Peran dan status. Itulah dua hal yang tidak terlepas dari kehidupan manusia. Setiap individu atau kelompok dalam masyarakat, akan berperan sesuai status yang diemban. Namun, peran dan status tidak hanya dimaknai sesederhana itu. Jika dua istilah itu tidak diselaraskan oleh individu/kelompok yang menyandangya, maka bisa menimbulkan masalah yang cukup serius.
Wujud dari peran dan status bisa digambarkan seperti sebuah pementasan drama. Menurut Erving Goffman, dalam teori dramaturginya, setiap aktor/aktris dalam drama, akan berperan sesuai dengan karakter yang ditentukan pada diri mereka masing-masing. Sama halnya dalam masyarakat, status dari setiap individu/kelompok, bisa kita ketahui dari melihat peran yang sering ia mainkan dalam kesehariannya.
Bila seseorang menyandang status sebagai tokoh masyarakat, maka dia akan berperan seperti yang dilakukan tokoh masyarakat. Sebaliknya, seseorang yang tidak memiliki status sebagai tokoh masyarakat, tidak akan berusaha untuk menampilkan peran layaknya tokoh masyarakat. Bukan karena peran dari tokoh masyarakat itu tidak baik, tetapi karena individu tersebut tidak merasa dituntut untuk berperan demikian. Jika hanya sekedar meniru, itu merupakan masalah lain.
Contoh lainnya, seorang yang menyandang status pendeta, sudah pasti punya peran yang menjadi ciri khas seorang pendeta. Mulai dari cara bersikap, bertutur kata, memberi salam dan sejenisnya. Begitu pula yang akan dilakukan oleh seorang tentara, karyawan, manajer, dan lain-lain.
Sangat tidak elok jika peran seseorang dipertukarkan dengan peran lainnya. Seorang tentara tidak mungkin berusaha untuk bisa berkhotbah di atas mimbar. Sebaliknya, akan terlihat aneh apabila seorang pendeta memegang senjata api, dan mengikuti kegiatan baris-berbaris setiap hari dengan mengenakan baju pendetanya.
Meski begitu, dewasa ini, kita masih sering bertemu individu/kelompok tertentu yang tidak berperan sesuai dengan status yang diembannya. Bahkan, mereka sering mempertukarkan peran yang mereka miliki dengan peran yang lain. Atau lebih jelasnya, mereka tidak berperan sebagaimana mestinya.
Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi jika seorang pemeran utama dalam drama, salah berperan saat berada di atas pangggung? Sudah pasti akan terkesan lucu, atau mungkin bisa menimbulkan gelak tawa dan perasaan aneh dalam diri para penonton.
Dalam kehidupan bermasyarakat pun, individu/kelompok yang tidak melakukan perannya sesuai dengan status yang diemban, akan dipandang berbeda oleh masyarakat yang melihatnya. Ada banyak kasus yang bisa menjelaskan hal ini.
Contoh kasusnya bisa kita lihat pada peran yang dimainkan oleh para pejabat negara. Dalam konteks kenegaraan, seorang yang menyandang status pejabat negara, sudah seharusnya berperan layaknya pejabat negara, yakni memberi pengayoman dan menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Namun, kenyataannya, masih sering kita jumpai pejabat negara yang tidak berperan sebagaimana mestinya. Buktinya, masih ada banyak pejabat yang berani melakukan korupsi. Padahal, melakukan korupsi bukanlah peran seorang pejabat negara, tetapi peran seorang koruptor. Hal ini akan membuat masyarakat memandang pejabat yang korup sebagai seseorang yang berbeda. Masyarakat mengangap peran pejabat akan terlihat ganjil jika dipertukarkan dengan peran koruptor. Oleh sebab itulah, pejabat yang korup, tidak lagi dianggap layak menyandang status pejabat, tetapi lebih layak menyandang status koruptor.
Kasus korupsi hanyalah salah satu contoh yang menunjukkan kesalahan berperan dalam masyarakat. Masih ada banyak kasus lainnya yang bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Yang jelas, kita sudah tahu bahwa status dan peran adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling terkait satu sama lain, dan harus selalu diselaraskan oleh orang yang menyandangnya. Untuk bisa menyelaraskan keduanya, indivdu/kelompok tertentu akan berusaha untuk memenuhi berbagai tuntutan status dan peran.
Menurut Erving Goffman dalam teori dramaturginya, individu/kelompok dalam masyarakat sering menggunakan topeng layaknya aktor/aktris yang ada dalam pementasan drama. Seorang aktor/aktris dalam drama yang berperan sebagai pribadi pemarah, belum tentu dalam kehidupan sesungguhnya merupakan seorang pemarah, bisa jadi dirinya seorang yang ramah. Namun, karena menyandang status sebagai aktor utama dalam drama, yang mengharuskan untuk jadi pemarah, maka mau tak mau aktor tersebut harus berperan demikian.
Hal tersebut juga terjadi dalam kehidupan masyarakat. Peran yang dilakukan seseorang sering dibalut oleh tujuan khusus. Kita sering melihat ada individu/kelompok tertentu yang melakukan perannya karena mau tak mau dia harus berperan demikian. Ada juga peran individu/kelompok dalam masyarakat yang tidak terlepas dari tuntutan lingkungan sosialnya. Individu/kelompok yang kurang religius, bisa jadi akan berperan sebagai pribadi yang religius bila tuntutan lingkungan sosialnya mengharuskan demikian. Sebab, bila ia melanggarnya, dirinya akan dipandang berbeda dalam lingkungan sosial dimana dia berada.
Meski begitu, tuntutan-tuntutan peran dan status selalu bisa membawa keharmonisan pada masyarakat, asalkan orang yang menyandangnya berperan sebagaimana mestinya. Jika kita semua berusaha untuk berperan sebagaimana mestinya, maka sudah jelas, berbagai kasus menyimpang yang tidak sejalan dengan nilai dan norma tertentu, bisa ditanggulangi atau bahkan dicegah terjadinya. Itulah sebabnya, “membangun kesadaran peran” sangatlah penting untuk dilakukan.
Dengan menyadari peran kita masing-masing, kita bisa menjauhkan diri dari berbagai penyimpangan. Kita bisa mencegah untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan status yang kita emban dalam masyarakat. Hal ini telepas dari peran-peran menyimpang yang memang memiliki status yang mengharuskan demikian. Sebab, Anda mungkin bertanya, bukankah individu/kelompok tertentu yang menyandang status penjahat, harus berperan seperti penjahat? Itulah yang tidak saya tekankan dalam tulisan ini. Penekanannya, marilah kita membangun kesadaran peran dalam kehidupan sosial kita, yakni peran-peran yang baik, dan yang sejalan dengan status yang kita emban. Jika Anda adalah seorang ayah atau ibu rumah tangga, maka berperanlah layaknya demikian. Bukan malah melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Itu bukanlah peran Anda. Peran seperti itu hanya dimiliki oleh pelaku KDRT.
Begitu juga jika Anda seorang pelajar, mahasiswa, dosen, guru dan sejenisnya, maka berperanlah sesuai dengan status tersebut. Pendidik tidak boleh mengabaikan buku, bermalas-malasan, tidak suka belajar dan lain sebagainya. Itu bukanlah peran dari individu atau kelompok yang menyandang status pendidik, tetapi mirip dengan peran seorang pengangguran.
Sesuai penjelasan itulah, maka kita harus mencoba untuk terus berperan sebagaimana mestinya. Namun, bagaimana cara untuk membangun kesadaran peran? Lihatlah pada status yang disandang, dan pikirkan apa yang terjadi jika peran Anda tidak sejalan dengan status tersebut.
Apabila kita berusaha menyelaraskan status dan peran, maka sudah bisa dibayangkan seperti apa keharmonisan bermasyarakat yang akan terjadi. Meski kita tidak bisa menghilangkan sepenuhnya kasus kesalahan berperan dalam masyarakat, paling tidak, kita bisa mengurangi terjadinya berbagai penyimpangan yang dilakukan individu/kelompok yang tidak berperan dengan baik, yakni mereka yang tidak berperan sesuai status yang diemban, atau jelasnya orang-orang yang tidak berperan sebagaimana mestinya.
Belum ada tanggapan.