Secara de facto, 17 Agustus 1945 merupakan momen membanggakan bagi bangsa Indonesia berupa proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno dan Hatta. Indonesia terlepas dari kungkungan penjajahan asing. Bebas menjadi sebuah negara otonom. Sudah barang tentu apresiasi setinggi-tingginya dialamatkan kepada para pendahulu bangsa. Yang telah berjuang dengan jiwa dan raga untuk merebut kemerdekaan itu.
Kini, Indonesia telah melangkah jauh dan berusia tujuh puluh satu tahun. Sebuah usia yang tak lagi muda. Usia yang barangkali telah memberikan banyak kematangan untuk sebuah bangsa dan negara. Apalagi sekarang berada pada era reformasi yang lebih terbuka sehingga memberikan banyak kesempatan bagi anak bangsa untuk berpikir dan berefleksi, tentang situasi dan kondisi bangsa. Juga tentang masalah dan hal-hal apa saja yang berkaitan dengan keIndonesiaan itu sendiri.
Tentunya, esensi kemerdekaan sekarang ini adalah sebuah declaration of independence dari pelbagai sekat yang menyumpal pelbagai aspek kehidupan. Bukan lagi dari keterjajahan bangsa asing. Bukan pula suatu kemerdekaan dalam artian politik semata. Tentang ini, Ignas Kleden dalam esainya “Pendidikan untuk Merdeka” mengajukan sebuah pertanyaan reflektif. Apakah terlepasnya Indonesia dari penjajahan asing menghasilkan kebebasan yang lebih leluasa dalam jiwa dan pikiran yang lebih terbuka dalam berhadapan dengan kesulitan sehari-hari? Barangkali ini ajuan besar yang mengundang jawaban yang tak sekali jadi. Butuh refleksi holistik ataupun sejumput argumen kritis. Sebab, bangsa ini bangsa besar. Persoalan-persoalannya pun berseliweran tak terkira.
Pada pranala lain, pandangan Amartya Kumar Sen tentang kebebasan mungkin bisa menjadi tolok ukur. Bagi filosof India ini, salah satu indikator kebebasan ialah soal pengaktualisasian diri. Suatu kecakapan untuk merealisasikan diri secara penuh dan utuh. Sebuah kapabilitas. Di sini, eksistensi manusia sekiranya bisa memberikan sumbangsih positif kepada manusia lainnya untuk mewujudkan diri. Manusia tidak menjadi tukang kekang. Atau lebih ekstrem tidak menjadi penindas bagi sesamanya.
Reformasi sebenarnya punya kiblat baik untuk mencanangkan matra kebebasan itu. Namun, barangkali itu hanyalah sebuah idealisasi ataupun sekadar tajuk yang tak punya juntrung. Toh, wajah realitas masih menyuguhkan kemirisan-kemirisan yang menampar telak semua anak bangsa. Terutama para elit politik dan pemerintahan yang barangkali lebih suka duduk nyaman di menara gading kekuasaannya.
Lantas, jika titik pijaknya adalah momen ulang tahun bangsa yang ketujuh puluh satu ini, seyogianya refleksi atas berbagai persoalan bobrok tak perlu ditarik ulur jauh-jauh. Beberapa kasus intoleransi belakangan ini adalah contoh tak terperi yang mencerobongi semangat kemerdekaan. Misalnya, di Yogyakarta baru-baru ini (15/07), rencana aksi damai mahasiswa Papua dan aktivis pro-demokrasi yang mendukung Persatuan Pergerakan Pembebasan untuk Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dibubarkan oleh ratusan personel aparat kepolisian dan beberapa organisasi masyarakat. Padahal, kegiatan aksi damai sebenarnya merupakan wujud dari demokrasi itu sendiri. Atau, kerusuhan di Tanjung Balai, Sumatera Utara (29/07) berupa pembakaran wihara dan kelenteng juga menunjukkan dangkalnya perilaku sebagian anak bangsa ini.
Dua contoh kekinian tersebut merepresentasikan seabrek distorsi sosial lainnya. Menilik catatan The Wahid Institute, setidaknya terdapat 190 kasus sepanjang tahun 2015 soal pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ini belum lagi kasus pelarangan model kebebasan berekspresi lainnya, misalnya dalam kegiatan seni dan kebudayaan. Fatalnya, pencideraan ini tak hanya datang dari segelintir orang yang berpikiran sempit, semisal ormas-ormas fundamentalistis, tetapi juga dari diri aparatur negara itu sendiri. Sehingga yang ditakutkan ialah jangan sampai perilaku mengekang kebebasan itu merupakan sesuatu yang struktural, masif, dan sistemis. Dan, kaum ‘liyan’ pun akan tetap semakin tersingkirkan oleh hegemoni pihak tertentu.
Maka, yang dibutuhkan sekarang adalah kesadaran kolektif atas makna kemerdekaan itu sendiri. Dalam konteks ini, kemerdekaan yang berkaitan dengan kebebasan diri manusianya. Barangkali pemahaman paling sederhana dari kemerdekaan individu ini ialah soal bagaimana orang menjadi dirinya sendiri, mengembangkan diri secara utuh tanpa intervensi dari pihak lain, merasa aman dan nyaman dalam melakukan sesuatu, dan mendapat jaminan dan respek atas semuanya itu. Tentu saja ini merupakan titik pijak paling dasariah bagi langgam-langgam kebebasan lainnya.
Akhirul kalam, selamat memaknai momen kemerdekaan Indonesia yang ketujuh puluh satu ini. Kemerdekaan adalah suatu proses yang terus-menerus bergulir. Sebuah refleksi yang panjang dan mungkin takkan pernah berhenti. Tapi, lebih dalam daripada itu, memerdekakan isi kepala terlebih dahulu adalah sebuah keniscayaan bagi kerja-kerja lanjutan termaktub.
Belum ada tanggapan.