Tulisan ini tidak orisinil, dan seperti biasa saya telah menyalin dari sana-sini hal-hal yang saya pikir harus dibagi-bagi. Maka, saat ini saya telah menarik beberapa hal dari esai Jhon Berger tentang Hiroshima.
Poin pentingnya saya mau bilang buku pelajaran sejarah kita harus ditulis ulang. Atau setidaknya tolak ukur tentang sejarah, khususnya sejarah abad 20 yang penuh perang, pembantaian dan penjajahan harus dikemas dengan cara berbeda. Karena hingga saat ini, sebenarnya buku sejarah tidak mengajarkan apa-apa. Perang, pembantaian dan kekejaman terus berulang seolah kita tidak pernah menghadapi akibatnya yang mengerikan pada masa lampau.
Ketika isu-isu mengenai senjata nuklir semakin mengemuka hari-hari ini baik oleh televisi maupun internet, saya menemukan bacaan lain yang mengenang tragedi kemanusiaan di kota Hiroshima. Dalam sebuah esai singkatnya, Jhon Berger mengajak siapa pun mengenang kembali pecahnya bom Atom di atas kota Hiroshima. Karena di dalam buku sejarah kita hanya tahu tentang kapan bom itu dijatuhkan serta pengaruhnya bagi Jepang dalam kancah perang pasifik, maka Jhon Berger meneropong peristiwa kemanusiaan terkait pengeboman itu yang tidak diikutsertakan.
Berger menemukan apa yang disebut sebagai impresi suatu waktu setelah membaca sebuah buku berjudul unforgettable fire. Buku itu diisi oleh orang-orang Jepang yang menjadi saksi mata sekaligus korban dari peristiwa 6 agustus 1945 silam; mereka yang selamat dari sebuah usaha pembantaian total. Baik ilustrasi maupun tulisan, Berger melihat bahwa setiap korban yang selamat itu sedang melukiskan tentang neraka, gelombang panas yang bahkan merobek beton jadi serpihan. Setiap saksi mata melukiskan hari dimana ketika tiba-tiba panas ada di setiap tarikan napas, membakar rambut sampai kulit kepala, baju dan sepatu hingga menempel di tubuh mereka yang terkelupas, orang-orang yang berubah jadi arang dalam sekejap.
Berger mungkin merasa tertampar oleh kenyataan bahwa sebelumnya yang dia ketahui tentang peristiwa Hiroshima hanyalah kota itu luluh lantak dan berapa ribu jiwa yang mangkat. Buku unforgettable fire memberinya pelajaran tentang bagaimana seharusnya sejarah dimaknai. Ketika saya membaca essai Jhon Berger tentang Hiroshima, saya baru sadar bahwa pelajaran sejarah di sekolah-sekolah tidak pernah mengajarkan tentang arti dari sebuah peristiwa sejarah. Pelajaran sejarah bukan soal menghafal tanggal-tanggal penting, peristiwa-peristiwa yang perlu diingat dan keputusan-keputusan politik yang pernah diambil. Itu terlalu dangkal.
Mari kita buka buku sejarah kita di sekolah dasar. Isinya banyak membahas soal perang; dari perang antarkerajaan kuno hingga perang dunia II; dari keris Mpu Gandring yang menewaskan Ken Arok hingga kepahlawanan Soeharto yang membasmi PKI. Peristiwa demi peristiwa dibeberkan, semua berbau kekerasan. Buku sejarah kita disusun untuk memaparkan soal perang, dan kita menghafal betul siapa yang jadi musuh, siapa yang pahlawan. Tanpa makna. Seperti serial komik Dragon Ball.
Saya ingat betul, buku sejarah di sekolah (dari SD hingga SMA) menggambarkan betapa heroiknya tentara sekutu menjatuhkan bom di atas dua kota Jepang untuk melemah perlawanan Nipon. Lalu Jepang kalah secara memalukan dan kemudian meletakan tangan di kepala. Kalau masih kecil, bacaan dalam buku sejarah kita banyak yang dirasakan seperti dongeng. Dan dalam perang pasifik Amerika dan sekutu adalah jagoan perang kita sementara Jepang menjadi pihak yang amat dibenci. Saya ingat mengenai perasaan senang setiap kali saya membaca mengenai kekalahan Jepang. Entah kenapa saya melihat bahwa Amerika telah membantu Indonesia memerdekaan diri dengan menghancurkan Jepang. Maka dari sana, dari setiap kisah sejarah yang ditulis para penulis buku pelajaran sejarah pelan-pelan saya mencintai Amerika dan mendukung semua kebijakan perangnya.
Pelajaran sejarah kita memang sedangkal itu!
Kita tidak pernah menemukan realita dibalik tanggal-tanggal sejarah yang kita kenang di sekolah. Karena sejarah tanpa realita inilah pengeboman hiroshima dikenang tanpa arti. Bila kita hanya hafal tanggal 6 agustus 1945 pasukan udara sekutu menjatuhkan bom Atom maka Jhon Berger melihat jauh ke dalam kota itu saat kota berubah menjadi neraka. Berger menegaskan, neraka yang dia maksud bukan dalam bahasa metafora karena suhu yang 300.000 derajat celcius dari ledakan. Dalam neraka dunia yang berhasil diciptakan Amerika, orang-orang terpanggang, terkelupas kulit dari tubuhnya, megap-megap di tengah reruntuhan kota.
….Ia terlihat muram sekali — terbakar dan penuh luka, serta dengan tubuh telanjang bulat dan serpihan sepatu yang masih tersangkut di telapak kaki, terantuk-antuk di jalan, mengikuti langkah kakinya. Hanya sebagian dari rambutnya yang terlindungi oleh topi tentara masih tersisa, seolah ia tengah mengenakan sebentuk mangkuk di kepala. Ketika aku menyentuhnya, lapisan kulitnya terlepas dari daging tubuhnya. Aku tidak tahu harus bagaimana, jadi aku minta tolong seorang supir yang kebetulan lewat untuk membawanya ke RS Eba. **
Usai membaca essai (Jhon Berger) itu, saya bertanya mengapa buku sejarah yang menggambarkan banyak tentang perang tidak membuat kita bergidik sedikitpun? Tidak merasa ngeri ketika membaca rakyat Indonesia menancapkan bambu runcing ke dada kompeni, lalu kompeni meletuskan pelor ke kepalanya? Dangkalnya pelajaran sejarah juga ditandai dengan tidak terlibatnya sisi kemanusiaan kita, pergolakan batin atas peristiwa tertentu semisal pembantaian bangsa yahudi oleh Nazi.
Saya membayangkan, jika buku sejarah kita masih ditulis dengan cara yang sama maka suatu saat ketika anak cucu kita membaca mengenai kekejaman ISIS di Timur Tengah, peristiwa keji tersebut tidak akan memberi mereka efek apa pun semisal perasaan ngeri dan semacamnya. Maka sejarah kehilangan artinya, anak cucu kita gagal belajar tentang sebuah neraka yang terdiri atas berbagai teror dan pemenggalan. Sejarah kelam yang gagal dipahami dengan baik, akan gagal pula diantisipasi kemunculannya. Pelajaran sejarah hanya memaparkan kepada kita perihal perang dan perang, tetapi tidak pernah mengajari makna dari perang tersebut sesungguhnya, tidak bisa menggugah hati kita untuk berdoa bahwa Hiroshima jilid II jangan sampai terjadi. Pelajaran sejarah menjejal otak kita dengan total jumlah korban, tetapi tidak mau menggambarkan betapa perihnya kulit-kulit tubuh mereka yang meleleh akibat radiasi yang menelan kota Hiroshima 6 agustus 71 tahun silam. Karena, belajar tentang sejarah menurut saya seharusnya mendekatkan kita pada realita sejarah itu sendiri.
Aku tengah berjalan di atas jembatan Hihiyama sekitar pukul tiga sore pada tanggal 7 Agustus. Seorang wanita, yang terlihat sedang mengandung, terbaring tanpa nyawa. Di sisinya, seorang gadis kecil berusia tiga tahun membawakan air dalam kaleng kosong yang dia pungut di jalan. Dia sedang meminta ibunya meminum air itu. **
**kutipan dari essai J.Berger dari situs Fiksi Lotus
Belum ada tanggapan.