Oleh Elvan De Porres
“Apa yang Anda temukan dalam pikiran Anda adalah apa yang Anda letakkan di sana. Maka, letakkanlah hal-hal yang baik di sana.” (Ron Rathbun)
Dalam dasawarsa terakhir ini, tak jarang ditemui konflik berkeliaran di mana-mana. Segala kesalahpahaman langsung disengketakan, bahkan dengan pertumpahan darah. Yang ada dalam pikiran manusia hanyalah kebencian. Sebuah aura bacin bak hantu siang malam yang tak lindap-lindapnya menggerutu. Sesama manusia langsung masuk dalam konsepsi pemikiran negatif. Orang kehilangan daya berpikir kritis-humanisnya. Ini seolah-olah hidup (baca: sesama) adalah neraka bagi diri, mengafirmasi perspektif Jean-Paul Sartre.
Krisis berpikir positif adalah bencana kemanusiaan yang paling konyol. Manusia dikendalikan oleh naluri, dan keutuhan dirinya pun tergarap retak. Pecahnya integritas diri juga lamurnya kapasitas pikiran positif merupakan faktor dasariah timbulnya sengketa-sengketa tak perlu itu. Dengannya, berbagai persoalan lanjut hingga menyangkuti seabrek kehidupan kolektif akhirnya saling sesap. Hal-hal kecil yang sebenarnya bisa diatasi menjamur luas dengan efek destruktif-kolot.
Hemat saya, manusia membutuhkan kekuatan untuk berpikir positif. Sesungguhnya itu mudah. Namun, seringkali dalam kenyataannya, ujaran tersebut pasti langsung disangkal dan dipertentangkan. Banyak orang justru merasa bahwa memiliki pikiran positif itu musyikil. Selalu saja ada tantangan dan masalah yang menggeret mereka dalam kerangkeng pemikiran negatif. Hal semacam ini merupakan kewajaran. Wajar karena manusia belum menyadari potensi pikirannya sebagai kawan yang selalu mendorong maju. Sebab dalam pesuk pemikiran negatif, pikiran selalu dilihat sebagai musuh atau lawan. Orang tidak mampu menciptakan damai dengan diri sendiri, teristimewa pikirannya.
Sebelum melangkah lebih jauh, sebuah tesis layak dikumandangkan; pikiran positif itu dibentuk mengandaikan orang mengikuti prosedur-prosedur yang benar. Prosedur tersebut bukanlah semacam teori, melainkan merujuk pada laku atau proses. Sejalan dengan ujaran Ron Rathbun, seorang guru spiritual dan penulis, prosedur ini merupakan peletakkan. Ini tentu berindikasi pada hal-hal baik. Artinya, manusia sebenarnya memiliki kekuatan tersembunyi untuk diletakkan pada pola pikirnya. Oleh karena itu, kesadaran tentang ini menjadi keharusan. Sebab pikiran positif yang lahir dari alur prosedur yang tepat akan memberikan varian kemaslahatan. Dan, itu tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga untuk sesama manusia hingga berefek ekstensif bagi bangsa dan negara.
Menurut Shirzad Chamine dalam bukunya Positive Intelligence (2012), term kunci yang menjadi musuh utama diri sebagai bagian dari pikiran negatif tadi adalah penyabot. Penyabot ini merupakan pikiran yang dilihat sebagai lawan. Ia semacam perangkat pola pikir otomatis dan kebiasaan, masing-masing dengan suara, keyakinan, serta asumsi sendiri yang bertolak belakang dengan kepentingan pribadi. Penyabot sesuai dengan arti leksikalnya menggagalkan atau merusakkan setiap usaha. Maksudnya, ia tampil jorjoran untuk memberikan aura negatif yang tentu mengacaukan pikiran. Efeknya, ragam laku destruktif dan serampangan pun terjadi.
Menyadari adanya penyabot merupakan item pertama dari prosedur termaktub. Lanjutannya, menurut Charmine (2012: 18-22), ada sepuluh hal yang mesti teridentifikasikan dalam penyabot itu. Pertama, hakim. Hakim merupakan penyabot utama yang menyebabkan orang mencari kesalahan pada orang lain dan juga pada diri sendiri. Hakim ini menimbulkan kegelisahan, stres, amarah, kekecewaan, rasa malu, dan rasa bersalah. Kedua, stickler. Stickler merupakan kebutuhan akan kesempurnaan, ketertiban, dan pengorganisasian yang berlebih. Namun, ia hanya menghabiskan energi dalam upaya meraih kesempurnaan yang tidak perlu. Ketiga, penyenang. Poin ini menyebabkan diri berusaha melakukan sesuatu supaya diterima dengan senantiasa memberikan bantuan, menyenangkan, ataupun menyanjung orang lain. Keempat, hyper-achiever. Ia menjadikan diri bergantung pada kinerja dan pencapaian konstan guna memperoleh respek dan validasi diri.
Hal kelima ialah korban. Di sini, orang dipaksa untuk menjadi emosional dan temperamental supaya mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Namun, ini ujung-ujungnya berakibat pada rasa belas kasihan terhadap diri sendiri. Keenam, hiper-rasional yang menjadikan orang menjadi rasionalis. Orang mengabaikan emosi dan menjadi pribadi yang tidak sabar, bahkan bisa dipersepsikan sebagai sosok dingin, tidak ramah, dan angkuh secara intelektual. Ketujuh, hiper-waspada yang memberikan kegelisahan dan kecemasan terhadap gejala-gejala buruk di sekitar kehidupan. Penyabot ini membuat orang tidak bisa tenang dan selalu mewaspadai segala sesuatu. Kedelapan, kegelisahan. Ia merongrong diri supaya tidak bisa merasa damai ataupun nyaman. Diri ditegangi kesibukan terus-menerus yang sebenarnya tidak perlu. Kesembilan, pengendali. Hal ini memungkinkan diri supaya memaksa orang lain mengikuti kehendaknya. Ada anggapan bahwa orang lain mesti dikendalikan dan tunduk terhadap kehendak pribadi. Dan, yang kesepuluh ialah penghindar. Orang lebih suka mencari rasa nyaman dan berusaha menghindari konflik atau hal sulit.
Demikianlah sepuluh rintangan dalam diri yang patut dikenali. Apabila kesepuluh onak tersebut telah disadari sebagai pencipta energi negatif, prosedur selanjutnya ialah usaha mengeliminasi hal-hal itu. Dalam tajuk eliminasi, perubahan paradigma berpikir itu kemestian. Artinya, kesepuluh penyabot itu niscaya dijadikan “kawan”, bukan dilihat lagi sebagai “lawan”. Menjadikan “kawan” berarti menerima kehadiran mereka. Bahwasannya ketika masalah menghadang dan mengganggu pikiran, orang mesti mulai mengidentifikasi penyabot jenis mana yang sedang memainkan peranannya tersebut. Setelah jenis penyabot teridentifikasi (dan diterima baik), diri pasti akan merasa lega sebab telah mengetahui sumbernya. Ini merupakan langkah awal yang ampuh untuk menciptakan pikiran positif ketimbang tidak menyadari sama sekali. Telah ditegaskan bahwa manusia memiliki kekuatan untuk itu. Sehingga melemahkan penyabot berarti berdamai dengan diri sendiri.
Namun, kekuatan pikiran positif tak hanya termampatkan pada identifikasi penyabot. Kekuatan sejatinya ada pada kebijaksanaan, sebuah term teknis sebagai antitesis atas penyabot. Pikiran positif, selain dengan mengidentifikasi penyabot, akan semakin menunjukkan tajinya apabila kebijaksanaan itu termanfaatkan. Pada tataran ini, kebijaksanaan mesti pula terdeteksi. Ada lima hal pokok. Pertama, menyelidiki dengan keingintahuan dan pikiran terbuka. Kedua, berempati pada diri sendiri serta orang lain, berbela rasa dan paham terhadap situasi apapun. Ketiga, menginovasi dan menciptakan perspektif baru dan solusi di luar kotak. Keempat, menavigasi dan memilih jalan yang selaras dengan nilai-nilai dan misi pokok, serta kelima, mengaktivasi dan mengambil tindakan tegas tanpa keresahan, campur tangan, atau gangguan dari penyabot (bdk. Charmine, 2012: 22). Pembentukan kesadaran akan kelima aspek kebijaksanaan tersebut sungguh penting. Sebab pada satu sisi orang mengamini masalah, menerima rintangan sebagai bagian hidup, dan pada lain sisi membangkitkan aspek positif dirinya, potensi, bakat dan talenta yang bisa dikembangkan.
Pikiran manusia bisa menjadi kawan ataupun lawan itu tergantung pada pembentukan polanya. Kekuatan pikiran positif akan timbul apabila hal-hal yang mencemaskan diri mampu terklasifikasikan. Melakukan klasifikasi penyabot adalah menjadikan status pikiran dari “lawan” ke “kawan”. Ada pendamaian dengan diri. Selanjutnya, pikiran itu dihantar untuk menggali kebijaksanaan diri. Kebijaksanaan diri ini meliputi kualitas-kualitas positif, bakat, dan talenta diri. Akhirukalam, untuk bangsa yang berpikiran maju, mari ciptakan kekuatan itu. Letakkanlah hal-hal baik di sana.
Belum ada tanggapan.