Hasrat muncul karena pengaruh dari keterbatasan ruang gerak manusia di tengah hadirnya aturan. Sebagai sebuah kesepakatan, aturan seharusnya mempermudah kehidupan manusia terkait realitas dalam kehidupan sosial. Namun, manusia sering berada dalam kejenuhan ketika hadirnya sebuah aturan justru menjadi penjara yang mengurung keleluasaan bergeraknya ide. Ini menyebabkan otak manusia mengandung berbagai macam pertanyaan yang mengkritisi realita kehidupan sosial. Tinggal menunggu waktu saja akhirnya bayi-bayi pertanyaan tersebut lahir dalam bentuk ide yang melawan realita.
Ide-ide ini akan berusaha menempa realita ke bentuk yang sebelumnya hanya dipahami sebagai sebuah fantasi. Fantasi ini pada dasarnya menawarkan dunia alternatif dan imajinatif yang nyaris tak mungkin dapat terjadi dalam realita. Namun lewat panasnya api logika dan paduan dari pukulan yang tepat, kadang fantasi tersebut bisa terasa lebih dipercaya daripada realita. Ini dikarenakan sebelumnya manusia telah menyimpan hasrat terpendam, bisa berupa mimpi hingga harapan yang dianggap ideal. Ini tergantung strategi dalam melarutkan sebuah fantasi ke dalam bentuk-bentuk yang dianggap ideal dan mampu menggeser berdirinya realita.
Tak sedikit para filsuf dan penemu yang berhasil melakukan hal tersebut. Tentu kita tahu kenyataannya hari ini manusia bisa berkomunikasi jarak jauh berkat ditemukannya telepon. Lalu bagaimanakah realita mereka yang hidup di jaman sebelum ditemukannya sebuah telepon? Atau bagaimanakah realita ketika sebelum hadirnya sebuah pesawat? Atau bagaimanakah realita masyarakat di tengah superiornya hukum yang menganggap pusat tatasurya adalah bumi? Tentunya kita akan berpikir bahwa hadirnya ide dari tokoh-tokoh hebat tersebut harus mengalami sebuah perjuangan melawan realita yang tidak mudah.
Namun banyaknya inspirasi dan pelajaran yang dapat diambil dari perjuangan para tokoh-tokoh tersebut tak menjadikan masyarakat hari ini seketika memiliki hasrat-hasrat yang sama. Jangankan mencoba memperjuangkan ide, memiliki hasrat berpikirpun enggan. Mayoritas dalam masyarakat kita terlalu menikmati zona nyamannya yang awam. Khususnya di Indonesia, masyarakat sangat pandai dalam hal mensyukuri kenikmatan hidup. Kehidupan yang diberikan Tuhan pada dirinya dianggap terlalu agung sehingga mampu membuatnya berpikir bahwa anugerah hidup adalah suatu kenikmatan yang hakikatnya hanya menunggu mati. Jadi buat apa kita harus menodai dengan sebuah ketidakpuasan yang mengkritisi kehidupan itu sendiri.
Bahkan banyak sekali filsafat kehidupan yang disalahgunakan untuk mendukung kegiatan malas berpikir ini. Tak sedikit dalil-dalil agama diputarbalikan dan ditunggangi kepentingan politik demi membuat masyarakat tetap dalam kendali kekuasaan. Kemungkinan besar mereka yang memiliki kuasa tidak menghendaki hadirnya ide-ide progresif di dalam masyarakat. Karena mereka yang memiliki kemauan berpikir akan mengancam dominasi elit-elit yang memegang kontrol. Kegiatan berpikir adalah salah satu dasar utama yang mampu mengungkapkan indikasi-indikasi dari motif kepentingan elit-elit yang mencari keuntungan dari bodohnya masyarakat. Tentunya bagi mereka yang tahu akan hal ini enggan hidup dalam realita ciptaan dari kepentingan elit ini.
Maka dari itu yang terpenting adalah bagaimana menghadirkan hasrat-hasrat berpikir dalam masyarakat. Selama masyarakat tidak merasa bahwa realita kehidupanya terkekang, hasrat tersebut tidak akan hadir. Namun bagi mereka yang berani berpikir, akan menemukan fakta bahwa realita di masyarakat didominasi oleh aturan-aturan yang merugikannya. Banyak sekali penyalahgunaan wewenang sampai manipulasi-manipulasi di balik hadirnya aturan-aturan yang sengaja dibuat untuk menjadikan ketidakadilan menjadi budaya yang dipahami sebagai keadilan. Maka, penting untuk bisa memicu hasrat berfantasi dan berpikir yang ideal. Masyarakat harus paham bahwa dirinya hadir ditengah-tengah kamar penjara yang di luar dari penjara tersebut banyak realitas-realitas yang lebih relevan sebagai dunia yang seharusnya ditinggali. Dan bagi mereka yang mengetahui hal ini harus berusaha menempa ide-idenya kebentuk yang mampu menggeser realitas palsu. Realita yang ideal harus berani dimimpikan dan diskenariokan kedalam perjuangan-perjuangan yang mampu mendorong hadirnya kehidupan yang lebih baik.
Sebagai catatan, hasrat sendiri hadir di tengah-tengah keterasingan jiwa manusia karena tidak tercapaianya harapan. Maka dari itu kita yang ingin memiliki hasrat berfikir, harus berani berharap lebih kepada ide-ide kita sendiri. Harapan-harapan baru harus diciptakan untuk dapat melihat kenyataan keterasingan pada realita semu yang hari ini menjadi penjara bagi kehidupan kita. Lalu beranikah kita berharap?
Belum ada tanggapan.