Jika yang dianggap indah hanyalah rambut-rambut lurus dan hitam legam, bagaimana mungkin sebuah iklan sampo tidak mencederai perasaan gadis-gadis berambut keriting (kebanyakan gadis-gadis kami di Indonesia Timur berambut keriting). Apa mungkin iklan kosmetik tidak mengesampingkan wanita-wanita berkulit legam bila yang dibilang cantik adalah berkulit putih tanpa bercak? Di timur matahari saya sering menjumpai gadis-gadis tengah meluruskan rambut keriting mereka; ada yang jadi lurus rambutnya dan sebagian berubah jadi ijuk. Di kamar tidur dan kamar mandi perkakas kecantikan berjubel, di toko-toko kosmetik produk pun laris terjual. Usai luluran si gadis Timur paling benci disuruh pergi kebun karena takut kena matahari. Maka meletuslah tawa orang-orang ketika Abdur (komika di Kompas TV) berkata; orang Timur takut hitam ibaratnya pocong takut kuburan. Lucu tapi tragis.
Peradaban kita hari ini adalah lahan subur untuk periklanan. Di pusat-pusat kota atau di jalan-jalan umum hingga di ruang privat macam kamar tidur, dunia kita digantungi banyak iklan. Dari merek baju di lemari hingga sms promo telepon gratis dari Telkomsel di HP, dari judul buku bacaan hingga tayangan televisi jam tiga sore. Ketika hendak membeli mobil bekas, kau mungkin akan berpikir untuk mencarinya di OLX dulu. Dan bahkan ketika kau sedang membeli ayam potong di pasar masih sempat berpikir untuk makan di Mc Donald’s saja.
Dalam dunia sastra, ‘Teresa’ bisa diinterpretasikan sebagai kisah tentang iklan. Ceritanya, suatu malam seorang pria berteriak dari atas trotoar dengan suara keras, meneriakan nama Teresa entah kepada siapa di bawah sinar bulan. Datang seseorang yang kebetulan lewat di trotoar itu dan membantunya untuk ikut meneriakan nama Teresa. Lewat pula segerombol muda-mudi sehabis dari Kafe lantas ikut-ikutan meneriakan nama Teresa. Begitu terus, setiap beberapa menit ada saja yang datang untuk ikut meneriakan Teresa. Dalam lima belas menit sudah ada sekitar dua puluh orang yang beramai-ramai meneriakan nama Teresa. Bahkan, saking semangatnya mereka mengatur agar semua peserta berteriak secara serentak, berirama, layaknya paduan suara. Mereka terus meneriakan nama Teresa hingga salah satu mulai menyadari keanehan itu, lalu bertanya kepada lelaki pencetus ide apakah dia yakin wanita bernama Teresa ada di rumahnya. Lelaki itu menjawab; Tidak. Orang-orang lain mulai ikut bertanya-tanya, apakah lelaki itu lupa membawa kunci pintu sehingga harus meneriakan nama Teresa. Pada akhirnya pertanyaan mereka sampai pada kenapa laki-laki itu meneriakan nama Teresia padahal dia ternyata tidak tinggal di daerah situ dan tidak kenal siapa pun wanita bernama Teresa. Italo Calvino menutup cerita itu dengan sempurna.
Bila Teresa adalah sebuah iklan, maka sebagian besar dari kita adalah segerombolan orang yang ikut-ikutan berteriak di trotoar. Secara sadar atau tidak sadar setiap hari kita larut dalam berbagai propaganda; kita pergi ke mal, beli gaun baru, mampir di bioskop, makan sate kambing dan di lapak penjual es kelapa ada spanduk tertulis “….dicampur dengan madu asli.” Mirip gerombolan orang itu, seringkali kita tidak sadar sedang terbawa arus mode. Karena iklan, masyarakat cenderung ikut-ikutan, memposisikan diri diantara mode dan style. Dan ini tentu saja sebuah praktik sosial yang konyol. Italo Calvino membantu kita untuk menertawakan diri sendiri atas kekonyolan-kekonyolan yang terjadi akibat trend. Namun, untuk menertawakan diri sendiri tidaklah mudah sebab kita perlu sampai pada posisi sadar situasi, seperti ketika salah satu orang dari gerombolan di trotoar itu akhirnya bertanya-tanya; mengapa dia ikut-ikutan meneriakan nama Teresa?
Belum ada tanggapan.