Sudah jamak diketahui, semakin hari orang makin meninggalkan buku. Semakin lama orang tak memandang buku sebagai kebutuhan pokok. Buku adalah barang pelengkap, dalam ilmu ekonomi, ia dipandang sebagai kebutuhan komplementer semata. Buku, bisa dianggap kebutuhan tatkala mendesak semata. Tatkala kita belajar di institusi resmi seperti sekolah, sampai perguruan tinggi, barulah kita seolah-olah membutuhkan buku.
Ada pengalaman menarik saat saya berada di toko buku loakan, disana saya menemukan seorang mahasiswi dengan dandanan cantik bertanya kepada penjual buku : “Bu, ada buku dengan judul ini?”. Hampir semua toko buku dalam satu deret ia tanyai dengan pertanyaan serupa. Buku dipilih hanya untuk tugas dosen, tugas guru. Kehadiran seseorang ke toko buku bukan lagi menjadi hal yang misteri, magis, atau bahkan sakral. Orang ke toko buku langsung ke mesin pencari dan mendapati buku itu, selesai. Orang tak lagi memiliki waktu untuk menilik satu-satu, memanjakan mata, atau bahkan sempat untuk sejenak membaca hingga mengamati detail buku berpuluh rak-rak itu. Kita kehilangan nuansa menjadikan buku sebagai panggilan. Bukan kita yang membutuhkan buku itu, tapi buku itu memanggil kita. Buku itu menanti kita untuk dibelai, dibuka, dan dibaca.
Buku lebih mirip dengan apa yang ditulis oleh Carlos Maria Dominguez di novelnya Rumah Kertas (2016). “Selama bertahun-tahun ini aku sudah pernah melihat buku dipakai buat ganjal meja; bahkan pernah melihatnya sebagai meja lampu betulan, ditumpuk bak menara lalu diberi taplak di atasnya; banyak kamus lebih sering dipakai buat mengepres dan meluruskan macam-macam ketimbang dibuka-buka, dan tidak sedikit buku dipakai buat menyimpan surat-surat, uang, dan rahasia agar tersembunyi di rak. Orang rupanya juga bisa mengubah takdir buku-buku.”
Di era digital dan milenial seperti sekarang memang mau tidak mau pengelola perpustakaan harus berubah. Mereka tidak boleh meremehkan perubahan yang ada di sekitar kita saat ini. Kita, pengelola perpustakaan harus mau membaca dan mengikuti bagaimana masyarakat kita hari ini. Kaum muda, utamanya yang masih potensial menjadi penggerak buku dan pembaca buku harus disentuh dengan cara mereka. Kita tidak bisa lagi menafikkan bahwa kaum muda kita, lebih dekat dengan media sosial.
Mereka makin lama meninggalkan buku, dan mulai beralih kepada teknologi digital. Perpustakaan nasional saja sudah mengikuti pola dan kecenderungan masyarakat kita dengan membuka akses buku dan jurnal internasional dalam bentuk digital. Dengan seperti itu, orang tak lagi harus ke Jakarta untuk mencari jurnal, buku maupun referensi yang dibutuhkan pembaca dari Sumatera maupun Kalimantan.
Pada titik inilah, buku kini berubah bentuk dalam segenggam tangan yang bisa dibawa kemana-mana dalam jumlah ribuan tanpa harus merasa berat dan pusing. Di dalam genggaman, orang bisa membaca sembari mendengarkan musik. Di stasiun, di bus kota, dan di tempat manapun orang bisa menikmati bacaan melalui telepon pintar mereka.
Perpustakaan modern harus mampu merespon perubahan-perubahan kecenderungan cara baca masyarakat kita terhadap buku. Pengelola perpustakaan tak cuma dituntut untuk melayani masyarakat yang berkunjung ke perpustakaan. Mereka dituntut pula untuk berhubungan, berkomunikasi, menginformasikan, sampai pada melayani kebutuhan bacaan masyarakat dalam bentuk digital.
Media sosial disini memiliki peranan penting dalam menyebarkan informasi, merangsang publik, sampai bisa mengajak mereka untuk berpartisipasi aktif membaca buku. Dalam posisi demikian, pengelola perpustakaan tidak hanya dituntut sebagai administrasi media sosial semata, tapi juga dituntut untuk menguasai, memahami, sampai dengan membaca buku yang ada di perpustakaan itu.
Sebab selama ini, pengelola perpustakaan dianggap sebagai sosok yang hanya melayani hal teknis semata. Padahal, pengelola perpustakaan adalah seorang yang mencintai buku pula. Dengan begitu, ia juga memahami, serta mengetahui lebih dalam buku apa saja yang ada di perpustakaan.
Mereka pengelola akun media sosial bisa membagi sedikit esai pendek tentang buku yang layak dibaca oleh publik melalui kemasan dan tampilan menarik. Dari sini, orang kemudian merespon, mengapresiasi, hingga tertarik untuk membaca. Ketika orang sudah tertarik membaca, pengelola perpustakaan bisa juga memberikan tautan atau link buku yang layak dibaca publik dengan tema tertentu yang bisa diakses gratis.
Dengan cara seperti itu, melalui Instagram, facebook, maupun twitter, pengelola perpustakaan memang bak seorang penjual buku. Mereka mempromokan, hingga memancing orang untuk membaca buku.
Jejaring Pembaca
Para pengelola perpustakaan memang dituntut untuk sebisa mungkin membagi apa yang mereka punya untuk pembaca. Karena sejatinya perpustakaan dibangun untuk menarik serta memikat orang untuk membaca buku.
Melalui grup facebook, atau pun whatssapp,pengelola perpustakaan bisa membentuk jejaring pembaca. Melalui jejaring pembaca itu, para pengelola perpustakaan bisa mengajak partisipasi pembaca untuk menyumbang buku, saling merekomendasikan buku, hingga menyelenggarakan event bersama.
Kita bisa saling membuat program bersama seperti hibah buku, arisan buku, sampai dengan lomba resensi buku, lomba membuat buku, dan juga event lain yang mendekatkan buku pada masyarakat.
Melalui media sosial yang dipunya, perpustakaan bisa semakin dirasakan kebermanfaatannya oleh publik. Melalui media sosial, perpustakaan bisa lebih banyak menjangkau pembaca yang cenderung mengakses buku dalam bentuk digital, tapi juga merawat para pembaca yang masih cenderung mengakses buku cetak.
Media sosial disini bukanlah pemisah atau pembeda, justru melalui media sosial ini, publik merasakan kehadiran perpustakaan menjadi lebih dekat, lebih bermanfaat dan lebih interaktif dalam melibatkan publik untuk semakin mencintai buku.
*) Pegiat Sarekat Taman Pustaka Muhammadiyah, Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo
Sumber gambar : gresnews.com
BACA JUGA:
Belum ada tanggapan.