Membaca adalah jendela dunia. Sama seperti jendela, membaca bisa memperluas wawasan, cakrawala berpikir, dan pengetahuan kita tentang dunia. Tidak hanya itu, banyak riset ilmiah menunjukan bahwa membaca juga berguna untuk kesehatan tubuh, meningkatkan kemampuan otak, perkembangan emosional, dan banyak aspek lain kehidupan seseorang.
Tapi sangat disayangkan, walau membaca memiliki banyak keuntungan, membaca belum menjadi sebuah kebudayaan dalam masyarakat kita. Hanya satu dari seribu orang penduduk Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai pembaca. Selebihnya, masyarakat kita ternyata lebih senang bermain hape dengan segala fitur dan aplikasi menarik di dalamnya. Budaya literasi kita berhenti bertumbuh.
Fenomena yang memprihatinkan ini dipahami dengan baik oleh SMAN 48 Jakarta. Berpijak pada Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang dicanangkan oleh Kemdikbud, SMAN 48 Jakarta segera membentuk Tim Literasi yang bertugas untuk menghidupkan lagi budaya literasi kita yang lesu. Tujuannya agar semua komponen sekolah membangun sebuah kebiasaan membaca yang rutin.
Seperti yang dituturkan Wakil Kepala Sekolah SMAN 48 Jakarta, “Sebetulnya yang pertama itu kita membiasakan diri dulu untuk membaca mulai dari siswa, guru, hingga seluruh komponen sekolah. Selanjutnya, dari membaca kita harapkan mereka bisa menulis.” (Kompas, 14/10/2016).
Kegiatan yang dirancang oleh SMAN 48 Jakarta sebenarnya cukup sederhana. Mereka menyediakan waktu hanya tiga puluh menit sebelum kegiatan belajar dimulai, dengan frekuensi setiap dua hari sekali untuk membaca buku. Kemudian, setiap siswa membuat resume setiap buku yang dibaca dalam jurnal yang telah disediakan.
Sekolah juga menyediakan tempat khusus untuk menyimpan buku-buku bacaan. Ini bertujuan agar setiap siswa tidak dibebani lagi untuk membawa buku selain buku-buku pelajaran yang dirasa sudah cukup berat.
Selain membaca, Tim Literasi juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang berhubugan dengan tulis menulis. Misalnya, mengadakan pelatihan jurnalistik (bekerjasama dengan harian Kompas), lomba menulis puisi, cerpen, mengadakan Bulan Bahasa (yakni menulis secara massal), dan lain sebagainya.
Apa yang dilakukan oleh SMAN 48 Jakarta perlu diapresiasi dengan baik. Bukan hanya diapresiasi, tapi juga patut diteladani. Apa yang sudah SMAN 48 Jakarta lakukan, hendaknya bisa jadi inspirasi buat sekolah-sekolah lain. Diharapkan, sekolah lain bisa merencanakan agenda kegiatan dalam cara yang lebih kreatif dan kontekstual untuk tujuan meningkatkan budaya literasi kita.
Jika mengingat koefisien literasi kita yang sangat kecil, usaha seperti yang dilakukan SMAN 48 Jakarta seharusnya dikerjakan secara menyeluruh di berbagai daerah di Indonesia. Bukan hanya SMA, tapi juga meliputi tingkat pendidikan SD, SMP, universitas, instansi pemerintah, kantor, dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga ini juga harus merencanakan kegiatan-kegiatan yang dirasa perlu untuk meningkatkan budaya literasi kita yang rendah. Biar bagaimanapun, untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis multidimensional, kita harus menjelma jadi masyarakat yang gemar membaca. Syarat ini tidak bisa ditawar-tawar!
Terlepas dari semua itu, lembaga keluarga adalah ujung tombak. Keluarga berada di garda terdepan agar kita terlepas dari situasi rendahnya minat membaca ini. Setiap keluarga Indonesia harus membudayakan dirinya untuk gemar membaca. Orang tua diharapkan agar bisa memberi teladan kepada anak-anaknya. Tanpa keteladanan orang tua, kecil kemungkinannya untuk menciptakan anggota keluarga yang gemar membaca.
Tentu saja kita semua berharap agar banyak sekolah mengikuti jejak SMAN 48 Jakarta. Kemiskinan dan ketertinggalan bangsa kita dari bangsa-bangsa maju lainnya, hanya bisa dikejar jika kita segera berbenah. Untuk itu, hal pertama yang perlu kita benahi adalah menghidupkan lagi budaya literasi kita yang hampir mati.
Belum ada tanggapan.