Maraknya kabar tentang kekerasan di sekolah akhir-akhir ini membuat kita prihatin. Setelah pak guru Samhudi yang dilaporkan dan divonis dengan hukuman pidana karena menghukum muridnya dengan cubitan. Kini muncul lagi kasus baru yakni ditetapkannya Adnan Achmad dan anaknya berinisial MAS sebagai tersangka. Keduanya mengeroyok guru Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Makassar, Dasrul, 52 tahun, di sekolah. Alasan pengeroyokan itu sangat sederhana. Adnan tidak terima anaknya dimarahi dan dipukul oleh guru di depan kelas.
Apapun dalihnya, kekerasan di dalam pendidikan tidak bisa ditolerir. Pendidikan sejatinya memang tida identik dengan kekerasan. Pendidikan lebih lekat dengan kasih sayang, perhatian, cinta kasih dan kepedulian. Terlebih ketika melihat tujuan pendidikan taman siswa, yakni tercapainya perdamaian dan cinta kasih.
Tugas pendidikan memang cukup berat, yakni mengantarkan anak kepada jiwa yang mandiri, dan juga jiwa yang terdidik. Sehingga mereka mampu mengatasi masalah-masalah dan problema mereka dalam kehidupan. Tetapi, tugas yang berat itu tak bisa dijadikan alasan bahwa pendidikan mengesahkan kekerasan di dalamnya.
Kita cukup bisa memahami, mengapa pendidikan di masa lampau lebih terkesan seram, galak, dan keras. Pada satu sisi, di masa lampau kita ikut terbentuk oleh pola kekerasan yang dilakukan oleh penjajah. Hingga hukuman yang berbau fisik, tampak wajar dan ditolerir selama tak menghilangkan nyawa seperti yang dilakukan oleh para penjajah kita.
Faktor lain adalah karena di masa itu, fasilitas tergolong cukup sederhana, alat tulis, meja-kursi dan fasilitas cenderung tak lengkap. Pendidikan lebih mengandalkan pada audio semata, alias suara gurunya. Bila suara gurunya tak diperhatikan maka gurupun marah kepada murid-muridnya. Sehingga hukuman fisik jadi pilihan di masa itu.
Bila menilik sejarah pendidikan kita di masa paska kemerdekaan, ada nuansa dan semangat pendidikan kita untuk membentuk karakter bangsa. Selain mentalitas yang tahan banting, dan mampu bersaing, kita dibentuk untuk menjadi manusia unggul yang diharapkan mampu meneruskan cita-cita revolusi kemerdekaan.
Pendidikan pun sedang gencar-gencarnya, bukan hanya dengan pidato dan berbagai upaya pemerintah dengan berbagai program salah satunya pemberantasan buta huruf. Selain itu, pemerintah juga menggelorakan penerbitan buku dari pemerintah. Tak heran kita menemukan tak hanya komik, tetapi juga proyek buku bacaan anak berbau revolusi sampai di sekolah-sekolah kita.
Di masa itu, muncul pula buku cerita rakyat, sejarah, politik, ekonomi dan budaya yang menggelorakan visi dan misi revolusi Indonesia. Cerita berbau perjuangan, cerita dan semangat revolusi, sampai pidato presiden pun banyak dibukukan.
Pelan-pelan, sejarah pun berganti. Di rezim Orde Baru, kita masih mendapati tangan panjang negara dalam mengurusi masa depan pendidikan melalui buku. Berbagai penerbitan buku bacaan anak pun semakin diperbanyak. Ada tiga tema menonjol, desukarnoisasi, anti-komunis, dan pancasila.
Di tahun (1969), misalnya pemerintah membentuk proyek buku paket yang menyediakan buku pelajaran bermutu untuk sekolah dan madrasah. Proyek itu didanai oleh Bank Dunia, Canadian International Development Agency (CIDA), dan berlaku dari 1973- 1981. Proyek itu bisa kita lihat melalui penerbitan puisi, cerita rakyat, novel pendek, sampai dengan buku bacaan anak dan remaja yang mampir di sekolah-sekolah kita.
Maklum Soeharto ingin warga negaranya bukan hanya sopan, tetapi juga memiliki kesantunan yang berpancasilais. Guru-guru pun banyak yang ikut serta menyumbangkan dan mengarang buku dalam sayembara penulisan buku cerita anak dan buku bergenre remaja. Maka guru-guru di masa itu yang cukup cerdas bukan hanya untung lumayan kebanjiran proyek penulisan buku, tetapi juga turut serta dalam upaya membangun Indonesia yang berkarakter pancasilais. Di masa Soeharto itu pula, kita masih banyak mengenali buku-buku sastra terbitan Balai Pustaka baik puisi, cerita rakyat, cerpen, sampai novel pendek. Muncul pula buku-buku yang bermuatan ideologis seperti ideology pendidikan sopan santun.
Yang paling kentara muncul pula buku-buku puisi yang menampilkan sosok-sosok pahlawan bangsa seperti Soekarno, Hatta, dan tokoh-tokoh lain yang dikemas dalam bentuk puisi. Muncul pula serial buku tokoh-tokoh bangsa sampai tokoh-tokoh di negeri kita. Mereka ditampilkan sebagai sosok teladan yang mengisi jiwa anak-anak kita.
Banyak pula dijumpai buku yang berisi penghormatan terhadap sosok guru. Melalui puisi, melalui cerita, dan juga novel yang menampilkan guru sebagai sosok mulia. Hingga muncullah istilah guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Tak bisa dipungkiri, di masa Soeharto, sosok guru, ulama, kiai, adalah tokoh-tokoh yang terhormat dan terpandang. Mereka ditampilkan sebagai sosok yang minim kesalahan, berani kepada mereka adalah larangan. Hingga pada masa itu, kita amat jarang melihat ada seorang murid berani sama gurunya. Selain bicara sopan terhadap guru, hampir murid-murid kita di masa itu, merasa segan dan sopan dengan guru mereka.
Guru-guru pun di masa lampau selain dikenal garang dan keras, mereka adalah guru-guru yang cerdas sehingga begitu terpandang di masyarakat maupun di sekolah. Sehingga hubungan guru dan murid memang ada jarak dan tampak perbedaan nyata antara guru dan murid.
Kini, pelan-pelan proyek pengadaan bacaan anak makin lama makin sepi. Selain minimnya dana di kemendikbud, sekolah sendiri merasa tak berkepentingan terhadap bacaan. Bahkan perpustakaan pun cenderung dibiarkan begitu saja tak diurus dengan baik.
Bila guru-guru di masa lalu tak kesulitan mendapati cerita, buku, media pelajaran dengan buku bacaan di sekolah, kini guru-guru sekarang sangat susah menggunakan media buku bacaan anak di masa lampau. Selain kurikulumnya yang sudah berbeda, mereka merasa lebih praktis menggunakan buku pegangan guru semata. Padahal, di cerita dan buku bacaan anak di masa lampau banyak mengandung nilai moralitas, etik dan kultural yang ada di dalamnya.
Guru sekarang pun merasa hukuman sebagai solusi akan masalah yang ada di kelas. Mereka tak merasa bahwa siswa memerlukan pendekatan psikologis yang bisa menyentuh jiwa mereka.
Kita tak bisa menafikkan pengaruh bacaan anak di masa itu ikut membentuk mentalitas anak yang sopan, hormat, dan segan terhadap guru. Kini, di saat kekerasan di sekolah semakin subur, kita seperti kehilangan akal untuk mencari solusi agar anak-anak kita menjadi hormat dan patuh terhadap guru mereka.
Istirahat di sekolah-sekolah kita sekarang memang lebih akrab dengan obrolan di kantin. Siswa kita lebih banyak menghabiskan waktu luang mereka dengan gosip tentang film terbaru, tempat rekreasi terbaru, sampai dengan tempat jajan paling asyik. Mereka sudah melupakan ada bacaan yang bisa membuat mereka senang, girang dan membuat jiwa mereka tak kosong bersama buku-buku.
Maka ketika kehendak dan kemauan mereka untuk bersenang-senang dibelenggu dengan pelajaran dan tugas, mereka pun lebih berani menentang dan melawan. Mereka merasa tak ada lagi panutan, teladan dan rasa bangga kepada guru mereka.
Kita pun jadi mahfum, bahwa kesadaran akan bacaan buku-buku turut serta membentuk karakter anak-anak didik kita. Bila guru dan siswa semakin jauh dari buku-buku, maka tak heran, kasus kekerasan menjadi fenomena yang menjadi puncaknya. Guru dan murid pun sama-sama keras, tak bisa menahan emosionalitas mereka. Keduanya tak sadar, bahwa kelak arogansi, kekerasan, sampai pada ketidaharmonisan hubungan mereka bisa dihilangkan dengan membaca buku.
Peran buku di pendidikan kita saat ini memang cenderung tak nampak, meski kita tahu ada upaya penumbuhan gerakan literasi yang diinisiasi kembali oleh Kemendikbud, meski efeknya belum terasa. Kita berharap kelak melalui bacaan dan buku-buku yang dibaca oleh guru dan murid-murid, mereka menjadi orang yang semakin santun, yang tak menggunakan lagi kekerasan sebagai solusi dalam belajar dan mendidik anak didik mereka.
*)Tuan rumah pondok filsafat solo
Belum ada tanggapan.