Dalam sejarah dari negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, beberapa negara-negara ini mempunyai hubungan dengan Amerika Serikat pada masa Perang Dingin dan setelah Perang Dingin tersebut berakhir. Melalui tulisan ini, penulis akan mencoba untuk menjelaskan bagaimana peran dari Amerika Serikat dalam hubungannya dengan negara-negara di Asia Tenggara dan bagaimana hal tersebut kemudian membawa implikasi terhadap kondisi dari stabilitas kawasan ini.
Berakhirnya Perang Dunia I dan II serta runtuhnya empire Eropa memunculkan perubahan dimana dalam pidato Perdana Menteri Inggris pada tahun 1960 di Afrika Selatan yaitu Harold MacMillan yang menyebutkan wind of change dengan munculnya negara merdeka di Asia dan Afrika yang telah lama berada di bawah imperialisme Eropa. [1] Dengan keruntuhan Eropa sendiri, Amerika Serikat tampil sebagai hegemon utama yang kemudian berusaha untuk menyebarkan pengaruhnya: salah satunya adalah di Asia Tenggara. Penyebaran pengaruh ini kemudian melalui penyebaran ideologi liberal milik Amerika Serikat dimana pada masa Perang Dingin bersaing dengan ideologi komunisme milik Uni Soviet.
Persaingan ideologi tersebut kemudian menjadi penghubung bagaimana peran Amerika Serikat di negara-negara Asia Tenggara. Hal tersebut terlihat dimana “Southeast Asia was one of these points where communist pressure had to be contained”[2] yang kemudian dalam opini penulis menjadi pintu masuk bagi peran Amerika Serikat dalam hubungannya dengan negara-negara di Asia Tenggara. Dalam hubungannya kemudian dengan negara-negara di Asia Tenggara, Amerika Serikat sendiri yang merupakan aktor penting dalam keamanan dunia menyatakan pentingnya mutual security melalui hubungan bilateral ataupun multilateral untuk mencapai keamanan internasional.[3]
Kemudian, untuk mencapai keamanan tersebut, Amerika Serikat menjalin kerjasama terutama dibidang militer untuk menghapuskan pengaruh dari komunisme itu sendiri. Kerjasama yang dibangun Amerika Serikat di kawasan ini tidaklah mudah. Bisa kita ambil contoh dimana Indonesia yang pada saat itu pada masa kepemimpinan Soekarno menjalin hubungan baik dengan Uni Soviet yang merupakan arms supplier bagi Indonesia serta hubungan China dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Terlepas dari hal diatas, kembali dalam pembahasan pada masa Perang Dingin mengenai hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara di Asia Tenggara pada masa tersebut dimana pengaruh yang begitu kuatnya dari komunisme membuat Amerika Serikat dan aliansinya membentuk Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) pada tahun 1954. Anggotanya hanya dua negara Asia Tenggara yaitu Filipina dan Thailand serta anggota sisa yaitu Amerika Serikat, Britania Raya, Australia, Selandia Baru dan Perancis. SEATO sendiri tidak berisikan unsur militer namun terdapat muatan politik luar negeri Amerika Serikat dalam penghapusan pengaruh komunisme di Asia Tenggara.
Opini penulis, Amerika Serikat berusaha mengakomodasi negara-negara di Asia Tenggara yang merupakan negara-negara berkembang yang sedang membutuhkan arah dan tujuan dalam politik luar negerinya. Tidak hanya itu, Amerika Serikat melalui aliansinya membuat berbagai macam perjanjian contohnya adalah Anglo-Malay Defense Agreement (AMDA) pada 1957 antara Malaysia dengan Inggris, Selandia Baru dan Australia lalu pada 1971 terdapat Five Power Defense Agreement (FPDA) antara Malaysia, Singapura, Selandia Baru, Australia dan Inggris yang bertahan hingga Perang Dingin berakhir.
Setelah masa Perang Dingin berakhir, negara-negara di Asia Tenggara melihat bagaimana proses pemerintahan berjalan di negaranya dimana “the key pathway to order in Southeast Asia is balancing. The concept of balance of power used in Southeast Asia tends toward the common confusion between the power structure and policies or behavior designed to influence the structural outcome”[4] keadaan ini kemudian membawa pengaruh terhadap keterlibatan negara-negara yang mempunyai power yang besar di dunia dalam kawasan ini terutama Amerika Serikat.
Pasca Perang Dingin ini kemudian, bahwa kawasan Asia Tenggara ini lebih melihat terhadap soft balancing dimana pilihannya jatuh kepada pilihan untuk membentuk aliansi non-militer walaupun beberapa negara-negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Singapura dan Malaysia bisa membentuk strong military alliances terhadap Amerika Serikat.[5] Peran dari Amerika Serikat ini terlihat dari pembentukan multilateral organizations seperti United Nations dan North Atlantic Treaty Organization (NATO). Disini kemudian membandingkan dengan ASEAN Regional Forum (ARF) yang telah gagal untuk mengakomodasikan kemanan kooperatif di Asia Pasifik.[6]
Kemudian lebih lanjut lagi semenjak dunia digoncang dengan terorisme dalam kasus 11 September 2001 yang meruntuhkan gedung World Trade Center (WTC) Amerika Serikat menjadikan “U.S bilateral ties with specific Southeast Asian states are also emerging as part of Washington’s global anti-terrorism campaign and American military cooperation with the Philippines, Malaysia, Singapore and Thailand has grown significantly recent years.”[7] Hal ini kemudian terlihat bagaimana keinginan Amerika Serikat untuk membentuk hubungan dengan negara-negara di Asia Tenggara tersebut.
Hubungan Amerika Serikat dengan kawasan ini bukanlah hubungan Amerika Serikat dengan organisasi regional yang dimiliki oleh Asia Tenggara yaitu Association of Southeast Asia Nations (ASEAN). Hubungan Amerika Serikat ini adalah hubungan bilateralisme dimana Amerika Serikat menjalin hubungan dengan masing-masing negara di Asia Tenggara. Disinilah yang kemudian terlihat karasteristik dari bilateralisme tersebut dimana “exclusiveness has allowed the United States to maintain both ‘balancing’ and ‘bandwagoning’ strategies in the Asia-Pacific region.”[8] Inilah kemudian yang menyebabkan Amerika Serikat mempunyai kesempatan yang besar dalam menyebarkan pengaruhnya di negara-negara Asia Tenggara. Dalam opini penulis juga, kepentingan Amerika Serikat ini kemudian terlihat dalam adanya lima formal treaties bersama dengan aliansi Amerika Serikat yaitu Australia, Jepang, Filipina, Korea Selatan dan Thailand dalam konteks Asia Pasifik.[9]
Contoh lain dalam hubungan Amerika Serikat yang eklusif ini terlihat dalam pemberian kestabilan regional bagi Singapura dimana Amerika Serikat mengakomodasi Singapura untuk membangun kemakmuran regional dan mempromosikan pembangunan norma-norma demokrasi. Selain itu pula, Singapura juga termasuk dalam the San Francisco System dari Amerika Serikat tersebut. Selain Singapura, ada Thailand yang menjalin hubungan dengan Amerika Serikat dimana “Thailand benefited from its American alliance by enjoying ambiguous but relatively credible U.S extended deterrence guarantees that bought it time to overcome its insurgency problems apply a deft regional diplomacy geared toward institutionalism and participate in the Asian economic miracle of the late twentieth century.”[10]
Hubungan Amerika Serikat ini tidak hanya terlihat dalam bidang ekonomi adalah melalui hubungan yang telah dibangun oleh aliansi Amerika Serikat dengan negara di kawasan Asia Tenggara ini. Contohnya adalah hubungan Indonesia-Australia dalam hal disarmament dimana kemudian membuka jalan bagi arena ekonomi regional dengan Amerika Serikat sendiri dalam agenda kebijakan mereka. Pada tahun 2002 National Security Strategy menghubungkan Amerika Serikat untuk mendukung ASEAN, Asia-Pacific Economic Corporation (APEC) dan beberapa institusi regional lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Kesimpulan penulis, hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara di Asia Tenggara berlangsung dari masa Perang Dingin hingga pada waktu Perang Dingin berakhir. Keinginan Amerika Serikat untuk menyebarkan pengaruhnya di kawasan ini dapat dilihat secara keseluruhan dari akomodasi untuk keamanan serta hubungan ekonomi bagi negara-negara di kawasan ini. Hubungan Amerika Serikat tidak langsung dengan organisasi regional di kawasan ini yaitu ASEAN. Amerika Serikat membangun organisasi bersama aliansinya dan mengajak negara-negara di kawasan ini secara eklusif untuk bergabung seperti Singapura, Malaysia dan Filipina.
Opini penulis Hubungan Amerika Serikat setelah Perang Dingin juga terlihat dari extended bilateralism relationship dimana bahwa hubungan bilateralisme seperti yang sudah disebutkan diatas oleh Amerika Serikat tetap menjadi fokus utama dari peran Amerika Serikat di kawasan ini. Terlepas dari hal tersebut, kita harus melihat bahwa kestabilan dari kawasan Asia Tenggara merupakan hal yang penting. Kehadiran Amerika Serikat memang menjadi bantuan tersendiri, tetapi kemudian perlu adanya hubungan regional yang kuat antar negara-negara di Asia Tenggara untuk menjaga kawasan ini.
Daftar Pustaka:
Goh, Evelyn. 2008. Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia: Analyzing Regional Security Strategies dalam International Security Vol. 32, No. 3. The President and Fellows of Harvard College and the Massachusetts Institute of Technology, pp. 113-157
Khong, Yuen Foong. 2004. Rethinking Security in Asia dalam Coping with Strategy Uncertainty. Stanford University Press
Scott, Len. 2001. International History 1945-1990 dalam the Globalization of World Politics: an Introduction to International Relations by John Baylis and Steve Smith. Oxford Press: London
Tow, William. 2003. U.S Bilateral Security Alliances in the Asia-Pacific: Moving Beyond ‘Hub and Spokes’ paper presented to the Australasian Political Studies Association Conference, pp. 2-30
Weatherbee, Donald E. 2005. International Relations in Southeast Asia Lanham: Rowman & Littlefield Publisher Inc
[1] Len Scott. 2001. International History 1945-1990 dalam the Globalization of World Politics: an Introduction to International Relations by John Baylis and Steve Smith. Oxford Press: London
[2] Donald E. Weatherbee. 2005. International Relations in Southeast Asia Lanham: Rowman & Littlefield Publisher Inc
[3] William Tow. 2003. U.S Bilateral Security Alliances in the Asia-Pacific: Moving Beyond ‘Hub and Spokes’ paper presented to the Australasian Political Studies Association Conference, pp. 2-30
[4] Evelyn Goh. 2008. Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia: Analyzing Regional Security Strategies dalam International Security Vol. 32, No. 3. The President and Fellows of Harvard College and the Massachusetts Institute of Technology, pp. 113-157
[5] Yuen Foong Khong. 2004. Rethinking Security in Asia dalam Coping with Strategy Uncertainty. Stanford University Press
[6] William Tow. 2003. U.S Bilateral Security Alliances in the Asia-Pacific: Moving Beyond ‘Hub and Spokes’ paper presented to the Australasian Political Studies Association Conference, pp. 2-30
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Ibid.,
[10] Ibid.,
Belum ada tanggapan.