Sejak dari awal didirikannya, republik Indonesia telah membabtis diri sebagai negara demokrasi. Dalam rentangan waktu perjalanan panjang dari orde lama hingga orde baru pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum pernah mencapai titik pari purna.
Reformasi adalah saat di mana harapan akan tegaknya janji demokrasi itu diletakan. Prinsip kebebasan dan partisipasi publik adalah misi utama dari reformasi itu sendiri. Model otoritarisme betul-betul ditumbangkan semenjak Soeharto dilengserkan melalui aksi massa yang luar biasa.
Namun demikian harapan akan tegaknya demokrasi kini masih tinggal harapan hampa. Demokrasi yang menekankan kedaulatan di tangan rakyat justru hanya melahirkan para bandit yang menguasai republik ini. Demokrasi yang menekankan kebebasan justru hanya melahirkan berbagai aksi massa dan permainan politik atas nama kebebasan yang kerap mengganggu kestabilan bangsa. Belum lagi ketika media sosial semakin mewabah, persoalan hoaks adalah tantangan baru yang muncul kini.
Realitas malum yang ditampilkan dalam demokrasi pascareformasi ini adalah juga sebuah gugatan untuk kembali mempertanyaakan model demokrasi di republik ini. Jawaban atas realitas malum yang ditampilkan dalam demokrasi di republik ini oleh berbagai pendapat merujuk pada demokrasi yang belum mencapai pada tarap kerasionalan dalam berdemokrasi.
Perihal kurangnya daya rasional ini pada dasarnya telah dijawab oleh Francis Bacon (1561-1626), yaitu terjebaknya masyarakat dalam idola-idola atau kesesatan berpikir. Bacon sendiri menandasakan bahwa kesesatan berpikir itu terjadi ketika daya rasional itu dimatikan dengan kekuatan daya irasionalitas. Raibnya daya rasionalitas publik oleh idola yang diungkapkan oleh Bacon ini juga dapat menjadi pisau bedah untuk menelisik sebab dari sejumlah persoalan yang ditampilkan oleh wajah demokrasi Indonesia kini.
Model-model Idola
Secara lebih terperinci Bacon juga membagi model-model idola itu sendiri menjadi empat macam idola yang dapat djadikan sebagai dasar untuk melihat sebab raibnya rasioanalitas dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Pertama adalah idola tribus yaitu kecenderungan orang untuk menarik kesimpulan secara cepat tanpa dasar yang secukupnya. Orang hanya berhenti pada sebab-sebab dangkal yang tidak diperiksa secara memadai atau melakukan observasi secara mendalam. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kenyataan semacam ini dapat dibaca dari reaksi masyarakat ketika berhadapan dengan berbagai persoalan yang di hadapi bersama.
Masyarakat yang terjebak dalam model idola semacam ini biasanya ditandai dengan masyarakat yang lebih terbawa oleh arus emosi belaka ketika melihat suatu persoalan sehingga mudah terprovokasi dan dimanipulasi. Akibatnya adalah persoalan-persoalan itu kerap dijadikan sebagai bahan jual beli politik golongan kepentingan tertentu untuk mencapai tujuan kepentingannya yang sepihak. Masyarakat yang sudah terjebak dalam model idola semacam ini lalu hanya dijadikan sebagai obyek untuk memuluskan tujuan kepentingan segelintir orang tertentu. Di sana demokrasi lalu hanya menjadi sistem yang memuluskan kepentingan sepihak atas nama suara mayoritas.
Kedua adalah idola specus yaitu prasangka dan selera khusus yang membuat orang terkurung dalam gua pikirannya sendiri dan tertutup terhadap kebenaran lain yang ada di luarnya. Kenyataan semacam ini dapat dilihat dari keberadaan masyarakat yang ditandai dengan sikap fanatisme yang kuat.
Menjadi sebuah pertanyaan khusus adalah, mengapa para pelaku politik di republik ini yang kerap menciptakan persoalan bagi bangsa tetapi tetap saja dipercayai publik untuk menjadi orang yang mendapat posisi penting entah itu di tingkat daerah maupun nasioanal? Atau pertanyaan lain adalah mengapa perjuangan kepentingan dari golongan tertentu yang terang-terangan jauh dari tujuan kepentingan bersama tetapi masih saja mendapat tempat di hati sejumlah masyarakat?
Menjawabi pertanyaan ini lagi-lagi Bacon dibenarkan. Terjebaknya masyarakat dalam gua fanatisme tokoh, partai dan ideologi tertentu kerap mengukung masyarakat untuk membangun suatu cara pandang baru demi terciptanya kebaikan bersama yang adalah cita-cita dari demokrasi. Hal inilah yang juga justru menutup ruang diskursus dalam demokrasi karena masyarakat kerap dikukung oleh sikap absolutisme kebenaran dari golongannya saja. Akibat lanjutannya adalah politik identitas malahan memainkan peran paling utama dalam panggung politik di republik ini.
Ketiga adalah idola fori yaitu pembicaraan umum yang diterima begitu saja tanpa dipersoalkan secar kritis. Model idola semacam ini dapat dibaca dalam konteks demokrasi di Indonesia yang kini dengan bantuan kemajuan teknologi telah memasuki erah baru yaitu era digital. Namun demokrasi di era digital yang sebenarnya memudahkan dalam hal partisipasi politik ini justru hanya melahirkan sejumlah persoalan baru seperti maraknya hoaks. Lagi-lagi jawaban atas maraknya persoalan hoaks semacam ini juga mestinya dikembalilkan dalam dunia kehidupan masyarakat kini yang masih terjebak dalam model idola fori.
Kemajuan teknologi sebenarnya telah mengantar demokrasi kita untuk satu langkah lebih maju dalam hal partisipasi publik. Namun di lain sisi, kemajuan teknologi ini juga justru hanya menciptakan masyarakat yang terjebak dalam model hidup serba cepat dan serba aktual.
Masyarakat yang terjebak dalam mental serba cepat dan serba aktual ini lalu kehilangan daya kritisnya karerna mudah saja menerima berbagai informasi secara cepat dari berbagai media sosial yang validitas kebenarannya sangatlah syarat dengan manipulasi. Ketika masyarakat sudah terjebak dalam mental instan semacam ini, demokrasi era digital dengan kehadiran media sosial lalu dijadikan oleh kelompok kepentingan tertentu sebagai sarana untuk memanipulasi masyarakat.
Keempat adalah idola theatri yaitu orang melihat sistem filsafat dan berbagai pandangan yang ada sebagai fabel yang perlu ditampilkan di atas panggung begitu saja. Model idola semacam ini dapat dilihat dari realitas kehidupan berdemokrasi yang ditandai dengan kebebasan yang kerap disalahgunakan atau kebebasan yang keblabasan. Demokrasi yang telah memberi tempat kepada semua orang untuk bebas mengaktualisasi diri dalam kehidupan politik justru hanya menampilkan berbagai bentuk gerakan radikalisme yang muncul belakangan ini.
Dengan menyetir apa yang diungkapkan Bacon, hemat saya radikalisme yang muncul belakangan ini karena kecenderungan orang yang hanya ingin menampilkan saja pandangan hidupnya begitu saja meskipun ideologi atau pandangan hidupnya itu justru bertentangan dengan prinsip pancasila dan konstitusi yang telah digariskan.
Menghadapi realitas kehidupan demokrasi yang terus diwarnai oleh idola-idola semacam ini mestinya ada keseriusan dari semua elemen untuk melepaskan diri dari belenggu idola-idola semacam ini. Berhadapan dengan idola semacam ini Bacon juga tidak hanya menampilkan model-model idola.
Jalan Keluar dari Bentuk Idola-isme
Lebih jauh Bacon juga memberikan jalan keluar yang juga dapat dijadikan sebagai prinsip yang dipakai untuk keluar dari segala bentuk idola-idola yang merongrong kehidupan berdemokrasi kini. Ada dua fase yang juga ditawarkan oleh Bacon yang sekiranya juga dapat dijadikan sebagai prinsip membangun semanagat kerasionalan dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Pertama adalah fase pars destruens yaitu membersihkan akal budi dari berhala-berhala atau kesesatan berpikir yang kini menyerbu kerasionalan publik. Untuk sampai pada taraf pembersihan diri dari berhala semacam yang dipaparkan ini pada tempat pertama mestinya ada kesadaran dan kerendahan hati untuk menerima dan mengakui terjebaknya diri dari model-model idola ini. Dari kesadaran ini lalu mengarahkan masyarakat untuk membersikan diri idola-idola ini dan memahami kembali tujuan hakiki dari demokrasi yang adalah prinsip yang menekankan tujuan demi kebaikan bersama.
Setelah sampai pada taraf kesadaran diri untuk mengenal dan mengakui akan adanya kesesatan berpikir yang menyerbuh intelek ini lalu mengantar publik untuk menuju pada fase yang kedua. Fase kedua yaitu fase pars construens. Fase pars contruens yaitu fase di mana orang mulai menerapkan metode dan pengetahuan yang betul-betul rasional dan dapat mengarah pada kepentingan bersama.
Dalam tahapan ini masyarakat atau publik mestinya menerima dan mengakui prinsip demokrasi yang sesungguhnya dan dapat dijalankan dalam kehidupan berdemokrasi. Diskursus rasional yang membuka rung dialog demi kebaikan bersama adalah prinsip yang mestinya diterapkan dalam demokrasi kini demi membangun demokrasi yang lebih baik.
Belum ada tanggapan.