Banyak yang tidak menyangka bahwa bobroknya kondisi sosial sebenarnya dimulai dari keluarga. Tentang penyimpangan sosial yang terjadi. Kasus-kasus pembunuhan, sampai kepada pelecehan seksual. Kesemuanya adalah hubungan sebab akibat yang dilatarbelakangi oleh keluarga. Sayangnya, progam pemberdayaan manusia oleh kementerian di Indonesia hanya menyentuh di level finansial, sangat jarang meraba pada urusan rumah tangga. Ambil contoh seperti program BLT (Bantuan Lansung Tunai), program ini sebatas apa yang bisa dibeli dan apa yang bisa dimakan. Setelah itu, masyarakat mengambil peran tangan di bawah lagi. Begitulah seterusnya, sampai kemiskinan dilahirkan lagi dan lagi. Sementara program yang sifatnya pengembangan keterampilan dan aspek kognitif (pengetahuan) jarang difasilitasi oleh pemerintah. Pemerintah menganggap urusan keterampilan dan pengetahuan adalah urusan mandiri atau masing-masing.
Keluarga yang merupakan tempat pertama anak mengenal dunia, dan orang tua sebagai gurunya, terkadang seperti sebuah bumerang. Kalau baik kondisi keluarga itu, baik pula perkembangan mental dan fisik anak bersangkutan. Namun bila rusuh dan rasa aman telah hilang, maka yang tersisa adalah kebencian dan dendam. Hal itu pula yang mewajari bahwa banyak ditemukan anak melawan orang tuanya, bahkan pada bentuk yang paling ekstrem membunuh darah daging ibu dan ayahnya sendiri. Keluarga itu seperti cermin, bila bersih dan terang, pantulan bayang semakin jernih dan jelas. Tapi kalau kotor dan retak, yang dihasilkan pun buruk rupa. Oleh sebab itu, tugas yang paling utama ibu dan ayah adalah menjaga keharmonisan rumah tangga. Semakin terjaga semakin bersih cerminnya.
Banyak anak mencontoh prilaku buruk datangnya dari keluarga. Kepandaian merokok mereka misalnya, sudah jelas datangnya dari prilaku ayah. Sikap cerewet dan ribut contohnya, bisa jadi cermin dari prilaku ibunya yang hilang kontrol. Begitulah kalau cermin kotor, yang ditiru pun yang kotor-kotor. Setiap anak menginginkan rasa aman. Titik. Bagi mereka dunia ini tidak ada kejahatan. Dunia ini semuanya kasih sayang. Sehingga berprilaku harmonis antara ayah dan ibu adalah keharusan. Bila tidak, anak akan menganggap bahwa kehadiran mereka adalah pengacau dan perusak. Mental dan psikologis anak jadi tergadaikan. Malahan dalam bentuk yang kelewat batas bunuh diri menjadi jalan keluar.
Dalam laporan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) yang dikutip di liputan6.com, menyatakan bahwa sebanyak 70 persen orang tua belum mampu mengasuh anak mereka. Banyak orang tua menggunakan metode asuh yang tidak cocok dengan perkembangan zaman sekarang. Masih banyak menyalin tradisi lama yang pernah mereka alami ketika kecil. Bila masa kecilnya sering dipukul, maka hal itu juga diterapkan kepada anaknya. Padahal beda zaman harus beda pula penanganan. Tidak salah kalau-kalau rumah tangga yang buruk hanya melahirkan anggota keluarga yang buruk pula. Bila ayahnya preman, bisa jadi di kemudian waktu sang anak mengikuti jejaknya. Kalau orang tua suka main tangan, anak akan terbiasa bahwa kekerasan adalah solusi rumah tangga. Kalau ibunya selingkuh, mungkin saja anaknya akan menilai bahwa selingkuh itu dibolehkan. Miriplah seperti pribahasa lama, “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.
Begitulah kasus-kasus yang abai oleh pemerintah. Luput dari perhatian negara. Suka tidak suka, pemegang kebijakan harus menerima kenyataan bahwa ketahanan nasional itu dimulai dari ketahanan keluarga. Wajib hukumnya keluarga di Indonesia difasilitasi oleh pemerintah, terutama dalam aspek kepemahaman dalam berumah tangga. Apakah melalui kurikulum pendidikan, atau pendekatan praktis lainnya. Selain itu, tidak hanya penerapan sanksi jera bagi tindak kekerasan, tetapi perlu juga rehabilitasi bagi korban tindak kekerasan. Terutama bagi kalangan perempuan yang sering menjadi korban kekerasan. Sebab laporan terbaru Komnas perempuan menunjukan kekerasan rumah tangga (terhadap perempuan) mencapai hampir 96 persen. Belum ditambah data kekerasan seksual pada anak perempuan. Yang disebutkan terakhir, pola pelakunya tidak jauh dari orang-orang terdekat, seperti keluarga (ayah ibu), keluarga tiri, sepupu dan keponakan, tetangga, serta guru. Oleh sebab itu, abai terhadap rasa aman anak, sama saja membiarkan predator seksual mengebiri kehormatan anak tersebut.
Ketahanan nasional itu dimulai dari ketahanan keluarga. Boleh saja pemerintah sibuk dengan program skala nasional, namun jangan dilupakan bahwa keluarga adalah elemen penentu dalam pembentukan masyarakat. Kalau satu RT (Rukun Tetangga) saja rasa aman anak terjaga dan kebutuhan kasih sayang terjamin, mudah saja RT tersebut bertranformasi menjadi masyarakat madani, yakni sebuah komunitas yang ideal. Tapi sebelum itu semua, pribadi diri harus menjadi matang secara fisik dan mental. Sebab membangun keluarga itu tidak mudah seperti membalikan telapak tangan. Perlu usaha keras dan berkesinambungan. Perlu modal dalam bentuk finansial dan pengetahuan. Modal finansial bukanlah arti bahwa harus menjadi kaya lebih dulu, tapi setidaknya kebutuhan pokok bisa tercukupi. Namun tidak demikian dengan modal pengetahuan. Modal pengetahuan adalah wajib, karena setiap fase pengokohan keluarga menuntut solusi yang berbeda-beda. Kalau dulu memukul anak adalah mendidik anak, maka saat ini memukul adalah tindak kekerasan yang bermuara hukum.
Kalau dulu cukup dengan punishment, maka sekarang ini dibutuhkan juga reward. Kalau dulu membiarkan anak jajan di tepi jalan adalah kelumrahan, maka hari ini harus kehati-hatian, sebab pabrik kimia dan polusi udara tidak lagi bersahabat. Ditambah lagi dengan banyaknya praktek pemalsuan barang konsumsi. Kalau dulu permainan tradisional berkontribusi positif terhadap perkembangan sosial anak, maka era kekinian semua itu digantikan dengan gadget. Oleh karena itu, wajib hukumnya setiap keluarga memperbarui pengetahuannya. Beda zaman beda cara. Beda lingkungan beda solusi. Tidak sampai disitu saja, keadaan psikologis juga harus diperhatikan. Sebab setiap permasalahan dalam keluarga melibatkan emosi yang bercampur. Kadang kebahagiaan, kadang gelisah. Kadang punya uang, kadang harus berhutang. Semuanya dibolak-balikan. Tinggal lagi bagaimana menyikapinya. Apakah harus dengan kekerasan? Atau cukup dengan kebijaksanaan? Kalau pun terlibat pertengkaran, libatkanlah cukup dengan pasangan. Anak jangan dibawa-bawa. Anak jangan jadi pelampiasan. Cukup masuk kamar, diskusikan dengan bijak. Kalau sudah di kamar, apapun bisa dilakukan. Termasuk “ibadah biologis” yang menjadi solusi kokohnya keluarga. Jadi, tidak heran kan bahwa ketahanan nasional dimulai dari ketahanan keluarga?
Belum ada tanggapan.