Boneka-boneka mirip manusia itu hidup. Di jalanan, kantor-kantor, rumah-rumah, maupun di diskotik-diskotik. Mereka bekerja, bersenang-senang, dan bercinta seperti layaknya manusia. Mereka pun tidak bisa mati. Ketika tertembak, terluka karena kecelakaan, bahkan terkena ledakan, mereka hanya mengalami kerusakan atau kematian sementara. Sebab, masih ada pengganti-pengganti mereka yang sama persis bila boneka-boneka manusia itu telah “mati”.
Inilah, kehidupan modern. Kehidupan yang dialami oleh Tom dan teman-teman lainnya. Anehnya, Tom, bersama teman-temannya itu telah menikmati keberadaan boneka-boneka manusia itu. Keanehan itu disebabkan mereka yang mengendalikan boneka-boneka itu. Tepatnya, dalam menjalani kehidupan di realitas duniawi yang semakin sibuk dan modern, mereka lebih memercayakan pada boneka-boneka itu. Jadi, ini mengindikasikan bahwa manusia dalam wujud asli lebih asyik melakukan percakapan-percakapan dan persentuhan dengan masyarakat di dunia maya.
Keberadaan manusia yang sebenarnya bukan dilakukan oleh manusia asli juga menandakan ketakutan-ketakutan mereka terhadap realitas sosial. Ketakutan akan mati, ketakutan tubuh yang tak bisa apa-apa alias mulai menua, dan ketakutan pada tubuh aslinya yang bisa cacat/ terluka bila ada dalam kehidupan nyata. Keberadaan Tom dan masyarakatnya itu adalah keberadaan yang tersuguhkan di film berjudul Surrogate.
Film yang diracik dengan efek gerak-visualisasi yang modern ini bisa menjadi ramalan untuk masa depan atau representasi di masa kini. Kita bisa melihat di keseharian kini, ada gejala-gejala yang hampir sama dengan film tersebut. Produk-produk budaya modern telah terjelma dan mengelilingi di sekitar kita. Mereka menyapa dan kita pun mulai menggamit serta mengakrabinya. Bahkan, tanpa produk-produk modern itu, seolah-olah kita telah merasa kehilangan, rugi, dan tak bisa melakukan aktivitas sehari-hari dengan lancar dan tepat.
Produk-produk terjelma dengan nama-nama yang tak asing bagi kita, seperti handphone, televisi, VCD, internet, dan masih banyak lagi. Kegandrungan mereka dengan hasil teknologi modern semakin menjadi-jadi, ketika—meminjam bahasa Yasraf Amir Piliang—dunia ini telah terlipat dalam produk berukuran kecil, seperti laptop dan modem. Maka, seperti yang diungkap oleh Yasraf Amir Piliang (2011) lagi, fenomena itulah yang disebut dromologi budaya. Artinya, kebudayaan yang dibangun oleh dan dikuasai oleh prinsip kecepatan dan percepatan.
Sisi lain, produk-produk budaya modern bukan menjadi salah satu penyebab dasar dari kegamangan dan keeksistensian yang dihadapi manusia sekarang. Dunia yang luas dan beragam ini ada yang mengatur dan ada yang menyalurkan. Itu pun lewat jalur-jalur yang tak bisa kita pandang teratur. Dunia ini layaknya yang mengendalikan oleh “sang pencipta” sekaligus yang menguasai.
Jadi, bila kita melenting kembali lewat film ‘Surrogate’, maka ada satu orang yang berada di balik layar itu semua, yakni Dr. Canter. Dia menjadi pencipta dan menjadi gurita yang tentakel-tentakelnya telah melekat pada orang-orang yang berkecimpung di berbagai ranah, seperti politik, ekonomi, sosial, dan hukum. Orang-orang yang bersama dan memiliki produk modern dari si penciptanya, justru menimbulkan dan menciptakan nalar-nalar tertentu. Nalar itu, tak lain adalah kapitalisme, imperialisme,dan materialisme yang terbingkai dalam modernitas.
Paham-paham seperti inilah, yang kemudian menjadikan diri mereka di kehidupan ini semakin serba semrawut dan kalang kabut. Peperangan, konflik politik, agama, dan budaya terjadi. Kolusi, korupsi, dan nepotisme mulai bertumbuh-kembang. Imajinasi yang tercipta, imajinasi yang menjelma teknologi itu telah menjadi sumbu utama dari segala-galanya yang menimbulkan derita, keluh-kesah, dan krisis bagi makhluk hidup, khususnya manusia. Keadaan ini yang dulunya pernah ditegaskan dan menjadi prediksi E.F. Scumacher (1983) lewat esainya berjudul ‘Teknologi yang Berwajah Kemanusiaan’.
Dari kejadian-kejadian tersebut, Dr. Canter, si pencipta sekaligus yang menguasai telah sadar. Kesadaran ini bertambah kuat, ketika si anaknya mati juga dikarenakan oleh teknologi yang dibuatnya itu. Rasa bersalah pun semakin menggerogoti jiwa dan raga yang sudah tua. Maka, untuk menebus kesalahan yang sebenarnya ia perbuat, Dr. Canter berencana mengakhiri kehidupan boneka-boneka berwajah manusia itu dengan tangannya sendiri.
Akhirnya, rencana itu berhasil karena berkat dari tangan Tom juga, yang pada awalnya melarang dan masih gamang terhadap ide dari Dr. Canter untuk menghancurkan boneka-boneka manusia. Kelumpuhan total pun terjadi. Boneka-boneka mati dan tak berfungsi. Lalu, manusia-manusia asli berhamburan keluar dari balik layar menuju ke ruang nyata. Mereka bingung dan terpana dengan kejadian sekitar….
Belum ada tanggapan.