kita akan menemukan perbincangan, buku, dan tema-tema menarik tentang sejarah dan ketokohan orang-orang yang menggerakkan Indonesia. Tragedi buku Umar Kayam yang menghilang itu tentu menjadi refleksi bagi kita, mestinya lingkungan akademik dan kampus, turut menjaga dan memelihara riwayat dan sejarah mereka atau setidaknya dengan tidak membiarkan buku dan karya mereka hilang dari perpustakaan.
*) Penulis adalah Peserta Tadarus buku dan Santri Bilik Literasi Solo,
Belum ada tanggapan.