Suatu hari di tahun 1995, di Majalah Berita Buku Edisi Oktober ada iklan menarik dari penerbit Mizan berbunyi demikian : Buku, kata sementara orang, pun menjemput hari-hari terakhirnya sebagai sumber informasi dan ilmu. Tentu saja itu tidak benar. Buku, dibanding media lainnya, memiliki beberapa kekhasan yang tak tergantikan.
Buku, misalnya memberikan kedalaman pemahaman. Televisi sungguh digdaya dalam menyajikan informasi dalam gambar-gambar yang konkret. Radio dapat menghidupkan imajinasi. Surat kabar memberikan keterangan rinci. Tetapi, hanya buku yang menyajikan kedalaman. Memang buku tidak bisa memberikan informasi dengan cepat-segera. Tetapi buku lebih komprehensif. Tak ada media selain buku yang mampu menguraikan renungan filsafat yang rumit, menjelaskan rumus matematika yang canggih, atau mengisahkan anak manusia secara mendalam.
Mengapa orang-orang masih membaca buku?. Mengapa orang masih memerlukan cerita?. Padahal, mengutip Paul Aster seorang penulis asal Amerika Serikat, Buku tidak pernah memberi makan anak-anak kelaparan. Buku tidak pernah bisa menghentikan peluru yang melesat dan merajam tubuh korban tak berdosa. Buku tidak pernah mencegah bom agar tidak jatuh dan meledakkan para warga tak berdosa di tengah peperangan.
Barangkali jawaban yang diajukan oleh Khaled Abou El Fadl di bukunya Musyawarah Buku (2002) cukup penting untuk menjawab bagaimana orang-orang masih membeli dan membaca buku. Adakah peradaban yang menghormati buku yang lebih baik dari peradaban kita? Dan adakah peradaban yang mengkhianati buku yang lebih buruk dari peradaban kita?.
Kalimat El Fadl itu mengingatkan kita pada novel pendek berjudul Rumah Kertas karya Carlos Maria Dominguez, di halaman awal ada kalimat pendek menyentuh, Buku mengubah takdir hidup orang-orang.
Banyak orang berubah takdirnya karena buku. Orang jadi mengerti, orang jadi lebih memahami, orang jadi mengolah tak hanya pikiran mereka, tapi meresapi, tepatnya membuat kata-kata jadi merasuk ke dalam perbuatan si pembaca buku.
Ada gambar menarik karya GM Sudarta di Majalah Berita Buku edisi ke-54 tahun 1995. Ada seorang yang hendak mendaki gunung yang tinggi. Ia menyeret buku cukup banyak untuk bekal mencapai puncak. Nampak wajah orang itu kepayahan dan berkeringat di bawah terik matahari yang cukup menyengat. Ilustrasi yang bagus untuk menggambarkan bagaimana seorang pembaca buku bisa mencapai puncak kehidupan dengan susah payah. Seorang pembaca buku tentu akan merasa senang tatkala mencapai puncak hidupnya dengan petunjuk, pedoman dari buku.
Ada kisah menarik lagi tentang buku yang ditulis oleh Sastrawan Putu Wijaya. Putu Wijaya pernah menulis cerita berjudul Kutu Buku (1995). Dikisahkan ada seorang Professor yang begitu mencintai buku, ia seorang kutu buku. Ketika ia sakit keras, tak ada yang bisa menyelamatkannya, bahkan semua hartanya telah dijual.
Tibalah waktu buku-bukunya satu-persatu dijual oleh anak dan istrinya. Tapi tak juga menyembuhkan penyakitnya. Professor marah, dan tak terima buku-bukunya dijual, ia pun mengatakan pada anaknya : Buku-buku itu gunung duit dan lautan kekayaan. Kamu keblinger karena belum selesai membaca semuanya. Pengetahuan yang tanggung itu memang racun. Tetapi kalau kamu berhenti di tengah seperti ini, kamu akan kandas. Itu memang segi buruk dari ilmu dan pengetahuan. Kamu tidak boleh belajar sepotong-sepotong, mesti tuntas. Jangan jual buku-buku yang tidak bersalah itu. Kamu salah kaprah!.
Ketika buku terakhir di beli Pak Lurah, dan mengamalkan apa yang Professor sampaikan, Pak Lurah pun menjadi sukses dan kaya raya berkat membeli buku Machiavelli dari Professor. Tak disangka, setelah buku terakhirnya dibeli, Professor pun sembuh, anehnya ia tak lagi mencari kemana buku-bukunya pergi. Sekarang ia malah berprofesi menjadi pedagang. Istrinya pun bersyukur dan mengucapkan kalimat unik : Puji Tuhan, syukurlah dia bisa diinsafkan sebelum terlambat. Ia pernah berpikir bahwa buku adalah segala-galanya, sehingga mengorbankan hidupnya. Ia sudah membuat buku jadi berhala. Ia pernah lupa bahwa bukan buku tetapi isinya yang harus dibela. Dan itu sudah tersimpan di dalam otaknya. Ia pernah lupa buku yang paling penting yang harus disimpan dan dibela adalah hidupnya sendiri.
Cerita sang Professor yang dikisahkan Putu Wijaya tadi seperti menjadi pelajaran penting bagi seorang pencinta buku, bukan buku, tetapi isinya. Dari kata-kata di dalam buku itulah, sebuah buku menjadi penting. Seberapa banyak kita bisa menyimpan memori dari buku yang kita baca?. Barangkali melalui menulis, setidaknya ada ilmu atau pengetahuan yang kita ikat dan simpan.
Orang-orang masih berkeinginan membaca buku, menyentuh, membaui, dan menikmati waktu-waktu membaca buku bukan hanya sebagai sebuah keasyikan, tetapi ada sesuatu yang mistik, tepatnya ketakjuban. Barangkali benar, tatkala kata-kata adalah medium yang menjadikan manusia memiliki nilai, Tuhan pun mengerti, bahwa kitab suci adalah buku pedoman hidup yang tak mudah dan lekas usai setelah kita membacanya.
Ada cerita menarik tentang Hatta dan Buku. Goenawan Mohamad menulis ini di bukunya Tokoh dan Pokok (2011). Ketika di Banda Neira di tahun 1942, hanya ada waktu sekitar satu jam. Hatta tergopoh-gopoh mengepak buku-bukunya, ke dalam 16 kotak. Sjahrir memutuskan untuk membawa ketiga anak angkatnya, meskipun salah satunya masih berumur tiga tahun. Sesampai mereka di pesawat, sebuah problem dipecahkan; ruang di Catalina itu terbatas. Enam belas kotak buku atau ketiga anak itu harus ditinggalkan. Hatta mengalah, Enam belas kotak buku tak jadi di bawa- untuk selama-lamanya- kecuali Bos Atlas yang sempat diselipkan Hatta ke dalam koper pakaian. Empat puluh tahun kemudian Hatta masih menyesali kehilangan itu.
Istri Hatta pun pernah memberikan keterangan kepada salah seorang tamunya, Saya ini sebenarnya adalah isteri ketiga dari Hatta. Ketika ditanyakan dengan penuh keheranan, maka Ibu Hatta memberi penjelasan, Isteri pertama buku, kedua ibadatnya, sedang yang ketiga adalah saya sendiri. Ketika mendengar penjelasan Istri Hatta kita jadi lebih faham, bahwa buku pada akhirnya memang tak bisa dipisahkan dari seorang pencintanya meski sudah berkeluarga sekalipun.
Sampai kapan kemudian buku bisa dilepaskan dari seorang pencintanya?. Saya rasa maut pun tak bisa memisahkan para pencinta buku dengan bukunya. Seperti ketika kita menyimak tokoh di novel Rumah Kertas harus mendera kesepian, kesendirian, dan membangun rumah dari buku-bukunya, hingga akhirnya menghabiskan hidupnya bersamanya. Begitu pula ketika seorang penulis seperti Rendra, Kuntowijoyo, di sisa-sisa hidupnya masih bergerak untuk menulis dan membaca buku. Ah, betapa indahnya orang yang berbuku. Bahkan putusnya nyawa pun seperti menambah indah hidupnya. Saya jadi ingat Putu Wijaya yang ditengah sakit stroke sejak 2012, ia masih bisa menghasilkan karya dan menulis buku. Meski ia tak lagi menulis menggunakan komputer, ia menulis menggunakan Blackberry. Buku terbarunya 100 Monolog Karya Putu Wijaya terbit tahun 2017. Ini barangkali contoh semangat literasi sampai mati.
Pada akhirnya, buku memang memiliki takdirnya sendiri. Di tangan kita pula, -manusia, buku bisa berguna, atau sebaliknya menjadi tumpukan kertas yang hilang dimakan rayap.
*) Penulis adalah Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Belum ada tanggapan.