Konsumerisme didefinisikan sebagai paham atau gerakan yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan dan kesenangan. Secara sederhana, konsumerisme adalah sikap boros, membeli barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Konsumerisme bisa disebut sebagai sebuah tindakan rasional yang dibelokkan. Selalu ada alasan untuk membeli sesuatu. Dan, alasan itu bisa dirasionalkan. Namun, kalau jujur melihat, alasan rasional yang dibuat itu sejatinya tidaklah rasional.
Banyak survey menyebut kalau Indonesia adalah salah satu negara terkonsumtif di dunia. Anda boleh percaya atau tidak. Tapi secara kasat mata, kita dengan mudah menaruh percaya pada hasil survey itu. Lihatlah betapa menjamurnya toko yang menjual perangkat telepon pintar di pusat-pusat perbelanjaan dan bahkan di pinggiran jalan kota Jakarta. Banyaknya persediaan barang mengindikasikan perbandingan yang lurus dengan banyaknya permintaan.
Apa yang menyebabkan budaya konsumerisme ini menjamur di Indonesia? Padahal secara statistik, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terlalu baik. Indonesia masih masuk dalam kategori negara berkembang. Tegasnya, Indonesia adalah negara miskin. Tapi, kenyataan itu tidak menghilangkan fakta bahwa kita juga masyarakat konsumeris. Ini paradoks.
Pengertian Ideologi
Ada banyak kemungkinan yang bisa muncul jika ingin menilik dalang di balik budaya konsumerisme ini. Tulisan kali ini akan mencoba melihat kaitannya dengan ideologi. Alasan untuk melihat keterkaitan ini bermula dari pernyataan Louis Althusser dalam buku “Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara” (Indoprogress, 2015) yang menyebut bahwa ideologi bersifat memaksa (hlm.52). Althusser lebih jauh menjelaskan, di hadapan ideologi, manusia berubah jadi subjek yang melihat dengan “jelas” sesuatu yang tidak dikenalinya. Di hadapan ideologi, kata dia, subjek akan mudah berteriak, “Ya, itu benar!” pada sesuatu yang tidak diketahuinya.
Ideologi adalah sistem gagasan dan representasi yang mendominasi pikiran seseorang atau sebuah kelompok sosial. Ideologi bisa juga disebut sebagai sebuah kesepakatan bersama sekelompok masyarakat yang menjelaskan bagaimana mereka hidup bersama. Ideologi memang selalu berkaitan dengan praktek hidup, baik komunal atau individual.
Jika mengacu pada Althusser, kita simpulkan secara sederhana bahwa ada kaitan antara tindakan dalam keseharian dengan ideologi tertentu di belakangnya. Dalam hal ini, tindakan dan ideologi selalu bersifat deterministik.
Namun, relasi keduanya tidak sesederhana itu. Kita bisa membangun pertanyaan sederhana untuk mengurai persoalan dalam relasi antara ideologi dan tindakan (konsumerisme). Apakah ideologi tertentu yang menciptakan gaya hidup konsumerisme? Atau gaya hidup konsumerisme yang menciptakan ideologi?
Jawaban dari kedua jenis pertanyaan ini akan berdampak pada “penanggulangan” konsumerisme itu sendiri. Misalkan saja, kalau kita meyakini bahwa ideologi tertentu yang menyebabkan budaya konsumerisme, maka usaha untuk menanggulangi konsumerisme adalah memberantas habis ideologi itu. Sebaliknya, jika kita meyakini bahwa gaya hidup konsumerismelah yang menciptakan ideologi, maka usaha penanggulangan yang perlu kita lakukan adalah memperbaiki diri sendiri, menahan keinginan, nafsu, dan hasrat untuk membeli sesuatu. Sejujurnya, ada kesulitan tersendiri dalam menjawab pertanyaan ini.
Usaha pencarian kita pada pertanyaan ini juga akan dipersulit dengan kenyataan pada keanekaragaman ideologi itu sendiri. Sifat dari masing-masing ideologi berbeda. Cara kerjanya pun berlainan. Sehingga untuk melihat relasi antar keduanya ternyata tak semudah membalik telapak tangan.
Betulkah Kapitalisme Dalang Konsumerisme?
Baiklah kita melihat contoh dari dua ideologi yang bisa mewakili dua pertanyaan itu.
Dalam tradisi pemikiran Marxisme, dikenal istilah basis dan superstruktur. Untuk memudahkan memahami dua istilah ini, mari kita membayangkan sebuah rumah. Rumah memiliki dua bagian besar, pertama bagian yang tak terlihat karena tertanam di tanah sebagai dasar dari bangunan. Kedua, bagian yang terlihat seperti atap, tembok, jendela, pintu, dsb yang berdiri di atas dasar bangunan yang tak terlihat itu. Dasar pemikiran Marxisme dibangun seperti pemisalan itu. Bagian yang tak terlihat disebut sebagai basis dan bagian yang terlihat disebut sebagai superstruktur.
Superstruktur adalah sesuatu yang terlihat dalam kehidupan sesehari, seperti kebudayaan, gaya hidup, mode pakaian, media, dsb. Superstruktur pun meliputi berbagai hal abstrak semisal filsafat, ajaran agama, teori politik, dan juga ideologi. Dasar yang menopang superstruktur ini, yang disebut basis, dalam tradisi pemikiran Marxisme adalah kegiatan ekonomi-politik. Kegiatan ekonomi-politik yang dimaksud dalam hal ini adalah kapitalisme.
Kembali kepada konsumerisme, kapitalisme dituding sebagai alasan kenapa gaya hidup boros ini berkembang. Kapitalisme sebagai ideologi, dituduh sebagai alat untuk membujuk orang agar mau berbelanja. Alat bujuknya itu bernama iklan. Iklan dikemas sedemikian rupa agar apa yang tidak perlu menjadi perlu. Iklan memainkan perannya agar keinginan berubah menjadi kebutuhan. Manipulasi kebutuhan ini perlu agar kepentingan kapitalisme dalam mengumpulkan laba bisa tercapai. Tanpa jumlah pembelian yang besar, maka laba sebagai tujuan akhir dari sistem kapitalisme tidak bisa terwujud.
Disisi lainnya, oposisi dari pandangan ini muncul dari kelompok agama. Jika mengikuti definisi ideologi yang sebelumnya, maka agama pun bisa dipandang sebagai sebuah ideologi. Hampir semua agama di dunia mengajarkan apa yang disebut menahan nafsu dan mengendalikan diri. Artinya, apa pun yang terjadi di luar, selama pengendalian diri ada, maka tiada sesuatu yang terjadi tanpa seizin diri sendiri.
Apakah iklan begitu menggoda pada pandangan pertama? Tidak jadi soal, asal diri sendiri cukup kuat menahan diri. Iklan yang genit tidak akan bisa menarik karena pikiran sudah dewasa untuk memilah mana kebutuhan dan keinginan. Tidak peduli ideologi apa yang sedang bekerja di luar sana, pengendalian diri adalah segalanya.
Ternyata ada kesulitan tersendiri dalam melacak relasi antara ideologi dan gaya hidup konsumeris. Ada banyak faktor yang berkelindan di dalamnya, mulai dari yang kasat mata sampai pada abstraksi filosofis, yang kadang membuat kening berkerut tebal. Karena kompleksnya persoalan ini, mungkin saja tidak ada penjelasan yang universal untuk melihat relasi antara ideologi dan konsumerisme.
Lalu Bagaimana?
Satu-satunya cara untuk melihat korelasi antara ideologi dan konsumerisme adalah dengan melakukan investigasi sosial. Masyarakat harus dipetakan dalam kelas-kelas tertentu. Ragam kategori perlu dibangun. Hanya dengan cara inilah relasi keduanya bisa dilihat. Biar bagaimana pun, teori hanya bisa dibuktikan oleh kenyataan.
Namun, apa pun argumentasi yang muncul, selama agama dilihat sebagai bagian dari sebuah ideologi, maka memang ada kaitan antara ideologi dan konsumerisme. Setidaknya, pilihan bisa dipecah menjadi dua . Pertama, ideologi bisa meningkatkan gaya hidup boros, seperti yang diusung oleh ideologi kapitalisme. Atau pilihan yang lain, bahwa ideologi bisa menekan gaya hidup yang konsumeris, seperti yang diajarkan oleh agama.
Belum ada tanggapan.