Karakter merupakan tokoh rekaan dalam dunia rekaan yang diciptakan oleh pengarang. Melalui karakter, pengarang menyampaikan pesan kepada pembacanya. Karena itu, pengarang sebaiknya berhati-hati ketika membuat karakter agar bisa meninggalkan kesan yang baik pada pembaca. Membuat karakter bisa menggunakan berbagai teknik, tergantung seperti apa cerita yang akan diciptakan; apakah itu cerita anak-anak atau cerita dewasa. Dengan menggunakan teknik-teknik itu, karakter yang tercipta dapat terlihat nyata, sehingga membuat pembaca benar-benar dapat mengenali karakter dalam cerita itu seperti saudaranya sendiri.
Altenbernd & Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2007: 194-211) menyatakan bahwa ada dua cara teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya, yakni: (1) ekspositori dan (2) dramatik. Teknik ekspositori adalah pelukisan tokoh dengan cara memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan langsung. Teknik ini cocok untuk cerita anak-anak di mana pembacanya membutuhkan penjelasan tanpa berbelit-belit. Sedangkan teknik dramatik adalah pelukisan tokoh di mana pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi. Teknik dramatik ini mempunyai beberapa wujud penggambaran, yaitu: (1) teknik cakapan, (2) teknik tingkah laku, (3) teknik pikiran dan perasaan, (4) teknik arus kesadaran, (5) teknik reaksi tokoh, (6) teknik reaksi tokoh lain, (7) teknik pelukisan latar, dan (8) teknik pelukisan fisik.
Melalui beragam teknik menulis itu, pengarang dapat mengenalkan karakter rekaannya pada pembaca. Seperti yang diutarakan oleh Nurgiyantoro (2007: 174), berhadapan dengan tokoh-tokoh fiksi, pembaca sering memberikan reaksi emotif tertentu seperti merasa akrab, simpati, benci, antipati, atau berbagai reaksi afektif lainnya. Bahkan, banyak tokoh cerita yang menjadi pujaan pembaca, masyarakat, sehingga kehadirannya dalam cerita dirasakan sebagai kehadiran di dunia nyata.
Namun, sebenarnya, tidak mudah untuk membuat pembaca merasa simpatik kepada karakter suatu cerita. Tidak hanya satu teknik saja yang digunakan untuk menggambarkan karakter cerita dengan bagus. Berbagai macam teknik menulis perlu dicampur sehingga pembaca lebih kenal dengan karakter itu–kecuali jika cerita yang dibuat adalah cerita anak-anak. Di samping itu, karakter juga harus relevan dengan unsur-unsur cerita lainnya. Semua ini diperlukan agar karakter yang diciptakan nyambung dengan cerita; seperti apa cerita itu dimaksudkan. Jika seorang karakter terlihat ganjil, kehadirannya pasti tidak diperlukan dalam cerita. Pembaca bisa saja menjadi tidak tertarik, dan mungkin akan meninggalkan cerita itu begitu saja, teronggok diselimuti debu di rak buku.
Fictophilia
Jika pelukisan karakter dalam suatu cerita sangat bagus, seorang pembaca bisa jadi sangat memuja karakter dalam cerita itu. Ada istilah untuk menyebut fenomena ini, yakni fictophilia. Menurut urban dictionary, fictophilia adalah hasrat, daya tarik seksual, atau perasaan cinta yang kuat terhadap seorang karakter fiksi, mirip dengan sebagaimana perasaan terhadap orang nyata. Meskipun kedengarannya nyeleneh, nyatanya, sebagian besar orang pernah mengalami hal itu.
Menurut Nurgiyantoro (2007: 174) salah satu karakter yang dipuja oleh masyarakat hingga kini yakni Sherlock Holmes, seorang detektif fiktif ciptaan Artur Conan Doyle. Sedangkan karakter fiktif yang pernah dipuja di Indonesia yaitu Brama dan Mantili (juga Bentar) dari sandiwara radio Saur Sepuh ciptaan Niki Kosasih. Selanjutnya, dikutip dari wolipop, beberapa pria fiktif yang dipuja oleh pembaca wanita yakni Christian Grey dari 50 Shades of Grey, Gideon Cross dari Crossfire, Travis Maddox dari Beautiful Disaster, Jesse Ward dari This Man, dan Miles Archer dari Ugly Love. Kesemua pria itu digambarkan mempunyai fisik sempurna dengan kepribadian yang unik sehingga membuat para pembaca wanita jatuh hati.
Memang, wanita lebih sering mempunyai fictophilia daripada laki-laki. Wanita memang lebih mudah berempati. Di samping itu, wanita memang mempunyai imajinasi lebih tinggi sehingga sering mengandai-andaikan kehadiran sosok karakter itu di sisinya. Novel-novel romantis di pasaran kerap mempunyai karakter protagonis yang begitu sempurna sehingga membuat para pembaca wanita tergila-gila. Hal ini tidaklah berbahaya, kecuali jika para wanita ini mulai mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang di dunia nyata dan ingin terus menerus mengkhayalkan karakter fiktif itu.
Sumber:
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan keenam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Belum ada tanggapan.