Dalam percakapan sehari-hari, kita mungkin kerap mendengar seseorang mengatakan, “Jadi apa solusinya?” Seorang yang lain bicara, “Yah, semua tergantung prosesnya.” Acap juga yang lain mengatakan, “Chargernya tidak konek ke hape.”
Sepintas tidak ada yang salah dengan kalimat-kalimat itu. Kita sudah terbiasa menggunakan kata-kata serapan dari bahasa asing (solusi, proses, konek, hape) dalam perbincangan sesehari. Tanpa disadari, itu adalah sebuah gejala liarnya kita berbahasa.
Dalam artian yang luas, bahasa diterjemahkan sebagai kesanggupan manusia yang dipergunakan untuk berhubungan dengan orang lain lewat tanda, misalnya kata dan gerak. Dengan pengertian ini, bahasa bisa mewujud dalam banyak rupa, seperti, bahasa lisan, bahasa isyarat, bahasa tubuh, dan sebagainya. Intinya, selama sesuatu digunakan sebagai alat untuk mengutarakan isi pikiran, maka sesuatu itu bisa diartikan sebagai bahasa.
Untuk memusatkan arah tulisan ini, ada baiknya dibatasi dulu rumusan bahasa yang akan dibicarakan. Bahasa yang ingin dibahas dalam tulisan ini adalah tatanan tanda bunyi bermakna (bisa diucapkan) yang bersifat acak (arbitrer) dan berasal dari kesepakatan masyarakat tertentu. Dia dipakai sebagai alat berbicara oleh sekelompok manusia untuk menyampaikan perasaan dan pikiran. Sederhananya, bahasa yang dimaksud adalah bahasa lisan.
Dari batasan ini bisa disimpulkan bahwa peran bahasa adalah sebagai alat untuk mengungkapkan ide, pandangan, gagasan, dan rasa hati seseorang kepada yang lain.
Selain sebagai alat pengungkapan, bahasa juga berguna untuk mempertunjukkan jatidiri. Lewat bahasa, kita dengan mudah memahami asal-muasal seseorang, seperti dari asal negara, daerah, suku, dan sebagainya. Penguasaan bahasa bisa dikatakan sebagai bukti sahih bahwa penuturnya berasal dari sebuah kelompok paguyuban tertentu.
Karena bahasa adalah bagian dari jatidiri, dia juga berperan sebagai alat pemersatu. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi bukti sejarah bahwa bahasa bisa membaurkan perjuangan para pemuda untuk merebut kemerdekaan. Bahasa berhasil membuat perlawanan mereka jadi padu tidak cerai-berai. Bahasa sebagai jembatan atas kebinekaan, yang memang sejak dulu, jadi ciri khas bangsa Indonesia.
Risalah yang ditulis P. Ari Subagyo di harian Kompas dengan judul, “Liarnya Bahasa Indonesia” (24/10/2016), membuka mata kita betapa genitnya kita bertutur. Kecentilan itu diperagakan lewat kegandrungan menggunakan kata serapan dari bahasa asing. Misalnya, kita lebih getol menggunakan kata “solusi”, yang berakar dari kata “solution” (bahasa Inggris), daripada kata “penyelesaian”. Melihat kenyataan ini, tak heran jadinya jika Alif Danya Munsyi (2013) menuliskan buku yang berjudul, “Sembilan dari Sepuluh Kata Bahasa Indonesia adalah Asing”.
Bahaya terpendam dari kecanduan ini, menurut Ari, adalah pijinisasi. Pijinisasi (pidgin) adalah a language with no native speaker atau bahasa tanpa penutur asli. Lebih lanjut, Ari menjelaskan bahwa pijin sebagai jalan tengah terbaik ketika pihak-pihak yang berbeda bahasa ibu harus berembuk dalam hubungan dagang yang serba tergesa. “Yang penting mereka dapat memahami” tandasnya. Inilah yang disebutnya sebagai “bahasa pasar”.
Kegemaran kita menggunakan kata serapan dari bahasa asing semakin diperparah dengan kemalasan. Kita berat tangan untuk merekacipta kata-kata baru sehingga penyerapan menjadi pilihan tunggal. Kita sungkan melihat kepada khasanah kekayaan bahasa Indonesia dan Melayu. Kita enggan untuk menilik kebahasa daerah. Tapi, kita langsung bersegera untuk merembes kebahasa asing.
Selain malas merekacipta kata-kata baru, kita juga disebutnya ogah untuk memakai kata dari bahasa sendiri. Parahnya lagi, kita bahkan merasa kata-kata asli dari bahasa Indonesia lebih asing daripada kata-kata yang dipungut dari bahasa asing.
Dampak pertama dari keadaan ini adalah hilangnya kemurnian bahasa Indonesia. Semakin banyak kata serapan yang muncul, maka kian hilang ciri khas bahasa Indonesia. Jatidiri bahasa Indonesia tergeser oleh “bahasa pasar” – bahasa pungutan. Keunikannya surut, bahkan, mungkin saja kelak akan terlalaikan.
Sebelumnya sudah dikatakan bahwa bahasa juga berperan sebagai tanda jatidiri. Maraknya penggunaan kata serapan akhirnya menggusur sahihnya kepribadian bangsa kita. Bahkan, dia mungkin mendorong bahasa Indonesia ke tubir kepunahan. Mungkin dalam jangka waktu yang panjang, seorang Indonesia tidak dapat lagi dikenali karena bahasa yang digunakannya. Identitas kita tidak lagi asli. Selangkah dari ini, kita mungkin sudah tercerabut dari akar bangsa sendiri.
Kita tidak mau ini terjadi. Kita harus menata lagi cara berbahasa. Kita harus menggagas sebuah perubahan dalam kaidah berbahasa. Kita harus menyadari bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang kaya. Kita harus berbesar hati pada bahasa sendiri. Tanpa kebanggaan, kita tentu saja sulit menghargai apalagi memakainya dengan cara yang benar.
Kita harus melawan kemalasan dalam merekacipta kata-kata baru. Masa depan bahasa Indonesia ada pada kita. Semakin kita enggan berbahasa dengan baik, maka kian cepat pula bahasa ini hilang dari edaran peradaban manusia. Kini saatnya untuk membudidayakan kesadaran berbahasa Indonesia. Kita harus mengeruk kekayaan bahasa Indonesia yang luas. Mari kita mencoba untuk menghindari pemakaian kata serapan yang dipungut dari bahasa asing.
Jujur saja, ajakan ini tidaklah mudah diamalkan; dibutuhkan upaya dan ikhtiar yang lebih. Anjuran sederhananya, saya mengajak kita untuk lebih rajin membuka kamus bahasa Indonesia untuk mencari kata yang tepat untuk menjelaskankan sesuatu. Saya menyadari betul, dibutuhkan tenaga besar untuk mengubah kebiasaan yang sudah lama berlaku dikeseharian. Kita harus akui kalau masyarakat sudah terbiasa menggunakan kata-kata pungutan ini. Tapi demi kemajuan dan masa depan bahasa Indonesia, usaha untuk memperbaiki cara berbahasa kita harus tetap dimulai.
Bahasa tidak berguna sebagai alat untuk mengutarakan maksud semata. Lebih dari itu, bahasa adalah bagian dari kepribadian bangsa. Karena bahasa adalah bagian dari jatidiri, maka dia bagian dari kita. Oleh karena itu bahasa perlu dirawat, dijaga, dilestarikan, dan dibudayakan.
Mari menjaga bahasa dengan gemar berbahasa Indonesia tanpa kata serapan!
Saya sangat setuju dengan pendapat mas,.. . Namun untuk merubah pola pikir seperti dirasa sudah sangat sulit, apalagi kita selama ini selalu dijejali bahasa melalui tontonan di televisi dan lingkungan sekitar yang sudah tergerus era globalisasi. Tapi semangat, masih ada harapan bangsa Indonesia kembali kepada jatidirinya. Semoga pemerintah sebagai penanggung jawab kelangsungan bahasa Indonesia mau sedikit mencurahkan pikiran untuk menyelesaikan persoalan yang memang dianggap kebanyakan sepele, namun sebenarnya sangat penting. Karena identitas NKRI kita ada pada bahasa Indonesia. Terima kasih.
Seruan anda terlalu lucu, bagaimana mungkin tanpa kata serapan,kalau hampir lima puluh persen kata dalam bahasa indonesia adalah kata serapan dari asing, wah…….
Bahkan dalam tulisan di atas, disebut “Sembilan dari Sepuluh Kata Bahasa Indonesia adalah Asing”. Artinya, keadaannya berubah lebih besar dari 50% menjadi 90%. Sikap terhadap kenyataan ini, bisa dua, antara pesimis atau optimis. Bagi saya pribadi, ini sebuah tantangan. Tantangan terhadap daya rekacipta kita utk mengeruk kekayaan bahasa Indonesia, bahasa nusantara, dan bahasa daerah. Memungut dari bahasa asing adalah langkah terakhir kalau dirasa, dari ketiga sumber bahasa itu tidak mampu menyediakan.
Yah, walau dipikir-pikir, mungkin juga seruan itu terlalu muluk.
Terimakasih atas sarannya, Bung Arif.
Salam.