Ketika menulis tentang korupsi, saya teringat data Indeks Persepsi Korupsi 2016 yang dilansir Transparency International lalu. Dari 176 negara di dunia yang disurvei, Indonesia berada di peringkat 90. Singapura menjadi satu-satunya negara Asia yang paling rendah korupsinya. Untuk ukuran dunia, Denmark berada pada peringkat pertama negara yang paling rendah korupsinya, sedangkan Somalia merupakan negara dengan korupsi tertinggi (bdk. metro24jam.com, 26/1/2017). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch). Faktum sekaligus dugaan seputar korupsi sudah dan sedang mencuat ke permukaan kehidupan politik kita. Hasil penelitian ICW telah membuktikan bahwa provinsi-provinsi di seluruh Indonesia, satu pun tak luput dari prahara korupsi. Korupsi telah begitu membudaya, mengakar dan berkecambah hingga melahirkan pelbagai masalah sosial lainnya.
Pengumuman ICW dan lansiran Transparency International tersebut sungguh mengejutkan dan seharusnya menusuk nurani kita. Pasalnya, Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam melimpah, serentak dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi peradaban dan pluralisme, ternyata memelihara banyak pencuri. Hal ini juga memalukan karena memberi gambaran yang nyata bahwa pejabat-pejabat negara kita telah gagal menegakkan hukum di negara ini. Mereka gagal menuntaskan misinya untuk memberi kesejahteraan kepada rakyat.
Bukan tidak mungkin jikalau kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat, pada umumnya terjadi karena diskresi pejabat. Arti sederhananya, korupsi terjadi sebagai akibat dari diskresi yang dilakukan oleh para pejabat. Lagi pula, memang benar, tindakan diskresi juga dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi apabila pejabat bersangkutan mendapatkan atau menjanjikan akan mendapatkan hadiah atau keuntungan berupa uang ataupun barang yang berkaitan dengan tugas, jabatan ataupun kewenangannya. Tulisan ini mau menjelaskan sejauh mana hubungan antara tindakan diskresi pejabat terhadap kasus korupsi.
Dasar Hukum Tindakan Diskresi
Kata ‘diskresi’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi. Istilah diskresi dapat pula ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Hal-hal penting menyangkut diskresi yang diatur dalam undang-undang tersebut antara lain: diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang (pasal 22 ayat 1), setiap penggunaan diskresi pejabat pemerintahan bertujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kepentingan umum. Adapun yang dimaksud dengan stagnasi pemerintahan adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, contohnya: keadaan bencana alam atau gejolak politik (pasal 22 ayat 2). Secara lanjut ditegaskan lagi dalam pasal 25 ayat 1 dan 2 bahwa penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran, wajib memperoleh persetujuan dari atasan pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan dimaksud dilakukan apabila penggunaan diskresi menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara (www.hukumonline.com).
Sejatinya, menurut saya, diskresi memang diperlukan, sebab dalam kenyataan, lingkup aturan tidak menjangkau secara komprehensif dan detail bagaimana setiap pejabat dapat menjalankan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya di lapangan. Diskresi diperlukan supaya ada pertimbangan dan kebijakan subjektif dari pejabat publik bersangkutan demi kelancaran tugas-tugasnya. Sebagai contoh, di sebuah perempatan jalan, kondisi jalanan macet, arus dari arah A terlalu padat sementara arah sebaliknya (arus B) lengang. Polisi kemudian memberi instruksi kepada pengendara dari arus A untuk terus berjalan walaupun lampu lalu lintas berwarna merah. Berhadapan dengan situasi dalam contoh di atas, mau tidak mau, diskresi dibutuhkan. Polisi (aparat pemerintah) tetap dapat, bahkan harus menggunakan diskresi dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Dan benar, untuk mencapai tujuan dalam satu negara, pemerintah berkewajiban untuk memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya.
Diskresi Penyebab Korupsi
Pemberian diskresi telah direstui. Namun dalam praktiknya tidak sedikit pejabat kita cenderung menyalahgunakan hak diskresi yang dimilikinya. Hal demikian terjadi karena diskresi yang dilakukan dalam menangani berbagai masalah atau pelanggaran hukum tidak memiliki aturan atau batasan yang jelas sehingga sering menyimpang dari ketentuan atau prinsip dari diskresi. Penyalahgunaan diskresi tersebut terjadi karena kekaburan pemahaman hukum yang menjadi pedoman pelaksanaan diskresi, lemahnya sistem kontrol dan kendali, kurangnya dukungan anggaran untuk operasional, adanya tuntutan atau kewajiban (gaji) yang ingin dipenuhi baik untuk pribadi atau organisasi.
Hak diskresi bukan tidak mungkin berpotensi melahirkan tindakan korupsi. Hal itu pasti mengingat sampai saat ini batasan diskresi masih kurang jelas dan tegas. Sebagai masyarakat awam, mungkin kita mengenal korupsi dalam arti mencuri uang rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Namun pada hakikatnya korupsi itu terjadi karena adanya monopoli dan diskresi tanpa akuntabilitas. Dengan kata lain, kasus korupsi yang marak terjadi di negeri ini disebabkan karena adanya kekuasaan dan kewenangan yang tidak diimbangi dengan pertanggungjawaban. Senada dengan ini, saya teringat amanat Bang Napi dalam salah satu acara di televisi, bahwasanya kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Mungkin ungkapan ini sangat tepat dalam menggambarkan para oknum yang memanfaatkan kekuasaan dan jabatannya (diskresi) untuk memperkaya diri dengan jalan korupsi.
Batas Toleransi Diskresi
Tentang korupsi, sebagai negara yang beradab dan berbudaya, Indonesia masih tetap menjadi sorotan dunia. Jika ditafsir lebih jauh, kita bisa menarik sebuah hubungan kausal antara Indonesia dan provinsi-provinsi di Indonesia, bahwasanya predikat ‘jawara’ korupsi yang disandang provinsi-provinsi di Indonesia secara langsung memberikan pengaruhnya bagi Indonesia. Akumulasi korupsi dari seluruh provinsi tersebut ditambah dengan isu tentang pelbagai fenomena korupsi lain yang tak terungkap tentu saja menjadikan Indonesia sebagai negara yang ‘dikenal’ dunia. Dikenal sebagai ladang perkembangbiakan para pencuri. Jika Indonesia dikenal orang-orang di seluruh dunia sebagai sebuah negara beradab, fenomena korupsi yang ada bisa membalikkan Indonesia menjadi negara pencinta korupsi. Indoneisa lambat laun akan jadi perbincangan dunia oleh karena korupsi dan agen korupsinya.
Tak dapat dimungkiri bahwa kasus korupsi yang merupakan masalah terpelik di negeri ini masih banyak menemui jalan buntu. Beberapa kasus pun diproses secara panjang hingga hilang begitu saja tanpa jejak. Selain itu, ada juga kategori kasus korupsi yang sebenarnya tidak bisa sampai ke persidangan, tapi terkesan dipaksakan. Kategori korupsi inilah yang lebih merugikan negara. sebab, terkadang untuk suatu kasus korupsi yang menelan nilai kerugian negara ‘kecil’, negara mesti mengeluarkan biaya yang lebih ‘besar’ untuk mengusut atau menuntaskan kasus tersebut. Memang hak diskresi pejabat itu penting agar dapat memacu penyerapan anggaran, tapi diskresi itu harus memiliki payung hukum sebagai kekuatan eksekusi dari penegak hukum.
Kebebasan bertindak sudah tentu akan menimbulkan kompleksitas masalah. Hal ini berpeluang lebih besar untuk menimbulkan kerugian kepada warga masyarakat. Oleh karena itu, terhadap diskresi perlu adanya batas toleransi. Adanya batasan-batasan mengenai tindakan diskresi yang jelas, dapat menjadi pedoman atau penuntun bagi para pejabat, sehingga dalam melaksanakan tugasnya, mereka dapat selalu berpedoman pada norma-norma yang berlaku di masyarakat (norma hukum) serta etika profesi mereka. Batasan toleransi dari diskresi ini dapat memunculkan kebebasan atau keleluasaan pejabat dalam bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendesak yang belum ada aturannya, dengan tidak mengakibatkan kerugian kepada masyarakat. Selain itu, kebijakan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.
Belum ada tanggapan.