Wacana kontemporer yang terus berkembang dan selalu menjadi topik hangat dewasa ini adalah tentang gender. Wacana ini muncul dan berkembang dalam rangka membebaskan perempuan dari ketidakadilan yang hadir dari sistem sosial. Sistem sosial dianggap tidak mampu memberikan kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan, dan cenderung menempatkan perempuan sebagai objek ketimbang subjek.
Sebelum berbicara tentang gender, yang harus digarisbawahi adalah pemahaman terkait pembedaan secara ketat antara dua istilah, yaitu “gender” dan “sex”. Terlebih karena banyak kesalahpahaman tentang kedua istilah tersebut. Kedua istilah tersebut memang mengacu kepada makna yang digunakan sebagai pembeda antara laki-laki dengan perempuan, namun konotasinya jauh berbeda. Kata sex bersifat alamiah dan mengacu pada perbedaan secara biologis, sedangkan gender adalah sifat-sifat yang bisa ditanamkan lewat konstruksi sosial.
Konsep “sex” digunakan sebagai kategorisasi manusia lewat fungsi biologis yang bisa diidentifikasi melalui alat (organ) kelamin sekaigus alat reproduksinya yang masing-masing memang khas. Sehingga konsep tersebut hanya dapat digunakan untuk menjelaskan perbedaan yang bersifat kodrati (alamiah) dalam fungsi proses regeneratif. Sedangkan konsep “gender” lebih merupakan atribut yang dilekatkan secara sosial maupun kultural. Gender tercipta lewat proses panjang yang disebabkan oleh konstruksi sosial, budaya, agama, dan ideologi tertentu yang terkait secara langsung dengan batasan ruang dan waktu. Sehingga gender sangat tergantung pada nilai-nilai masyarakat dan dapat berubah menurut situasi dan kondisi.
Proses yang dapat mengkonstruksi gender terjadi akibat bias pemahaman yang masih ada kaitannya dengan perbedaan yang bersifat alamiah sebelumnya. Selanjutnya interpretasi yang hadir terkait “sex”, mewariskan konsep pemikiran tentang wacana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak yang diwariskan dari generasi ke generasi. Hal itu sebetulnya terjadi dengan maksud untuk memaksimalkan peran masing-masing dalam wilayah sosial. Namun kesalahpahaman yang hadir di tengah kompleksnya hubungan sosial menyebabkan sistem berangsur-angsur memposisikan perempuan di bawah dominasi laki-laki.
Kategorisasi yang dihadirkan konsep gender sesungguhnya tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun seiring berkembangnya wacana terkait gender yang didorong secara ideologis oleh perspektif feminisme, telah menemukan bentuk-bentuk ketidakadilan yang bersembunyi di balik sistem. Pemikiran yang lahir dari perspektif feminisme bertujuan untuk membebaskan subjek perempuan yang cenderung sering diposisikan di bawah dominasi laki-laki dalam sistem yang bersifat patriarkial. Walaupun laki-laki tidak menutup kemungkinan menjadi korban ketidakadilan gender, tetapi secara umum perempuan menduduki posisi tertinggi sebagai korban ketidakadilan gender. Ketidakadilan tersebut biasanya termanifestasikan dalam bentuk marjinalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe, atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang, serta sosialisasi ideologi peran gender. Inilah yang digugat oleh ideologi feminis, yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan terhadap perempuan terkait posisi sosial.
Wacana gender sendiri memang secara progresif sengaja didorong oleh feminisme. Hal ini karena memang kepentingan untuk menanamkan kesadaran pada perempuan (sebagai subjek) agar memperjuangkan sistem yang mendukung kesetaraan. Hal ini berakibat pada wacana yang cenderung bersifat subjektif, apalagi ada beberapa perbedaan pendapat di tengah wacana ini sebagai gerakan. Namun terlepas dari wacana yang dominan bersifat paradigmatik, feminisme mampu menyumbang pemikiran yang dapat bertindak sebagai tools of analysis. Sebagai sebuah gerakan, feminisme memang masih memiliki banyak kontroversi khususnya di Indonesia. Namun sebagai sebuah kajian wacana, gender mampu memperkaya bentuk analisa yang dapat menjadi alternatif dalam mengkritisi realita kehidupan sosial masyarakat. Maka dari itu cara pandang terhadap gender sebagai sebuah wacana kritis dapat menjadi benteng dari interpretasi yang mendukung kesalahpahaman tentang topik ini.
Peran Media
Menurut pandangan feminisme, pandangan dunia pada umumnya mendukung realitas sosial yang mengafirmasi sistem yang patriarkial. Realitas yang ada bukan karena memang pada hakikatnya perempuan tidak lebih baik ketimbang laki-laki dalam peran sosialnya, namun karena realitas tersebut sengaja dibentuk demikian. Hal ini karena elit yang berkuasa membutuhkan (atau setidaknya telah tergantung) sistem patriarki. Sehingga realitas yang mendukung kesetaraan gender sulit terwujud.
Realitas sendiri tidak di bentuk secara ilmiah. Tidak juga sesuatu yang alamiah, tetapi dibentuk dan dikonstruksi sebagaimana bangunan wacana. Dalam pemahaman ini, realitas berwujud ganda/plural. Setiap individu memiliki konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas, berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan, dan lingkungan sosial yang dimiliki masing-masing individu.
Di tengah kemajuan teknologi dan informasi saat ini, media memiliki peran sentral dalam membentuk realitas. Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang dikonstruksi secara berbeda oleh media. Tidak jarang, pemaknaan yang dilakukan melalui produk media telah menempatkan posisi produk media sebagai bagian dari realitas sosial itu sendiri. Artinya, realitas dengan seperangkat nilai yang terbangun melalui produk media akan dimaknai oleh alam pikiran khalayaknya sebagai sesuatu yang nyata terjadi. Dalam hal ini media berada pada posisi konformitif yang mendukung nilai atau norma yang dominan dalam sistem.
Setiap pencari berita mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda atas suatu peristiwa. Media memiliki kemampuan mengonstruksi peristiwa dalam pemberitaannya. Berita dalam pandangan konstruksi sosial tidak bisa bersifat apa adanya dan mengesampingkan faktor subjektif dari media yang menyampaikan. Berita merupakan produk interaksi dari media yang bersangkutan dengan fakta. Realitas sosial tidak begitu saja dapat menjadi berita. Ada beberapa proses yang harus dilewati, seperti internalisasi wartawan yang dilanda oleh realitas yang diamati dan diserap dalam kesadarannya. Baru kemudian bisa masuk ke proses eksternalisasi.
Konstruksi realitas yang dihadirkan media massa sangat dipengaruhi interaksi kekuatan-kekuatan sosial yang terkait dengan media terutama berbagai tekanannya yang hadir. Tekanan yang hadir berasal dari berbagai “kekuatan” luar, termasuk dari klien (misalnya para pemasang iklan), birokrasi hukum dan politik, pakar, hingga khalayak. Pada kenyataannya, tidak ada satu pun kekuatan atau bentuk pengaruh yang terpisah atau terisolasi. Kekuatan yang hadir akhirnya berbaur, tumpang tindih, dan saling desak. Akumulasi kekuatan dan pengaruh memberikan kedudukan dominan pada beberapa institusi tertentu dalam komunikasi massa dan masyarakatnya.
Kemampuan media untuk ikut serta dalam peran konstruksi realitas sosial, sekaligus menghadirkan kesadaran bahwa media juga dapat berperan dalam masalah bias gender. Kesalahpahaman tentang gender yang mendatangkan ketidakadilan pada sistem sosial tentunya akan sulit dirubah. Wacana yang disalurkan media dalam produknya, baik informasi jurnalisme maupun hiburan, secara disadari atau tidak telah ikut menindas sejalan dengan sistem yang tidak adil bagi korban. Sehingga korban masalah gender bisa dikatakan mengalami penderitaan ganda.
Ditengah pluralnya kepentingan yang memberi tekanan dalam proses media massa dalam menghasilkan produknya, mengindikasikan bahwa wacana yang dibawa sepenuhnya mencerminkan sikap dan pandangan hidup tentang dunia (worldview) dari kepentingan yang mempengaruhi kreatornya. Dengan kata lain jurnalisme dapat ikut mengafrimasi ideologi yang mempertahankan sistem sosial bentukan. Dalam hal ini sistem yang dibentuk melalui fakta-fakta yang diambil dari realitas yang dominan dipercaya masyarakat pada umumnya. Sedangkan relitas tersebut telah terkonstruksi lewat proses yang dominan tidak mendukung emansipasi subjek yang menjadi korban gender.
Maka sangat penting bagi jurnalis dan institusi media mempunyai sensitif yang tinggi dalam permasalahan perempuan, dan untuk menghasilkan jurnalisme yang berperspektif gender. Hal ini sebagai pengimbang wacana yang ada di masyarakat. Setidaknya, media juga harus memiliki kapabilitas mengkaji isu gender secara mendalam, ini dikarenakan media memiliki kemampuan menciptakan narasi lewat informasi yang dibentuk dari data dan fakta yang ditemukan. Sehingga media massa ikut dalam membentuk pola pikir masyarakat yang lebih kritis pada wacana gender.
Media harus fokus meningkatkan kemampuan profesional, etika dan perspektif awaknya dalam kajian tersebut. Agar hasil penyiaran mampu mengangkat permasalahan perempuan pada arus utama (mainstream) yang didominasi kesalahpahaman tentang gender. Ini merupakan salah satu jalan bagi media untuk bertindak fair, proporsional, serta berimbang dalam memberitakan kasus-kasus yang ada dimasyarakat. Selain itu media massa harus mampu melepaskan diri dari perannya sebagai medium ekonomi kekuasaan, baik yang datang dari penguasa, otoritas intelektual, ideologi poitik, atau bahkan pemilik modal. Perannya sebagai “watchdog” bagi kekuasaan akan berjalan semestinya dan bukan mendukung kekuasaan yang memelihara ketidakadilan hanya karena lemahnya kemampuan profesional dan etika media massa.
Referensi:
Fakih, Mansur, (1996). Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mc Quail, Denis. (1996). Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar, Jakarta: Erlangga
Belum ada tanggapan.