Saya akhirnya membaca kembali cerita Kawabata Yasunari tentang Penari Izu untuk mencari sensasi dari ‘irama dan nada’. Cerita itu tentang seorang pemuda anak sekolahan yang sedang berlibur, lalu karena mengikuti dorongan hatinya dia mengikuti serombongan anak wayang dari Izu. Dia tertarik pada salah satu dari kelompok itu, yaitu seorang penari muda. Cerita itu sangat sederhana, tetapi sangat indah di tangan Kawabata.
Berbicara tentang irama dan nada, seperti lagu yang membosankan adalah lagu yang monoton, maka cerita fiksi juga akan monoton jika irama dan nada tidak tercipta dengan baik.
Irama.
Tentang irama, Saya pernah mendengar orang berkata irama tulisan itu mirip seorang penjelajah yang berjalan kaki; kadang berjalan lambat ketika harus mendaki, mempercepat langkahnya di dataran, sedikit berhati-hati ketika sedang terjal, lalu pada waktu-waktu tertentu istirahat sejenak untuk melepas lelah dan melihat-lihat pemandangan sekitar. Irama bisa terbentuk dari narasi, susunan diksi yang tepat, panjang-pendeknya kalimat, dialog serta deskripsi.
Narasi adalah sebuah kombinasi antara irama cepat dan lambat, atau cepat keseluruhan juga lambat keseluruhan tergantung dari pemakaian kata dan kalimat. Narasi akan menjenuhkan jika tidak terdapat kombinasi dari kedua jenis irama tersebut. Diksi atau kalimat yang panjang dengan banyak koma adalah irama cerita yang panjang di mana pembaca perlu menarik napas atau menahan napas selama mungkin; sehingga dikatakan bahwa cerita sedang melambat. Sedangkan diksi yang pendek adalah irama yang pendek, di mana satu tarikan napas saja dapat menyelesaikan dua kalimat sekaligus; maka disebut cerita sedang dipercepat.
Dari bagian awal-awal cerita Penari Izu, saya mengutip narasi berikut;
[Hari itu adalah hari yang keempat aku berjalan seorang diri di daerah Izu. Malam pertama aku menginap di pemandian air panas Shuzenji, dua malam berikutnya di pemandian air panas Yugashima dan sekarang menempuh jalan naik menuju ke Amagi dengan memakai geta yang tinggi. Sambil menikmati pemandangan musim gugur di pegunungan dan lembah serta jurang yang dalam, aku berjalan bergegas, dengan hati berdebar karena adanya semacam harapan. Sementara itu butir-butir hujan yang besar-besar mulai berjatuhan menimpa tubuhku. Aku berlari-lari mendaki jalan yang curam dan berliku-liku. Dengan susah payah akhirnya aku tiba di sebuah warung teh yang terletak di sebelah utara puncak Amagi.]
Irama mengandung kuat-lemahnya bagian-bagian dari cerita fiksi. Fragmen cerita yang panjang memiliki irama yang panjang, yeng pendek mempunyai irama pendek. Cepat lambatnya irama cerita harus diatur dan penulis harus menyadarinya serta memiliki alasan yang jelas kenapa pada bagian tertentu dia harus mempercepat irama kenapa di bagian lain dia malah memperlambatnya.
Saya tidak tahu dalam situasi apa Kawabata menulis cerita ini, tetapi ketika saya membacanya cerita seakan menjadi pengalaman pribadi saya. Dia menuliskan ketika dia mencapai puncak Amagi, dia menemukan sebuah warung teh, dan ketika dia pergi ke sana untuk berteduh, dia tertegun karena harapannya benar-benar terwujud; di sana ada anak-anak wayang dengan penari itu.
[Seorang penari wanita yang melihatku tertegun segera bangkit dan menarik zabuton yang dipakainya, kemudian membalikkannya dan menaruhnya di sampingku. “O,” kataku dan aku duduk di atas zabuton itu. Setelah berlari-lari menempuh jalan yang mendaki aku masih terengah-engah dan begitu terperanjat sehingga ucapan terima kasihku tercekat di kerongkongan. Karena tepat benar berhadapan dengan penari itu, aku gugup mengambil rokok dan tamoto kimonoku. Penari itu segera mengambil tempat abu rokok dari depan seorang wanita kawannya, lalu meletakkannya di dekatku. Aku diam saja.] Pada bagian ini irama menjadi cepat, sangat sesuai dengan keadaan di mana seseorang yang baru saja mencapai puncak bukit dan napasnya terengah-engah.
Lalu mengenai deskripsi; jika dalam sebuah lagu ada angka 0 yang berarti ‘tanda diam’ maka dalam fiksi, deskripsi melakukan tugas yang sama. Deskripsi akan membuat cerita diam atau hanya bergerak di tempat.
[Penari itu kukira berumur tujuh belas tahun. Rambutnya dirandam besar-besar secara model lama yang aneh bentuknya, sehingga aku pun tidak mengenal nama andaman itu. Andaman rambut itu membuat wajahnya yang berbentuk telur yang anggun itu nampak kecil tetapi menimbulkan keseimbangan yang indah. Ia nampak bagaikan lukisan gadis dalam roman sejarah yang rambutnya dengan sengaja digambar lebih besar. Kawan-kawan anggota rombongannya terdiri atas seorang perempuan yang berumur empat puluhan, dua orang perempuan muda, dan seorang laki-laki yang kira-kira berusia dua puluh lima atau dua puluh enam yang memakai hanten yang bertuliskan nama rumah penginapan di tempat pemandian air panas Nagaoka.] ini adalah deskripsi yang mana sebuah jeda, tanda ‘0’ pada sebuah lagu. Menyisipkan deskripsi seperti ini, sama halnya membuat si pendaki berhenti sejenak, mengatur napas dan melepas lelahnya.
Nada.
Nada buka alur juga bukan plot cerita. Itu adalah kombinasi dari beberapa unsur, kalau dalam lagu kombinasi dari beberapa bunyi, yang kemudian menghasilkan sebuah harmoni.
Sebagai contoh dalam Penari Izu, Kawabata seakan-akan membuka tulisan itu dengan sangat lembut bak bunyi piano pada sebuah lagu;
[Ketika kukira jalan berliku-liku mendaki yang kutempuh itu mendekati puncak Amagi, hujan pun turun renyai, membuat hutan sugi nampak putih meruap naik dari kaki gunung mengejarku dari belakang.]
Saya tidak tahu persis bagaimana menggambarkan tentang ‘nada’ dalam cerita; tetapi bayangkan sebuah lagu yang paling kalian suka, nadanya bagaimana. Saya kutip saja salah satu fragmen cerita penari Izu yang menurut saya mengandung nada yang indah berikut ini.
[Dari dalam tempat mandi yang agak gelap tiba-tiba seorang wanita keluar lari bertelanjang dan berdiri di tempat membuka pakaian seakan-akan mau terjun ke tepi sungai dan berteriak-teriak sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Ia telanjang bulat. Handuk pun tidak dipakainya. Itulah si penari. Waktu aku memandang tubuhnya yang telanjang yang putih dengan kaki yang ruasnya panjang seperti pohon kiri, aku merasa dalam hatiku mengalir mata air yang jernih, dan menghembuskan napas panjang dan tertawa lembut. Ternyata ia masih anak-anak. Begitu masih anak-anak, sehingga berani melompat ke luar ke sinar matahari dan berdiri atas ujung kaki memanjangkan tubuhnya karena gembira melihat kami. Karena aku segar dan gembira, aku terus tertawa lembut. Otakku menjadi jernih. Aku terus tersenyum…]
Demikian, perhatikan nada dan irama jangan sampai tulisan menjadi fals.
Sangat menginspirasi.. Bisa jadi urusan penting pas nanti mengedit draft.. 🙂
@ryan Andy
terima kasih sudah berkunjung