Suatu ketika, Dr. Cipto Mangunkusumo menolak politik pemerintah Hindia Belanda dengan menempelkan sertifikat antipes di pantatnya. Apakah kita tahu tentang sejarah itu? Andaikan, pertanyaan itu yang mengajukan seorang guru dan kita yang masih menjadi seorang siswa merasa lupa dan tidak tahu, maka respon guru mengetahui hal itu, bisa jadi akan memberi hukuman, mencela, memarahi, atau paling tidak merasa prihatin dan mengingatkan pada siswanya untuk belajar sejarah.
Lalu, bilamana siswa itu mengetahui tentang sejarah bangsa tersebut? Yang pasti selain mendapat apresiasi yang positif, tentu kita lebih menjadi tahu bagaimana perjuangan pahlawan Indonesia kita dulu tidak ingin diperbudak oleh kolonialisme dan imperialisme.
Pengandaian dari penulis ini, barangkali pernah menjadi riwayat diri kita semua. Namun, esensi terhadap pengetahuan sejarah itu tidak sedangkal itu saja. Kita bisa mengidentifikasinya dengan mudah. Apabila seorang siswa dangkal akan ilmu pengetahuan sejarah, maka sorotan utama terhadap siswa itu adalah bodoh, yang kemudian memberikan rentetan problema mendasar, yakni pemalas dan tidak ada etos belajar yang kuat. Akhirnya, memberikan penilaian lanjut bahwa siswanya tidak memiliki mentalitas kuat. Dan, bila ini terjadi, maka ini yang menjadikan siswa menjadi ‘anak patuh’, mudah dibohongi, lalu kita bisa menjadi budak. “Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain,” ungkap Pramoedya Ananta Toer. Inikah, yang kita inginkan bila acuh tak acuh terhadap pengetahuan sejarah? Nampaknya, tanya yang bisa menjadi peringatan bagi kita ini menjadikan penulis untuk melakukan tarikan reflektif terhadap sejarah bangsa.
***
Dahulu, Sukarno pernah mengungkapkan secara tertulis kepada seorang teman: “…Kita tidak lain daripada menjiplak saja, untuk membuat hal-hal yang asli kita tidak mampu, belum mampu.” Hanya saja, yang perlu kita ketahui saat Sukarno mengungkapkan itu, karena melihat negara dan rakyatnya dilanda kesuraman. Tepatnya pada tahun 1933 (Onghokham, 1991).
Identifikasi kita pada tahun tersebut adalah sejarah bangsa Indonesia saat masih terjajah. Keterjajahan ini menurut Onghokkam, dikarenakan kekolotan dan orang-orang Indonesia saat itu tidak mengenal sejarah. Entah itu disadari atau tidak disadari, yang mereka kenal adalah kolonialisme, imperialisme, kapitalisme. Nalar ini telah bersama dikarenakan kedatangan para petualang dari Barat, yang kemudian menjadi penjajah.
Saat masa terus bergulir, maka peristiwa mengenai keberadaan ‘sejarah’ berganti pula. Kita bisa menelisik saat rezim Sukarno telah tergantikan oleh rezim Soeharto.
Pada saat itulah, rezim Soeharto berusaha mengajarkan pengetahuan sejarah lewat Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa atau bila kita pernah mengalami di masa pendidikan kita, pelajaran itu sering disebut PSPB. Pelajaran tersebut bertujuan menanamkan nilai-nilai perjuangan bangsa pada diri siswa. Namun, di balik tujuan pengajaran sejarah bangsa tersebut, ternyata bermuatan politis, sesuai dengan pandangan rezim Orde Baru.
Ini bisa ditilik dari salah satu sejarah kelam, yaitu Gerakan 30 September 1965 (G30S). Sejarah pada masa itu, menjadi sejarah pengkambinghitaman terhadap PKI. Siswa maupun masyarakat ‘dicekoki’ dengan realitas sejarah direkayasa oleh rezim tersebut. Maka, tak asing bila sejarawan kita, Asvi Warman Adam (2005) menirukan pemikiran rezim Orde baru dengan ungkapan bernada sindiran, “Orde Baru mesti didukung, sedangkan PKI harus “diganyang”.
***
Kini, sejarah berubah lagi. Ketika menatap realitas sosial yang kerap mendera di negeri ini, rasa-rasanya justru bertambah ironis. Kita bisa menelisik beberapa kasus plagiarisme, seperti, seorang profesor II, yang terbukti secara sengaja menjiplak buku berjudul Budaya Bahari karya Joko Pramono, terbitan Gramedia (2005), menjadi buku berjudul Sejarah Maritim, terbitan ISBN (2008).
Lalu, peristiwa tentang “Pengibar Bendera 17 Agusutus 1945” (Kompas, 3 September 2011). Peristiwa ini adalah peristiwa ketika salah satu instansi percaya dan memberikan “hadiah” pada seorang bernama Ilyas Karim yang “mengaku-ngaku” sebagai pengibar bendera merah putih pada tanggal 17 Agusutus 1945. Maka, kejadian itulah, yang kemudian diluruskan oleh Laksamana Muda TNI (purn) Wahyono SK.
Ia mengatakan bahwa Ilyas Karim bukan pengibar bendera pada peristiwa bersejarah saat itu. Pengibar bendera sesungguhnya adalah Abdul Latief Hendraningrat dan Soehod dari Barisan Pelopor. Hal itu, ia kemukakan karena merujuk pada buku-buku sejarah seperti Cindy Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1966); Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1978); Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia (2008); Soediro, Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945 (1970); dan Nidjo Sandjojo, Abdul Latief Hendraningrat Sang Pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus 1945 (2011).
Ini yang kemudian menjadi tanda pada instansi tersebut, termasuk kita semua agar mau dan mampu belajar “sejarah” dengan kesadaran diri, tanpa muatan politis dan paksaan, disertai dengan rasa kejujuran. Barangkali, dengan melakukan tindakan itu, kita semua akan menuai hasil lebih baik dan cerah bagi peradaban bangsa ini.
Belum ada tanggapan.