Luxemburg, dkk (dalam Widayat, 2011: 19) memberikan batasan-batasan mengenai jenis sastra, yakni teks naratif, teks drama, dan teks puisi. Teks naratif, yakni teks fiksi, bisa berupa prosa dan selanjutnya bisa disebut sebagai prosa fiksi. Teks ini mengisi seluruh permukaan halaman. Teks drama, yakni bersifat dialog, isinya membentangkan sebuah alur. Dalam teks ini sering dijumpai bidang putih, dan nama-nama pelakunya dicetak secara khusus, sehingga benar-benar terlihat seperti drama. Sedang teks puisi, yakni teks monolog yang tidak merupakan alur, halamannya tidak terisi penuh dan bait-baitnya dipisahkan oleh larik kosong maupun bidang putih.
Namun, menurut Widayat (2011: 47), klasifikasi jenis sastra itu sebenarnya ambigu. Hal ini dikarenakan, terutama dalam sastra Jawa, dikenal dengan adanya puisi tradisional yang menekankan narasi. Misalnya saja sastra babad. Di samping bersifat naratif, kebanyakan ditulis dalam bentuk puisi tradisional tembang, yang kita kenal dengan sebutan macapat.
Macapat
Tembang macapat adalah satu dari tiga jenis puisi tradisional Jawa (tembang yasan/miji), di samping tembang tengahan dan tembang gedhe. Seperti jenis puisi tradisional lainnya, macapat mempunyai aturan-aturan atau lampah tertentu yang harus diikuti. Yakni guru gatra–jumlah baris setiap bait, guru wilangan–jumlah suku kata per baris, dan guru lagu–akhir vokal pada tiap baris. Setiap bait macapat mempunyai patokan berbeda-beda. Patokan berbeda-beda inilah yang menciptakan adanya pupuh, yakni suatu kesatuan yang terdiri atas satu bait atau lebih yang sama pola metrumnya (Widayat, 2011: 130). Saat ini, dikenal ada 11 pupuh macapat, yakni Pucung, Maskumambang, Megatruh, Gambuh, Mijil, Kinanthi, Pangkur, Durma, Asmaradana, Sinom, dan Dhandhanggula.
Di samping mempunyai lampah yang harus diikuti dalam penulisannya, macapat juga mempunyai beberapa hal lain yang sebaiknya tidak boleh ditinggalkan. Pertama, yakni sasmitaning tembang–berupa kata, frasa, atau baris tertentu yang bersinggungan dengan nama tembang. Misalnya, pada tembang Sinom digunakan kata anom. Kedua, yakni karakter tembang. Maksudnya adalah setiap tembang macapat mempunyai karakter masing-masing sesuai dengan ajaran yang akan diberikan. Misalnya, tembang Kinanthi yang berwatak kasih dapat digunakan untuk memberikan cerita tentang cinta. Ketiga, sandhi asma. Yakni menyisipkan nama samaran pengarang ke dalam tembang menggunakan bagian dari kata atau suku kata yang dipergunakan pada tembang. Kelima, yakni sengkalan. Sengkalan berupa waktu penulisan tembang yang disamarkan dalam kata-kata; tiap angka dalam tahun mewakili kata tertentu, karena setiap angka mempunyai watak. Misalnya, angka 1 diwakili dengan kata candra. Dan terakhir, yang menambah keunikan tembang macapat, yakni adanya cengkok. Cengkok adalah gaya atau tipe lagu tertentu pada tembang yang disesuaikan dengan nada dan irama iringan gamelan (widayat, 2011: 142). Jadi tiap tembang macapat mempunyai cengkok berbeda-beda. Misalnya tembang Pucung mempunyai cengkok Pucung Linduran yang bisa diiringi menggunakan titilaras slendro pathet sanga. Cengkok sangat berguna ketika mengalunkan tembang, karena dapat disesuaikan dengan isi cerita; apakah ceritanya sedih atau senang.
Macapat: Sebuah Puisi Naratif?
Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2013: 359) menyatakan bahwa puisi naratif adalah puisi yang berisi cerita. Meskipun tembang macapat biasanya berisi ajaran-ajaran moral yang langsung disampaikan tanpa melalui tokoh, alur, dan latar; tembang macapat juga sering digunakan untuk menyampaikan suatu cerita. Jadi, tergantung isinya, tembang macapat bisa dikategorikan sebagai puisi naratif.
Misalnya saja, cerita dongeng Dewi Menur Seta (baca juga: Bolehkah Memaafkan Ibu Tiri?) oleh Mas Hardjawiraga yang ditulis dalam bentuk tembang macapat, terdiri dari 13 pupuh. Berikut ini satu kutipan dari cerita itu.
Kocap biyen ana ratu luwih, ngerehake papadhaning raja, nagarane luwih gedhe, kabeh sing padha teluk, ora srana gawe papati, tetelane mung saka, ambeke sang prabu, bisa ngenaki sapadha, lan galihe welasan marang sasami, lumuh panggawe ala (pupuh Dhandhanggula, Miyose Dewi Menur Seta, hlm 11).
Bait itu menceritakan tentang seorang raja yang berkuasa namun tak ada yang marah padanya karena sang raja berwatak baik hati. Bait ini merupakan satu dari 9 bait yang ditulis menggunakan pupuh Dhandhanggula. Dalam satu bait ini, sudah diketahui adanya tokoh dan alur. Maka bisa dikatakan bahwa cerita dongeng ini ditulis dalam bentuk puisi yang bercerita.
Atau bagaimana ketika kisah Bima yang mencari ilmu kesempurnaan hidup diceritakan dalam beberapa pupuh, dalam suatu serat berjudul Serat Dewa Ruci.
Panggeh Raden Wrekudara, jangganira kinerah datan gingsir, kinemah ginelut-gelut, jangganira tan pasah, Wrekudara tan tahan denira mambu, wil amis bacin gandanya, krodha kagadeng ajurit (pupuh Pangkur, Rukmuka dan Rukmukala).
Dalam bait itu, diceritakan bagaimana Bima yang pada awalnya bertahan menghadapi para raksasa, kemudian dia tidak tahan karena baunya yang amis, dan akhirnya berbalik menyerang.
Sebuah cerita dapat disampaikan melalui bentuk apapun. Jadi jelaslah bahwa tembang macapat dapat digolongkan ke dalam puisi naratif tergantung isinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nurgiyantoro (2013: 359-360), puisi hanyalah bentuk dari penyampaian. Penulis berhak memilih cara penyampaian cerita menggunakan berbagai bentuk. Namun, perlu ditekankan bahwa cerita yang disampaikan melalui puisi haruslah mengikuti kaidah penulisan puisi sebagaimana mestinya, agar pembaca dapat merasakan keindahan bahasa puitis selain memperoleh ceritanya. Menyampaikan cerita dalam bentuk puisi tradisional Jawa; tembang macapat, mempunyai tantangan tersendiri bagi penulis dan bisa menjadi pengalaman puitis nan unik bagi pembaca yang menikmatinya.
Sumber:
Hardjawiraga. 1978. Dewi Menur Seta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Sastra Anak. Cetakan ke-3. Yogyakarta: UGM Press.
Widayat, Afendy. 2011. Teori Sastra Jawa. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
Belum ada tanggapan.