oleh: Gerro Mario
Sebenarnya saya hendak menulis demikian, “kita ini pelanggan bahasa yang suka tak karuan. Di depan kedai kopi kita singgah belikan titipan. Sebenarnya yang hendak di pesan cangkir dengan isi kopi, ee malah yang nongol cangkir dengan isi ‘bahasa’. saya malah bingung, dan pembaca sekalian juga ikut bingung (paling tidak kita semua cukup bingung denga catatan yang saya bagikan malam ini).
Bahasa memang suka uring-uringan. Kadang di saat kepepet lompat tak bersebab ke karungan ikan tongkol. Dari tempatnya saja kadang kita bosan dengan bau amis yang ia bawa-bawa, tetapi bagi saya ini yang namanya rejeki. Bayangkan saja jika di tempat yang kita sebut amis ia tak ingin menampakan keasliannya, kapan para pedagang ika kering kita bisa hidup buat pembiayaan anak cucu mereka??? Naaahh, saya dapat benar bukan dalam soal yang satu ini. Kalian memang jagoan, tapi saya bisa menjadi ‘jago-jagoaan’ di atas kalian pada persoalan ini. Namanya juga ahli waris bahasa (PPRAAttttt).
Bagi saya bahasa itu kejujuran dan keikhlasan. Di mana-mana bahasa selalu tampil apa adanya. Memang jarang saya melihat ada yang menggunakan dasi atau apalah yang sejenisnya yang melambangkan kewibawaan. Tapi bukan berarti tidak dapat tampil elegan. Kalau persoalannya elegan saya bisa menjamin. Coba mampir sebentar ke sana. Saya yakin akan banyak yang memesannya karena penampilan. Dan justru itu, saya menganjurkan supaya sekalian anda tidak cepat-cepat terpagut, soalnya ada bahasa yang bisa berBISA. Dan justru yang lebih memprihatinkan, ada soal orang-orang sekarang banyak yang berlaku seolah-olah jadi pemikik tunggal bahasa yang telah lama mengakar rumput. Bayangkan saja, bukannya kita dapat membelinya beberapa cangkir di depan kedai kopi terdekat??? Yaa, kalau soalnya….
Ilustrasi: google
Belum ada tanggapan.