Pertukaran informasi lewat internet sekarang ini telah mencapai tahap yang bisa disebut luar biasa. Saking luar biasanya, banyak diantara kita yang lupa bahwa setiap informasi yang diakses dari internet tidak semua memberi garansi objektifitas yang dapat dipertanggung jawabkan. Belum lama ini saya membaca sebuah artikel dalam website yang memberi informasi tentang sejarah kopi di Indonesia. Yang patut disayangkan adalah setelah keseluruhan artikel yang berjudul “Asal-Usul dan Sejarah Kopi Di Indonesia” itu berhasil menyuguhkan informasi tentang sejarah kopi di Indonesia, paragraf terakhir artikel tersebut justru secara persuasif menggiring pembaca pada hal yang menurut saya mengecewakan.
“Sejarah kopi yang ada di Indonesia dari dulu sampai sekarang ini memang sangatlah panjang. Namun sebagai bangsa, Indonesia patut untuk berterimakasih kepada pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Hal ini dikarenakan jika saja Indonesia tidak dijajah Belanda, maka tanaman kopi mungkin saja tidak akan sampai di Indonesia dan Indonesia tidak akan menjadi pemasok terbesar kopi di seluruh dunia.”
Begitulah kira-kira yang tertulis di akhir artikel tersebut. Berterimakasih pada sebuah penjajahan! Tentunya, sebagaimana kita yang paham tentang sejarah kemerdekaan Indonesia akan menyayangkan tulisan di atas. Bangsa mana di dunia ini yang tidak mengutuk sebuah penjajahan? Apalagi untuk Indonesia yang kegandrungan akan jati dirinya sebagai bangsa yang memperoleh kemerdekaan lewat perjuangan heroik melawan sebuah penjajahan.
Yang harus digarisbawahi adalah bukan karena informasi yang disajikan dalam artikel tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik fakta maupun narasi yang disajikan. Tetapi sebagaimana kita tahu, bahwa sebuah tulisan nyatanya mampu membentuk asumsi pembacanya. Kekhawatiran yang hadir adalah tidak semua orang yang mengakses informasi dari internet memiliki kemampuan mengolah informasi dengan baik. Apalagi banyak pembaca di antara kita yang sedang dijangkiti demam “asal telan” informasi dari internet. Terutama kalangan anak muda kita yang sedang seru-serunya berlomba menghabiskan kuota paket datanya untuk berpetualang di dunia maya.
Hadirnya sebuah website memang menjadi penawar akan kebutuhan informasi bagi para pengunjungnya. Namun tak sedikit website yang hanya mencari keuntungan dari hadirnya “pasar informasi” ini. Sayangnya kegiatan jual-beli informasi ini seringkali mengesampingkan sisi edukatif bagi setiap subjek-subjek yang terkait dalam kegiatan ini. Memang masing-masing punya peran sekaligus kepentingannya sendiri, melihat banyaknya fenomena negatif yang sering terjadi di dunia maya akhir-akhir ini semakin memperlihatkan bahwa sisi edukatif dari aktivitas di dunia maya memiliki urgenitas yang tinggi. Tak dipungkiri jika apa yang terjadi di dunia maya saat ini sedikit-banyak memberi pengaruh di kehidupan nyata sekaligus berimbas kepada perilaku sosial generasi muda masyarakat kita yang saat ini dominan dipengaruhi oleh kegiatan di dunia maya. Mulai dari fakta sampai isu yang ramai dibicarakan di internet pada kenyataannya sebagian besar mempengaruhi ranah realitas kehidupan kita sehari-hari
Ada hal yang menggelitik benak saya ketika membaca artikel tentang sejarah kopi di indonesia tersebut. Pertama, terkait keprihatinan akan pengetahuan ke-Indonesian masyarakat kita yang terus menurun beberapa dekade belakangan ini. Justru hadirnya artikel tersebut (sekali lagi saya sebut) mengecewakan ketika banyak di antara kita yang paham bahwa kita sedang dalam masa kesimpang-siuran dalam mengingat kembali eksistensi kita sebagai sebuah bangsa. Pengetahuan ke-Indonesiaan masyarakat kita sedang melemah, bahkan banyak yang salah paham berkesimpulan tentang identitas kita sendiri sebagai negara-bangsa. Jangankan bicara tentang ketersedian informasi tentang sejarah yang menjelaskan siapa-kita-sebagai-Indonesia. Tingkat keingintahuan pada sejarah kita sendiri saja masih bisa dikatakan rendah dalam masyarakat. Tentunya tulisan seperti artikel tersebut akan menyumbang kesimpangsiuran pemahaman akan identitas kita sebagai sebuah negara yang seharusnya bangga dengan perjuangan meraih kemerdekaan.
Tidak sedikit tulisan sejenis yang mengesampingkan pertimbangan dalam memberi dampak pada terciptanya mindset yang positif dalam masyarakat. Banyak sekali website yang melihat kegiatan menyediakan informasi hanya dalam kaca mata sisi ekonomis saja, bukannya ikut serta memberikan hal yang bersifat edukatif. Bahkan banyak dari mereka yang sekedar copy-paste dalam mengisi konten. Seharusnya pertimbangan matang dampak yang mampu ditimbulkan dari tersajinya informasi dalam halaman mereka menjadi sebuah keharusan. Ini terkait kemampuan dari sebuah informasi dalam mempengaruhi pola pikir subjek yang mengaksesnya.
Yang kedua, lemahnya edukasi dalam pengolahan informasi di masyarakat kita. Masyarakat kita sedang ramai menggunakan internet sebagai andalan dalam mencukupi kebutuhan akan data dan info. Namun tak sedikit yang malas mengunyah data dan info yang bersumber dari internet, dan hanya menelannya mentah-mentah. Banyak pula yang dengan sengaja menggunakannya sebagai dali-dalil pembenaran argumen dalam kesehariannya tanpa mengerti benar apakah informasi tersebut dapat dijadikan pegangan atau tidak. Tentunya untuk mereka yang masih “polos” ini harusnya ada edukasi yang cukup demi membentengi masyarakat dari dampak negatif kegiatan mengakses iniformasi di dunia maya. Sebagai pihak penyedia, sebuah website seharusnya juga ikut bertanggung jawab ketika informasi yang disajikan ternyata mampu membawa dampak buruk pada mereka yang mengaksesnya.
Ketiga, kita tahu sebuah tulisan mampu membentuk sekaligus mengubah siapa yang membacanya. Jika ada pepatah yang mengatakan, “kamu adalah apa yang kamu makan.” Saya berpendapat pepatah tersebut juga berlaku pada kegiatan dalam mengkonsumsi informasi. Sebagai mana sebuah makanan, tulisan yang kita baca juga memberi porsi tertentu pada pembentukan jati diri kita. Cerminan karakter diri sedikit-banyak dipengaruhi dari banyaknya informasi yang ditelan kepala kita. Sebuah tulisan berbentuk artikel tidak hanya menyajikan data yang diolah menjadi sebuah informasi saja. Sebuah tulisan juga dimaksudkan untuk menggiring pandangan pembacanya. Tidak sedikit pergolakan di masyarakat dipengaruhi oleh hadirnya sebuah tulisan. Dalam artikel” Asal-Usul dan Sejarah Kopi Di Indonesia” yang saya baca tersebut nyatanya menyediakan informasi yang berpotensi mengganggu pola pikir pembacanya. Terutama konteks yang mengarahkan pembaca pada kesimpulan berterimakasih pada sebuah penjajahan, bukankah ini dapat menodai keberhasilan pendahulu kita dalam perjuangan mengusir penjajahan. Yang dikhawatirkan adalah, mereka yang awalnya hanya ingin mencukupi kebutuhannya mencari informasi terkait kopi justru ikut menelan kesimpulan salah yang persuasif dari tulisan tersebut. Karena hal tersebut disajikan bersamaan, terlebih bagian akhir tentang artikel tersebut cukup bersifat persuasif. Bukannya saya terlampau serius memandang hal ini, namun bukan tidak mungkin bahwa keisengan semacam ini akan mempengaruhi pola pikir mereka yang tidak memiliki gambaran yang tepat pada konteks penjajahan yang dipahami. Tidak sedikit di antara kita yang tidak mampu membayangkan bagaimana sebuah penjajahan seharusnya dipahami. Bisa jadi berterimakasih pada sebuah penjajahan menjadi sebuah bercadaan-yang-terlalu-serius.
Memang dalam proses pengolahan informasi, porsi kebijaksanaan lebih banyak diserahkan kepada mereka yang menerima informasi tersebut. Bukannya ingin membentuk asumsi yang membebani para penyedia layanan website dalam kegiatannya menyajikan informasi. Namun alangkah menyenangkannya jika ketersediaan informasi yang bisa diakses ternyata dibarengi oleh pertimbangan yang matang dalam proses pembuatannya. Bukankah kita akan sama-sama bahagia jika dampak positif lebih dominan ketimbang dampak buruknya. Ketika akhirnya halaman-halaman dari website tersebut diakses, ternyata juga membangun budaya yang positif dari kegiatan berrtukar informasi. Alhasil sebuah budaya jual-beli informasi di internet ke depannya akan ikut berperan dalam membangun pola pikir yang positif di masyarakat sehingga mampu menghadirkan realitas kehidupan di dunia nyata yang lebih baik.
Referensi:
Ibrahim, Idi Subandy. 2011. Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Alwib.net. “Asal-Usul dan Sejarah Kopi Di Indonesia”. Diakses pada 25 Agustus 2016. http://alwib.net/sejarah-kopi/
- Gadis Bianglala
- Bayangan Dalam Cermin
- Pengguna E-reader di Indonesia Didominasi Pria
Belum ada tanggapan.