Program full day school (FDS) yang digagas oleh menteri pendidikan, Muhadjir Effendi menuai pro kontra dari berbagai pihak. “Wacana sekolah sehari penuh jika dipaksakan dapat memberikan dampak negatif,” kata Dr Erianjoni pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Padang (elshinta.com). Pengamat pendidikan kak Seto –Ketua Dewan Pembiaan Komnas Perlindungan Anak– mengatakan, “hanya cara penyampaiannya terkesan terburu – buru dan kurang tersosialisasi sehingga menimbulkan polemik di masyarakat. Saya mendukung rencana tersebut selain tidak memasung hak anak, seperti hak bermain, hak beristirahat, dan hak berkreasi. Sebab pada prinsipnya, sekolah harus ramah anak demi yang terbaik buat mereka.” (m.tempo.co). Pelaksanaan program FDS dimulai pada pagi hari dan tuntas pada sore hari. Peserta didik belajar seperti biasa hingga tengah hari dan dilanjutkan dengan ekstrakulikuler yang mereka pilih hingga sore hari. Sebagai ganti dari jam pelajaran seperti ini, pemerintah berniat meliburkan sekolah pada hari sabtu.
Sasaran tembak program ini adalah dari taman kanak – kanak hingga menengah atas di sekolah swasta maupun negeri. Program FDS lahir dengan tujuan menghindarkan penerus bangsa Indonesia dari pergaulan yang menyimpang jika orang tua sibuk bekerja. Juga untuk memenuhi amanat kepala negara, Jokowi, yang menginginkan peserta didik Indonesia memiliki karakter dan pendidikan yang top. Pendidikan karakter sangat diperlukan bangsa Indonesia. Seperti yang tertulis dalam buku Pendidikan Karakter Berbasis Wahyu[1], Tim Pengembangan Kurikulum Pendidikan DIKTI menyatakan bahwa secara khusus pendidikan karakter memiliki tiga karakter utama, yaitu : pembentukan dan pengembangan potensi, perbaikan dan penguatan, dan penyaring. Dan untuk pendidikan Indonesia sudah bagus terbukti dengan keluarnya anak bangsa sebagai pemenang dalam kancah perlombaan internasional. Gagasan pak Muhadjir sangatlah bagus, hanya saja mampukah bangsa Indonesia menjalankannya?
Dukungan dari semua pihaklah yang dapat membuat program ini berjalan optimal. Tapi bagaimana jika para orang tua murid menolak? Dengan mengatakan para orang tua berhak menghabiskan waktu bercengkrama bersama anak – anak. Mereka tidak ingin rumah hanya menjadi tempat peristirahatan setelah anak – anak lelah belajar. Juga tidak ingin buah hati mereka stress karena belajar seharian. Dan sudah menjadi kodrat anak – anak untuk bermain, berinteraksi dengan alam sekitar. Bukan hanya terkungkung dalam tembok – tembok kelas. “Jujur berat dan kurang setuju dengan wacana itu. Anak juga perlu istirahat dan bermain dan juga mengenal lingkungan sekitar mereka,” tutur Siti Patimah (beraunews.com).
Program ini juga sangat perlu memperhatikan fasilitas sekolah. Sudahkah seluruh sekolah di Indonesia memiliki fasilitas yang mumpuni untuk menopang program FDS? Mulai dari kantin, tempat beristirahat, laboratorium, lapangan, ruang kesenian, hingga green house. Dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk memiliki fasilitas – fasilitas tersebut. Dan faktanya saat ini masih banyak sekolah -yang kelas untuk pendidikan normal saja- tidak layak. Belum lagi jumlah kelas yang lebih sedikit dibandingkan dengan peserta didik, sehingga dilakukan shift pagi dan siang. Jika program FDS dipaksakan ketika fasilitas belum mumpuni, haruskah shift kedua dilakukan hingga malam?
Para guru yang mendampingi siswa di sekolah wajib mengerahkan tenaga dua kali lipat dari biasanya. Yang menyebabkan komentar negatif dari Kepala SMA Negeri 8 Berau yang berada di Kecamatan Biduk-Biduk, Zul Bahraen “Guru juga punya anak dan keluarga yang harus diurus, dan diberi perhatian serta bimbingan di rumah. Jadi memang menurut saya belum bisa diterapkan,” (beraunews.com). Jika guru yang telah ada tidak mampu untuk mendampingi hingga sore hari, dapat diadakan perekrutan guru lebih banyak. Terlebih lagi, para guru harus memiliki pengetehuan mendalam mengenai ekstrakulikuler yang dipilih oleh siswa. Tidak hanya memiliki pengetahuan yang mendalam, guru yang mengajar pun harus berkualitas dan sabar menangani siswa. Dan lagi, kinerja yang baik diimbangi dengan upah yang baik pula.
Sebagai komponen utama, siswa meliliki andil penting dalam keberhasilan program FDS. Jika fasilitas sudah oke, orang tua oke, para pengajar oke, tapi siswa tidak setuju dengan program FDS? dapat dipastiakan program FDS gagal. Sehingga siswa sangat perlu diberikan pemahaman yang baik. “Enggak setuju karena waktu belajar yang lama juga tidak efektif. Otak kita butuh istirahat,” berikut pendapat Hanna Mardiyah, siswi SMAN 6 Jakarta mengenai program FDS (megapolitan.kompas.com). namun pendapat yang berbeda dapat kita dengar dari Rafi (11), “Mau aja sekolahnya seperti itu, karena kalau di rumahkan jarang belajar, jadi kalau di sekolah pelajaran yang di dapat bisa banyak.” (pikiran-rakyat.com)
Sebagai penunjang keberhasilan program FDS, Indonesia harus memiliki ekonomi yang kuat. Sayangnya untuk saat ini Indonesia masih tertatih – tatih mengimbangi perekonomian dunia. Dan catatan untuk pemerintah adalah, jangan memaksakan program yang sama pada daerah terpencil tanpa adanya pemerataan fasilitas dan guru. Karena, tidak seperti di kota besar, di tempat terpencil seorang siswa yang ingin belajar di sekolah tidak sedikit yang harus menempuh perjalanan jauh seperti tokoh Lintang dalam film Laskar Pelangi.
Kita memang ingin Indonesia semakin maju hingga dapat berdiri sejajar dengan negara – negara adidaya. Berbagai ide cemerlang telah dikemukakan para ahli yang kompeten dalam bidang masing – masing. Tinggal “PR” bersama adalah merealisasikan ide tersebut seoptimal mungkin.
Sumber ilustrasi :
http://www.suaranusantara.com/jumlah-gedung-sekolah-rusak-di-indonesia-hampir-13-juta/
[1] Mansur, Ahmad, 2016, “Pendidikan Karakter Berbasis Wahyu”, Jakarta : Gaung Persada Press.
Belum ada tanggapan.