1.
Seorang bocah dibelikan sepasang sepatu buatan Jerman oleh ibunya, lantas dia teringat pada kakeknya. Ibunya berkata Adidas merupakan merek terbaik di dunia, dan bocah itu mengingatkan ibunya bahwa kakek juga berasal dari Jerman. Tetapi sang ibu mengoreksi kalau kakek berasal dari Polandia sehingga bocah itu berpikir ibunya tidak tahu apa-apa mengenai sepatu tersebut. Bagi sang ibu sepasang sepatu bola hanyalah sepasang sepatu entah itu dibuat di Jerman atau tidak. Jerman dan Polandia sama saja di matanya. Maka pergilah bocah itu ke lapangan untuk bermain bola. Semula dia tidak mau menendang bola karena dia takut hal itu bakal menyakiti kakeknya. Namun, dia melupakannya setelah itu. Bahkan dia mencetak gol kemenangan menggunakan sepatu pembelian sang ibu. Usai pertandingan, dia melihat ke bawah kaki dan merasa betapa nyaman sepatu tersebut. Boleh juga, katanya dalam hati.
Dengan humornya yang tajam Etgar Keret menertawai kebencian bangsa Yahudi terhadap Jerman sampai setiap detil produk mereka dihindari. Bagi Orang Israel, setiap televisi, sabun, parfum sampai pencepit kuku yang bermerek Jerman selalu mengingatkan mereka pada peristiwa Holocaust; bahwa semua itu terbuat dari darah, daging dan kulit bangsa Yahudi yang dibantai. Namun Keret mengingatkan sepakbola adalah lain cerita dan kita boleh yakin adalah sebuah pengecualian. Sepak bola memungkinkan sebuah sepatu dilihat sebagai sekedar sebuah sepatu bukan tulang dan daging. Dan walaupun bocah Israel itu masih menganggap sepatu bola buatan Jerman dibalut oleh kulit serta dirangkai dari belulang, tidak ada lagi kebencian dan penderitaan yang tersisa. Dalam perjalanan pulang bocah itu menengok kembali sepatu di kakinya, dia ingat lagi kepada kakeknya yang dibunuh orang Jerman. “Beberapa gol, bukan?” dia mengingatkan kakeknya, “Bahkan penjaga gawang itu tidak tahu apa yang menyerangnya.”
Melalui cerpennya, Keret memperlihatkan kepada kita ironi yang akut. Kebencian bangsa Yahudi terhadap orang Jerman sudah merasuk hingga ke dalam darah anak cucu mereka. Pada kondisi semacam itu, ketika agama sekalipun tidak berdaya memulihkan kemanusiaan mereka, sepak bola hadir justru untuk meruntuhkan kedigdayaan rasa benci. Bocah dalam cerita itu mungkin mengingat setiap lelaki Jerman sebagai Hitler tetapi tidak ketika dia mengingat Gerd Muller. Ironi tentang sepak bola adalah dari sesuatu yang remeh dan main-main sepak bola mampu menebus kesalahan-kesalahan besar manusia; rasisme, fanatisme terhadap kelompok dan agama, kesenjangan sosial, dan dendam masa lalu.
2.
Alih-alih menyamakannya dengan agama (banyak orang menganggap sepak bola seperti agama), sepak bola lebih mirip sastra. Baik bola maupun sastra lahir dari cikal bakal yang sebenarnya remeh dan tidak penting. Sastra lahir dari sastra lisan di mana seorang nenek biasa mendongeng cucunya menjelang tidur. Bola lahir secara main-main. Sekelompok penduduk iseng menendang bungkusan yang dibuat bulat untuk bermain-main mengisi waktu.
Waktu masih hidup, Jorge Luis Borges pernah mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap sepak bola. Dia melihat sepak bola sebagai seni yang buruk dan sebaliknya tidak bisa melihat kenyataan di lapangan sebelas orang melawan sebelas orang lain untuk memenangkan satu bola sebagai suatu keindahan. Borges bahkan menanyakan kewarasan orang dengan berpendapat sepak bola menjadi populer karena populernya kebodohan. Saya menemukan beberapa sumber mengenai ini dan membaca bahwa Borges tidak menyukai sepak bola berkaitan erat dengan situasi politik Argentina. Kala itu, fasisme dan antisemitisme merupakan intrik-intrik politik yang berkaitan erat anggapan ‘Argentina adalah sepak bola.’ Tetapi Borges (mungkin) hanya satu dari sepuluh orang yang membenci sepak bola. Apa pun yang melatarbelakangi ketidaksukaannya, Borges telah memilih untuk melihat sepak bola dari sisi yang buruk.
Bebas dari pendapat negatif Borges, saya justru melihat bahwa selalu ada yang magis sekaligus realistis di dalam sepak bola. Sebuah bola dikejar-kejar, bergulir dari kaki ke kaki, lalu dimasukan ke gawang yang dijaga; maka akan ada sorakan juga ada tangisan. Di sana ada wasit, tetapi bunyi pluitlah yang mengontrol pertandingan. Di stadion orang bersorak, berdiri dan duduk sama saja, bernyanyi dan menghujat, seperti berhala pada sesuatu. Sepak bola seringkali menunjukan apa yang sering dibayangkan orang sekaligus apa yang tidak mampu dibayangkan. Di sinilah, kita tidak bisa mengklaim bahwa bola yang dikejar oleh sekelompok orang di lapangan itu hanyalah sebuah permainan. Sebab di setiap operan dari seorang teman akan mengingatkan kita akan sukarnya hidup sehingga harus berbagi dan setiap gol yang tercipta layaknya sebuah pelajaran penting tentang apa artinya kemenangan dan kehilangan, tentang hilangnya harapan dan bagaimana seharusnya untuk berani bermimpi.
Saya ingin mendekatkan sastra pada sepak bola meskipun ada yang kontras antara keduanya; sepak bola berlangsung dalam gemerlapnya stadion sementara sastra dibaca dalam kesunyian. Apakah sastra mampu berbicara tentang sepakbola dengan lebih baik ketimbang sepakbola berbicara tentang dirinya sendiri? Saya pikir sastra memiliki kapasitas dan kewibaan untuk melakukan itu. Sastra bukan hanya soal mencatat tetapi juga memahami, menghayati dan menilai. Ketika sastra menulis tentang sepakbola maka dia akan menulis setiap kekalahan dan kelemahan lengkap dengan intrik, ironi dan paradoks.
3.
Sejarah sastra dunia tidak bisa menepis bahwa Amerika Latin memainkan peranan amat vital. Tahun 1960 nama-nama beken seperti Gabriel Marquez, Miguel Angel asturias, Carlos Fuentez dan Vargas Llosa meledakkan karya-karya mereka. Orang mengenal masa ini sebagai boom sastra Amerika Latin. Di dunia sepak bola, Amerika Latin punya sejarah mengkilap yang sulit disaingi. Luis Borges boleh saja membenci Pelle, namun dunia tidak bisa melupakan apa saja yang dia buat untuk Brazil. Maradona adalah lelaki pendek yang bengal, tetapi publik Argentina memuja dia seperti dewa.
Gabriel Garcia Marquez mengakui kalau Amerika Latin mengandung hal-hal magis, aneh, tidak masuk akal, ajaib dan sureal. Elemen-elemen tersebut menjadi fondasi kuat bagi Marquez dalam penulisannya yang berbau realisme-magis.
Hal-hal magis dan tidak masuk akal jugalah yang mewarnai dunia sepak bola Amerika Latin. Pada 6 september 1995, Rene Higuita pernah melakukan penyelamatan menggunakan kedua kakinya di udara dalam posisi seperti kalajengking. Orang Inggris tidak akan melupakan aksi janggal kiper Kolombia ini, karena bagaimana pun sebagai penjaga gawang dia seharusnya bisa dengan mudah menangkap bola menggunakan tangan. Jauh tahun sebelum itu, pada 1986 publik Inggris juga pernah dibuat tidak percaya oleh Maradona yang menceploskan dua gol ke gawang timnas mereka. Satu gol curang dibuat Maradona menggunakan tangan kirinya satu gol hebat lain dibuat Maradona dengan melewati empat orang pemain bertahan Inggris.
4.
Euforia bola bukan bahasa baru karena sudah meletus mulai dari gubuk dengan televisi kecil hingga ke stadion dengan tiket masuk mahal. Satu cerita pendek karya Mal Peet cukup mewakili, berkisah tentang paman Segundo yang punya televisi besar dan parabola bagus. Di Rochina, seperti daerah lainnya di Brazil semua orang gila bola. Bahkan saking gilanya, paman Segundo melatih ayam jantannya bernama Socrates untuk berkokok tiga kali setiap kali Brazil mencetak gol. Demikianlah kejadian pada Piala dunia 2014 lalu, setiap Brazil membuat gol Paman Sagundo berteriak dan Socrates berkokok. Begitu terus hingga satu kali ayam tersebut berhenti berkokok; sebutir peluru meremukan kepalanya. Ternyata sekelompok polisi (atau salah satunya) yang berjaga di sekitar telah menembaknya, entah karena iseng atau ikut-ikutan gila. Kejadian itu memancing penduduk setempat, mereka naik ke atap dan turun ke jalanan untuk berkokok. Setiap gol akan diiringin kokokan. Jepang mencetak gol, mereka berkokok. Inggris cetak gol, mereka berkokok. sampai saatnya gawang Brazil kebobolan, mereka berkokok.
Belum ada tanggapan.